Yurisprudensi MA RI: Pengrusakan Benda Milik Orang Lain yang Berada di Atas Tanah Terdakwa Merupakan Tindak Pidana

Yurisprudensi MA RI tersebut, secara tidak langsung mengadopsi asas pemisahan horizontal dalam perkara tanah, di mana pemilik tanah dan benda yang ada diatas tanah dapat berbeda kepemilikannya.
Ilustrasi pengrusakan. Foto pixabay.com
Ilustrasi pengrusakan. Foto pixabay.com

Pembentukan dan pemberlakuan, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UU PA), menjadi pedoman pengaturan hukum tanah nasional, yang mengadopsi kaidah hukum adat.

Selama tidak bertentangan, dengan kepentingan nasional dan negara, hukum agraria berdasarkan norma adat istiadat, menjadi landasan dalam pengelolaan bumi, air dan ruang angkasa Indonesia, sesuai Pasal 5 UU PA. 

Keberlakuaan UU PA dan berbagai peraturan pemerintah pelaksananya, mengesampingkan ketentuan hukum perdata barat, yang sebelumnya mengatur pengelolaan pertanahan di nusantara. Berbagai hukum perdata barat, yang dikesampingkan antara lain KUHPerdata, Agrarische Wet 1870, Algemene Domien Verklaring (aturan tentang pelepasan hak atas tanah yang tidak dapat dibutikan kepemilikannya, menjadi milik negara) dalam Staatsblad 1875, No. 119A dan beragam aturan kolonial lainnya. 

Hak milik berdasarkan hukum adat, termasuk pemberian sesuai hukum adat yang memindahkan kepemilikan atas tanah, juga diakui eksistensinya, sebagaimana Pasal 22 Ayat 1 dan 26 Ayat 1 UU PA. Berbagai prinsip hukum adat, dijadikan asas dalam hukum agraria nasional tersebut. Salah satunya, asas pemisahan horizontal (horizontale scheiding beginsel).

Asas pemisahan horizontal adalah kepemilikan terhadap suatu bidang tanah, yang dapat berbeda kepemilikannya, dengan benda yang berada diatas tanah dimaksud. Sedangkan menurut Ter Haar, tanah dalam konsep hukum adat yakni tidak terikat atau terlepas, dengan segala suatu benda yang melekat pada tanah. Suatu hak atas tanah, tidak jadi kesatuan dengan kepemilikan tanaman, bangunan atau benda lain yang berada di atasnya. 

Pemberlakuan asas pemisahan horizontal, yang bersumber dari hukum adat, berbeda dengan asas pelekatan (accessie beginsel), yang berlaku dalam pengaturan hukum tanah menurut KUHPerdata.

Berdasarkan ketentuan Pasal 500 KUHPerdata, segala sesuatu yang melekat pada tanah, termasuk dahan atau akar tanaman, menjadi bagian dari tanah, karena hukum pelekatan. Asas pelekatan terhadap tanah, kembali dipertegas Pasal 571 KUHPerdata. Dalam Pasal tersebut, segala benda yang ada di atas dan di dalam tanah, dapat berupa tanaman dan bangunan melekat dengan kepemilikan tanah. 

Proses pengalihan hak atas tanah di Indonesia, melalui pejabat pembuat akta tanah (PPAT), mayoritas menggunakan konsep asas pelekatan, di mana tanaman atau bangunan yang berada diatas tanah, menjadi satu kesatuan objek pengalihan hak atas tanah, seperti jual beli tanah hak milik atas tanah, yang melibatkan tanaman di atasnya.

Namun penggunaan asas pelekatan, dalam kebiasaan jual beli hak atas tanah dihadapan PPAT, tidak secara otomatis, membuat jual beli tanah menggunakan asas pemisahan horizontal terlarang secara hukum. Selain itu, asas pemisahan horizontal, dapat digunakan dalam pemanfaatan suatu tanah dengan menanam tumbuhan atau mendirikan bangunan, oleh anggota keluarga lainnya, seperti anak atau kakak/adik.

Selanjutnya dalam perkara pidana, apakah asas pemisahan horizontal atau asas pelekatan yang digunakan sebagai pedoman dalam memutus perkara menghancurkan atau merusak benda milik orang lain, yang ada di atas tanah milik terdakwa? Menjawab pertanyaan dimaksud, akan diuraikan kaidah hukum Yurisprudensi Mahkamah Agung RI mengenai pengrusakan benda milik subjek hukum lainnya, yang berada diatas tanah terdakwa.

Kaidah Hukum Yurisprudensi MA RI tentang Pengrusakan Benda Milik Subjek Hukum Lain, yang Berada di Atas Tanah Terdakwa

Tidak sedikit, peristiwa yang dihadapkan ke pengadilan berkaitan dengan peristiwa pidana pengrusakan atau penghancuran benda milik orang lain, yang dapat diancam pidana paling lama dua tahun dan delapan delapan bulan, sesuai ketentuan Pasal 406 Ayat (1) KUHPidana.

Atas peristiwa pengrusakan tanaman atau bangunan milik orang lain, yang berada di atas tanah terdakwa, Mahkamah Agung RI melalui kaidah hukum Yurisprudensi MA RI Nomor 1248 K/Pid/2019 menjelaskan pada pokoknya pengrusakan atau penghancuran suatu benda, berupa penebangan tanaman yang ada di atas tanah terdakwa, di mana dirinya mengetahui ditanam oleh saksi korban, bukanlah persoalan tanah.

Selain itu, dalam pertimbangan hukum Yurisprudensi MA RI Nomor 1248 K/Pid/2019, menerangkan tidaklah tepat penerapan hukum judex factie, in casu PN Tarutung, yang pada pokoknya menyatakan perbuatan terdakwa terbukti, tetapi bukan merupakan tindak pidana, sehingga dinyatakan lepas melalui Putusan Pengadilan Negeri Tarutung Nomor 69/Pid.B/2019/PN Trt.

Selanjutnya dalam Yurisprudensi MA RI tersebut, perbuatan terdakwa telah memenuhi unsur melakukan pengrusakan tanaman yang ada diatas tanah terdakwa, sebagaimana melanggar Pasal 406 Ayat (1) jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Maka, dapat ditarik kesimpulan Yurisprudensi MA RI tersebut, secara tidak langsung mengadopsi asas pemisahan horizontal dalam perkara tanah, di mana pemilik tanah dan benda yang ada diatas tanah dapat berbeda kepemilikannya. Sehingga, pengrusakan benda milik orang lain, meskipun ada di atas tanah terdakwa bukanlah terkualifikasi sengketa kepemilikan tanah, yang masuk ranah keperdataan 

Yurisprudensi MA RI Nomor Nomor 1248 K/Pid/2019 yang diakses melalui kolom kompilasi kaidah hukum, pada direktori putusan Mahkamah Agung RI, dapat menjadi rujukan para hakim dalam memutus perkara serupa dan menambah pengetahuan, bagi para pembacanya.
     

Penulis: Adji Prakoso
Editor: Tim MariNews
Copy