Sebentar lagi umat muslim di dunia telah memasuki Ramadan. Muslim memaknai Ramadan sebagai bulan penuh keberkahan dan pengampunan dari sang pencipta. Namun Ramadan bagi masyarakat Indonesia, tidak hanya dikenal sebagai momen yang dirayakan umat Islam, akan tetapi banyak sejarah Indonesia lahir pada bulan tersebut, sebagai contoh Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 tepat bersamaan dengan Ramadhan, 1364 Hijriah. Demikian juga upaya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari agresi militer Belanda ke-1 pada 1947, tepat pada Ramadan 1366 Hijriah.
Selain dua peristiwa tersebut, ada satu catatan sejarah nasional yang lahir bersamaan dengan Ramadan. Tinta sejarah bangsa Indonesia tersebut, berupa penyampaian cita-cita Indonesia Merdeka oleh cendikiawan muda bumiputera di ruang sidang Pengadilan Den Haag, Belanda, pada 1928.
Bahkan cita-cita tentang tanah Nusantara yang merdeka, menjadi sorotan dunia karena disampaikan sosok terpelajar yang didakwakan melakukan perbuatan makar, terlibat dalam organisasi terlarang dan penghasutan terhadap Kerajaan Belanda.
Intelektual muda yang lantang menyampaikan tanah Indonesia yang merdeka di ruang sidang pada persidangan yang terbuka untuk umum pada Pengadilan Den Haag tersebut adalah Drs. Mohammad Hatta (kelak menjadi Wakil Presiden RI pertama) pelajar bumiputera yang saat itu menempuh pendidikan di negeri Kincir Angin. Aktivitasnya sebagai pengurus Perhimpunan Indonesia (Indonesische Vereeeniging) di Belanda bersama dengan Mr. Ali Sastroamidjojo (kelak salah satu Perdana Menteri RI), Mr. Mohammad Nazir Pamoentjak (kelak duta besar Indonesia untuk beberapa negara asing), Sutan Sjahrir (kelak Perdana Menteri RI Pertama), Iwa Koesoema Soemantri (menteri era Orde Lama dan Rektor pertama Unpad) dan beberapa tokoh nasional lainnya.
Selain menyelesaikan pendidikannya, Mohammad Hatta aktif melakukan pergerakan dan penyuaraan kemerdekaan Indonesia, dengan melakukan kritik terhadap kolonialisme di tanah Hindia Belanda. Sekaligus menerangkan kondisi rakyat tanah jajahan yang menderita akibat perbuatan semena-mena penjajah Belanda. Kritiknya disampaikan baik secara lisan dalam berbagai forum atau pertemuan yang dihadirinya, maupun melalui tulisan di berbagai media kabar internasional dalam beberapa bahasa. Hal itu membuatnya berurusan dengan penegak hukum di Belanda.
Salah satu tulisannya, yang memberikan tamparan kepada penjajah dan membuka mata dunia terhadap kolonialisme di Belanda yakni, mengenai ketidakadilan penetapan harga sewa tanah rakyat bumiputera yang digunakan untuk perkebunan milik orang Belanda. Tulisannya tersebut dimuat majalah Hindia Poetra pada 1923.
Puncaknya Mohammad Hatta menjadi orator dalam pertemuan Konferensi Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kebebasan, di Kota Gland Swiss. Mohammad Hatta memaparkan orasi menggunakan bahasa Prancis dengan judul L ‘Indonesie et son Probleme de I’ Independence (Indonesia dan Problematika Kemerdekaan). Penyampaian orasi tersebut, berdampingan dengan Pandit Jawaharlal Nehru tokoh nasional India (kelak menjadi Perdana Menteri India pada 1947).
Tepat setelah pulang dari Konferensi Wanita Internasional dimaksud, Mohammad Hatta ditangkap bersama dengan Ali Sastroamidjojo, Nazir Pamoentjak dan Abdul Majid Djojodiningrah, selanjutnya ditahan oleh Kepolisian Kerajaan Belanda.
Mohammad Hatta dan rekan-rekannya, akhirnya dihadapkan ke persidangan di Pengadilan Den Haag, Belanda, pada 8 Maret 1928, bertepatan dengan Ramadan. Dalam persidangan tersebut, Mohammad Hatta didampingi oleh Mr. Duys seorang pengacara yang juga anggota DPR Belanda dari Partai Buruh Sosial Demokrat, Mr. Mobach dan Mr. Weber.
Dalam persidangan tersebut, Mohammad Hatta dituntut tiga tahun penjara oleh penuntut umum (opsir justisi). Terhadap tuntutan tersebut, Mohammad Hatta menyampaikan nota pembelaan dengan judul Indonesie Vrij (Indonesia Merdeka).
Pembelaan tersebut, bukan hanya berisikan kemarahan atas penjajahan Belanda, akan tetapi memaparkan perjuangan rakyat Hindia Belanda untuk menggapai kemerdekaannya.
Mohammad Hatta juga meyakini cepat atau lambat bangsa Indonesia yang terjajah akan merebut kemerdekaanya, karena itulah hukum sejarah dunia. Selain itu, disampaikan bahwa yang dilakukan Mohammad Hatta bukanlah tindakan kriminal, melainkan untuk membela keyakinan dan cita-cita tentang negeri Indonesia yang merdeka dan diakhir pembelaannya Hatta menyampaikan kata-kata Rene de Clerq yang fenomenal “Hanya satu tanah yang dapat disebut tanah airku, ia berkembang dengan usaha dan usaha itu adalah usahaku”.
Setelah menyampaikan pembelaannya, tim penasihat hukum menyampaikan kembali pembelaan dari segi hukumnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Kerajaan Belanda.
Persidangan dan pembelaan Mohammad Hatta tersebut, membukakan mata dunia akan cita-cita dan perjuangan suatu bangsa jajahan yang terletak di ujung Asia meraih kemerdekaan.
Satu hari sebelum hari raya Idulfitri pada 22 Maret 1928, Mohammad Hatta dan tiga sahabatnya divonis bebas dari dakwaan makar, terlibat dalam organisasi terlarang, dan penghasutan terhadap Kerajaan Belanda. Putusan bebas atas Mohammad Hatta tersebut, merupakan bentuk penghargaan atas kebebasan berpendapat dan beraktivitas atau berorganisasi secara bebas sebagaimana Konstitusi Kerajaan Belanda.
Namun kebebasan berpendapat tersebut, tidak ada di negeri-negeri jajahan Belanda, seperti Indonesia. Contohnya dua tahun setelah peristiwa persidangan Mohammad Hatta, dkk di Den Haag, Belanda, Ir Soekarno dihadapkan ke persidangan Landraad Bandung pada 1930.
Dalam persidangan tersebut, dikenal pembelaan Ir. Soekarno yang menggelegar, berjudul Indonesia Menggugat. Demikian juga, Mohammad Hatta setelah pulang dari Belanda ditangkap oleh Kepolisian Hindia Belanda pada 1934 dan menjalani pembuangan bersama Sutan Sjahrir di Boven Digul, Papua.