Kolonialisme di belahan dunia manapun, pastinya meninggalkan luka dan penderitaan rakyat terjajah, termasuk di nusantara. Ratusan tahun hidup, di bawah penjajahan, Belanda, rakyat bumiputera banyak merasakan kebijakan menyengsarakan, seperti periode tanam paksa (cultuurstelsel) dan kerja rodi.
Apalagi rakyat bumiputera, masuk dalam warga negara kelas tiga, era kolonial Belanda, sebagaimana pembagian penduduk, yang diatur ketentuan Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS), antara lain terdiri golongan Eropa, Timur Asing, dan Bumiputera.
Pembagian golongan warga Hindia Belanda tersebut, mengakibatkan minimnya rakyat bumiputera memperoleh akses, guna meningkatkan kesejahteraan, pendidikan dan kemajuan ekonomi lainnya.
Namun, sistem kolonialisme yang diskriminatif mengakibatkan perlawanan. Baik dari dalam negeri Hindia Belanda atau cendekiawan Belanda, sehingga lahirkan gagasan politik etis atau balas budi, terhadap rakyat jajahan.
Cendekiawan asli Belanda yang aktif menyuarakan politik balas budi, adalah Conrad Theodor Van Deventer, anggota Dewan Negara Belanda dan Pieter Brooshooft, seorang jurnalis dan sastrawan Belanda, yang pernah berkelana di Pulau Jawa untuk merekam penderitaan rakyat jajahan, Hindia Belanda.
Dua tokoh berpengaruh, Van Deventer dan Brooshooft, secara tajam mengkritisi kondisi menyedihkan rakyat pribumi Hindia Belanda akibat kolonialisme. Tulisan-tulisan mereka dengan gamblang mengungkap kekejaman praktik kolonial saat itu.
Karya Van Deventer yang paling terkenal adalah "Een Eereschuld" (Hutang Kehormatan), yang dimuat dalam Majalah De Gids pada 1899. Dalam tulisannya, ia menyerukan pertanggungjawaban moral Belanda terhadap Hindia Belanda. Sementara itu, Brooshooft dikenal dengan karyanya "Memorie Over den Toestand in Indie" (Memoar tentang Keadaan di Hindia), yang juga menggugat kondisi sosial ekonomi di tanah jajahan.
Desakan dari kaum etis yang gencar disuarakan di seluruh Belanda dan juga di kancah internasional akhirnya membuahkan hasil. Pada 1901, Ratu Wilhelmina dalam pidatonya di hadapan Dewan Belanda secara resmi mengakui adanya "hutang moral" dan "balas budi" terhadap rakyat Hindia Belanda. Pengakuan ini kemudian diimplementasikan melalui program Trias Van Deventer, yang menjadi tonggak dimulainya politik etis di Hindia Belanda.
Program yang diambil dari nama tokoh penggagas politik etis tersebut, terdiri penguatan irigasi sektor pertanian, transmigrasi penduduk dan akses terhadap pendidikan. Beberapa ketentuan hukum dibentuk, guna wujudkan program politik balas budi, seperti Decentralisatie Wet 1903 (UU Desentralisasi) yang disahkan pada 23 Juli 1903.
Aturan pelaksanaan dari Decentralisatie Wet 1903, maka dibentuklah Decentralisatie Besluit atau keputusan pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah, yang tercatat dalam Staatsblad No 137 Tahun 1905. Di dalam aturan tersebut, mengatur juga hak mengatur keuangan daerah secara mandiri.
Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Locale Raden Ordonnantie, yang tertuang di Staatsblad No 181 Tahun 1905, aturan dimaksud, memberikan kewenangan pembentukan parlemen daerah (cikal bakal DPRD).
Lahirnya Decentralisatie Wet 1903, berimbas pembentukan beberapa kotapraja (saat ini kota madya atau kabupaten), seperti Batavia (Jakarta), Messter Cornelis (Jatinegara), Buitenzorg (Bogor), Bandung, Cirebon, Pekalongan, Tegal, Semarang, Surabaya dan beberapa kota lainnya. Selain itu, terdapat karesidenan (gewest) seperti Banten, Madura, Banyumas, dan lain-lain.
Namun, untuk kepala pemerintahan kotapraja (burgemeester), haruslah dijabat orang Belanda dan Eropa, rakyat bumiputera belum diberikan kesempatan yang sama. Demikian juga residen yang memimpin wilayah Karesidenan wajib orang Belanda/Eropa.
Dibentuknya Decentralisatie Wet 1903, merupakan cikal bakal pengakuan otonomi daerah, di era Indonesia Merdeka, khususnya pascareformasi. Saat ini, otonomi daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Selain itu, seluruh warga negara, dari berbagai latar belakang diberikan kesempatan untuk menjadi kepala daerah, melalui pemilihan umum, hal mana tidak didapatkan, ketika era kolonialisme.