Kedudukan anak istimewa dalam hukum nasional, berbagai perangkat hukum diperuntukan melindungi dan menjaga hak-hak anak. Bahkan hak anak, diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia yang universal.
Ambil contoh, Pasal 52 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, menegaskan hak anak bagian dari hak asasi manusia, sehingga kepentingan hak anak diakui dan dilindungi hukum, bahkan saat dalam kandungan. Demikian juga, perlindungan hak anak lainnya diatur Pasal 53 sampai dengan Pasal 66 UU HAM tersebut.
Saat anak menghadapi proses hukum sekalipun, dirinya berhak dapatkan perlindungan komprehensif dan vonis yang dijatuhkan kepada anak berhadapan dengan hukum, ditujukan memperbaiki sikap anak di masa depan dan seandainya dijatuhkan putusan pidana penjara sekalipun, lebih ringan dibandingkan orang dewasa, berdasarkan ketentuan Pasal 81 Ayat 1 sampai dengan 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam hubungan keluarga, yang sulit terjangkau dan terkontrol publik, anak juga dapatkan perlindungan hukum Indonesia. Orang tua, memiliki tanggung jawab untuk berikan nafkah, pengasuhan, perawatan dan pemeliharaan anak. Bilamana orang tua, tidak melakukan tanggung jawabnya dimaksud atau terkualifikasi penelantaran, dapat dihukum pidana, sebagaimana ketentuan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Perlindungan hukum terhadap anak, juga diakui secara internasional dan melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa dirumuskan Konvensi Hak Anak (United Nations Convention on the Rights of the Child), yang disahkan pada 1989. Indonesia meratifikasinya melalui Keppres Nomor 36 Tahun 1990. Selanjutnya, prinsip dalam konvensi hak anak diadopsi dalam penyusunan UU Perlindungan Anak, termasuk beragam perubahannya.
Bagi anak, yang membantu ekonomi keluarganya dengan bekerja, di mana Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga berikan perlindungan hukum dengan mempersyaratkan usia anak 13 sampai dengan 15 tahun dapat bekerja ringan, selama tidak menghambat perkembangan dan kesehatan fisik, mental serta sosial (vide Pasal 69 Ayat 1 UU Ketenagakerjaan).
Selain itu, dalam mempekerjakan anak, wajib memenuhi berbagai syarat seperti izin tertulis dari orang tua atau wali, perjanjian kerja antara pengusaha dan wali, jam kerja maksimal 3 jam, dilakukan siang hari dan tidak ganggu sekolah, keselamatan dan kesehatan kerja, ada hubungan kerja yang jelas, dan menerima upah sesuai ketentuan berlaku, sebagaimana Pasal 69 Ayat 2 UU Ketenagakerjaan.
Dalam catatan nasional, pembatasan anak untuk bekerja telah ada sejak era Hindia Belanda. Pemerintah jajahan saat itu, telah membentuk Ordonansi Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam Bagi Wanita, sebagaimana tercatat dalam Staatsblad Nomor 647 Tahun 1925, yang diterbitkan tanggal 17 Desember 1925.
Namun, Ordonansi Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam Bagi Wanita tersebut, belum menghormati hak anak secara manusiawi dan mengesampingkan kesehatan fisik, mental serta hak bersekolah. Di mana anak berusia dibawah 12 tahun, masih dapat bekerja kecuali di pabrik atau tempat kerja tertutup, pada pekerjaan pemeliharaan jalan, perairan dan bangunan, perusahaan kereta api dan trem, pelabuhan dan galangan kapal (vide Pasal 2 Ayat 1).
Ketentuan hukum zaman penjajahan Belanda, juga tidak membatasi eksploitasi anak sebagai buruh perkebunan dan pertanian. Sebagaimana dapat terlihat nasib para pekerja anak di perkebunan tembakau, Deli Serdang, yang menanggung penderitaan, karena fisiknya diperas untuk pekerjaan berat, tanpa diperhatikan kedudukannya sebagai anak.
Semoga artikel ini dapat menjadi pembelajaran hukum, dalam melindungi hak anak dari eksploitasi ekonomi dan menambah pengetahuan bagi pembacanya, khususnya penikmat sejarah hukum nasional.