"Costs Follow the Event”: Si Kalah yang Harus Bayar dalam Peradilan

Secara sederhana, prinsip ini berarti siapa yang kalah, dia yang bayar. Tidak hanya membayar biaya administrasi pengadilan, tetapi juga membayar kembali semua ongkos hukum pihak yang menang
Ilustrasi persidangan. Foto : freepik.com
Ilustrasi persidangan. Foto : freepik.com

Pernahkah Anda membayangkan menggugat seseorang ke pengadilan, tetapi setelah kalah justru Anda harus membayar tidak hanya biaya perkara, melainkan juga biaya pengacara lawan? Inilah yang dikenal dengan prinsip “costs follow the event”, sebuah aturan yang populer di negara-negara common law seperti Inggris.

Apa Itu Costs Follow the Event?

Secara sederhana, prinsip ini berarti siapa yang kalah, dia yang bayar. Tidak hanya membayar biaya administrasi pengadilan, tetapi juga membayar kembali semua ongkos hukum pihak yang menang, termasuk honorarium pengacara.

Tujuan utamanya jelas:

  • Pihak yang benar tidak boleh dirugikan karena harus membela haknya di pengadilan.
  • Mencegah orang sembarangan menggugat tanpa dasar kuat.
  • Membuat sistem peradilan lebih efisien, karena hanya kasus yang serius yang berlanjut.

Bagaimana di Negara Common Law?

  • Inggris : Penerapannya tegas. Kalah di pengadilan berarti harus siap membayar seluruh biaya hukum pihak lawan. Tidak heran, banyak orang Inggris berpikir seribu kali sebelum mengajukan gugatan.
  • Amerika Serikat : Sedikit berbeda. Di sana berlaku American Rule, masing-masing pihak menanggung biaya pengacaranya sendiri. Namun, ada pengecualian. Bila gugatan dianggap tidak berdasar atau diajukan dengan itikad buruk, hakim bisa menghukum penggugat dengan sanction costs atau bahkan ganti rugi tambahan.
  • Belanda (civil law):  telah menerapkan tetapi secara terbatas dengan standar jasa pengacara yang ditetapkan oleh Pengadilan.

Bagaimana di Indonesia?

Indonesia menganut sistem civil law. Prinsipnya mirip, biaya perkara dibebankan kepada pihak yang kalah. Namun, cakupannya terbatas.

  • Berdasarkan HIR (Pasal 181–182) dan RBg (Pasal 192), pihak yang kalah hanya menanggung biaya administrasi, seperti panggilan sidang, saksi, pemeriksaan setempat, dan meterai.
  • Tidak ada kewajiban bagi pihak yang kalah untuk mengganti biaya pengacara pihak menang.

Artinya, bagi masyarakat Indonesia, kalah di pengadilan memang rugi, tetapi kerugiannya tidak sebesar di Inggris.

Mana yang Lebih Baik?

Pertanyaannya, apakah Indonesia sebaiknya mengikuti Inggris dengan menerapkan costs follow the event secara penuh?

  • Kelebihan: akan mengurangi gugatan asal-asalan, karena orang akan takut kalah dan harus membayar mahal.
  • Kelemahan: bisa membatasi akses masyarakat kecil untuk mencari keadilan, karena risiko biaya sangat tinggi.

Maka, solusi yang sering dibicarakan adalah jalan tengah: penerapan penalti hanya pada gugatan yang jelas-jelas tidak berdasar (frivolous lawsuits) atau diajukan dengan itikad buruk.

Penutup

Prinsip costs follow the event mengajarkan bahwa menggugat di pengadilan bukan sekadar soal keberanian, tapi juga soal tanggung jawab. Di Indonesia, aturan yang ada masih ringan, sehingga gugatan asal-asalan sering muncul.

Namun, jika ke depan hukum acara perdata Indonesia (RUU Hukum Acara Perdata) ingin lebih tegas, belajar dari praktik Inggris mungkin bisa menjadi inspirasi—tentu dengan penyesuaian agar tetap menjamin akses keadilan bagi rakyat kecil.