Menolak Salaman, Bukan Menolak Silaturahmi: Etika Hakim dan Persepsi Publik

Hakim tidak hanya dituntut untuk adil, tetapi juga untuk terlihat adil. Setiap gerak, kata, dan isyaratnya selalu berada di bawah sorotan publik
Ilustrasi hakim. Foto : Freepik
Ilustrasi hakim. Foto : Freepik

Dalam keseharian di pengadilan, ada satu peristiwa sederhana yang sering menimbulkan perdebatan seorang hakim yang menolak bersalaman dengan para pihak setelah sidang, termasuk dengan terdakwa. 

Bagi sebagian orang, sikap itu mungkin terlihat kaku, dingin, bahkan tidak manusiawi. Namun bagi seorang hakim yang memahami kedalaman makna etik jabatannya, penolakan itu justru merupakan bentuk penghormatan tertinggi terhadap prinsip netralitas dan marwah peradilan.

Hakim tidak hanya dituntut untuk adil, tetapi juga untuk terlihat adil. Setiap gerak, kata, dan isyaratnya selalu berada di bawah sorotan publik. Dalam situasi seperti itu, jabatan tangan yang tampak sepele dapat bermakna ganda. 

Wujudnya bisa dibaca sebagai bentuk keakraban atau keramahan, tetapi juga dapat ditafsirkan sebagai sinyal kedekatan yang mengaburkan batas antara pengadil dan pihak yang diadili. 

Dalam ruang sidang yang menjadi simbol kesucian hukum, jarak etik menjadi penting. Hakim yang menolak salaman bukanlah tindakan yang menghina, melainkan langkah sadar untuk menjaga jarak, yang menegaskan hakim berdiri di atas semua kepentingan.

Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) menuntut setiap hakim menjaga integritas, imparsialitas, serta kebijaksanaan dalam bertindak. Prinsip-prinsip itu tidak hanya berlaku dalam amar putusan, tetapi juga dalam bahasa tubuh dan interaksi sosial. 

Hakim yang menolak salaman, jika dilakukan dengan sikap hormat dan sopan, sesungguhnya sedang menjalankan etika kehati-hatian. Tangan yang tidak terulur bukan tanda penolakan, melainkan upaya menjaga kesucian peran. 

Hakim tidak menolak hubungan sosial, melainkan menghindari kesan kedekatan yang dapat merusak kepercayaan. Kita tentu paham, salaman dalam budaya kita memiliki nilai kemanusiaan dan kesantunan yang tinggi. 

Namun bagi seorang Hakim, ada saat di mana kemanusiaan justru harus tunduk di bawah tanggung jawab institusional. Sosoknya tidak sedang memutuskan antara sopan atau tidak sopan, tetapi antara menjaga citra keadilan atau merusaknya. 

Dalam momen itu, hakim menahan diri bukan karena kehilangan empati, tetapi karena ia tahu setiap tindakannya mengandung konsekuensi bagi kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan.

Sayangnya, masyarakat sering menilai hakim melalui kacamata emosional. Mereka menginginkan sosok hakim yang hangat dan mudah didekati. 

Padahal keadilan tidak selalu tampil dalam bentuk yang ramah. Terkadang, bentuknya hadir dalam ketegasan yang hening, dalam kesunyian sikap yang tak banyak kata, dalam penolakan yang justru menyelamatkan makna. Di sinilah pentingnya edukasi publik tentang perilaku peradilan. 

Hakim yang menjaga jarak, bukan berarti kehilangan sisi manusiawinya, justru di sanalah letak pengorbanannya. Ia rela disalahpahami demi memastikan tidak ada keraguan terhadap imparsialitasnya.

Menolak salaman, bukan berarti menolak silaturahmi. Hakim tetap dapat menunjukkan rasa hormat dengan menundukkan kepala, memberi senyum, atau menyampaikan ucapan terima kasih dengan nada tulus. 

Etika komunikasi tetap dapat berjalan, tanpa mengorbankan batas etik dan sejatinya, kehormatan hakim tidak diukur dari berapa banyak tangan yang dijabat, melainkan dari seberapa kuat dirinya menjaga tangannya tetap bersih dari kepentingan dan persepsi berpihak.

Pada akhirnya, penolakan salaman itu, bukanlah bentuk kesombongan, melainkan cara seorang hakim menjaga keadilan tetap suci. Ia sedang melindungi nilai yang lebih besar daripada dirinya sendiri, kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. 

Dalam keheningan sikap itu, tersimpan pesan yang dalam bahwa tangan yang tak bersalaman bukanlah tangan yang membenci, melainkan tangan yang sedang menjaga kehormatan keadilan.

Penulis: Iqbal Lazuardi
Editor: Tim MariNews