Di balik palu keadilan yang diketuk oleh seorang Hakim, terdapat tanggung jawab moral dan etika yang maha berat.
Hakim tidak hanya mengadili berdasarkan undang-undang positif, tetapi juga mempertimbangkan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat, yang sebagian besarnya bersumber dari iman dan ajaran agama.
Maka, bagi seorang Hakim memiliki iman dan pemahaman agama yang mendalam bukan sekadar urusan pribadi, melainkan sebuah prasyarat fundamental untuk menjaga integritas, objektivitas, dan menghasilkan putusan yang berkeadilan sejati.
Landasan Moral dan Etika
Iman yang kuat dan pemahaman agama yang mendalam berfungsi sebagai kompas moral utama bagi Hakim. Dalam konteks sistem hukum di Indonesia, yang mengakui Pancasila sebagai dasar negara dengan sila pertama "Ketuhanan Yang Maha Esa," dimensi spiritualitas adalah bagian tak terpisahkan dari penegakan hukum.
- Benteng Anti Korupsi: Godaan terbesar dalam profesi Hakim adalah suap dan gratifikasi. Bagi Hakim yang beriman, kesadaran akan pertanggungjawaban di hadapan Tuhan jauh lebih menakutkan daripada sanksi hukum duniawi. Pemahaman agama mengajarkan tentang dosa, pahala, dan azab, menanamkan keyakinan bahwa kekayaan haram yang diperoleh dari memutarbalikkan keadilan akan membawa kerugian abadi. Iman menjadi benteng internal yang lebih kokoh daripada sekadar peraturan tertulis.
- Keteguhan dalam Independensi: Hakim harus independen dari segala bentuk tekanan, baik dari kekuasaan politik, kekayaan, maupun opini publik. Pemahaman agama memberikan kekuatan spiritual untuk berpegang teguh pada kebenaran, meneladani sikap para pemimpin agama atau nabi yang selalu membela kaum lemah dan tertindas. Keyakinan bahwa tugasnya adalah menjalankan amanah Ilahi akan menguatkan keberanian untuk memutus perkara secara adil, bahkan ketika putusan itu tidak populer.
Memperkaya Keadilan Substantif
Keadilan yang sejati (keadilan substantif) melampaui keadilan prosedural (kepatuhan pada hukum acara). Di sinilah peran pemahaman agama menjadi krusial.
- Keadilan Berbasis Nurani (Hati Nurani). Hukum positif kadang memiliki celah atau bersifat kaku. Pemahaman agama mengajarkan tentang konsep rahmat, belas kasih, dan pengampunan (misalnya konsep Maslahah Mursalah dalam Islam atau kasih universal dalam Kekristenan). Hakim yang memiliki pemahaman agama mendalam, mampu menggunakan hati nuraninya yang bersih untuk menafsirkan dan menerapkan hukum sedemikian rupa, sehingga putusan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil secara kemanusiaan.
- Empati dan Objektivitas. Agama menuntut umatnya untuk memperlakukan orang lain dengan adil, tanpa memandang ras, suku, atau status sosial. Prinsip imparsialitas dalam ajaran agama (berlaku adil walau kepada musuh) memastikan Hakim dapat melepaskan prasangka pribadi atau sentimen kelompok saat memimpin sidang. Empati yang diajarkan agama juga membantu Hakim memahami dampak putusannya terhadap kehidupan para pihak yang berperkara, mendorongnya untuk mencari solusi yang seimbang dan konstruktif.
Amanah dan Keteladanan Profesi
Profesi Hakim adalah salah satu bentuk amanah terbesar dalam masyarakat. Di banyak agama, peran sebagai penentu hukum atau pengadil memiliki kedudukan yang sangat terhormat, namun juga penuh risiko spiritual.
Hakim yang menjunjung tinggi iman, akan menyadari kegagalan dalam menegakkan keadilan adalah pengkhianatan terhadap amanah publik dan amanah Tuhan.
Maka, sosoknya akan termotivasi untuk terus meningkatkan kompetensi professional dan tidak hanya dalam ilmu hukum, tetapi juga dalam mengasah kepekaan moral dan etika.
Pada akhirnya, iman yang kokoh dan pemahaman agama yang tulus adalah perisai tidak terlihat, yang melindungi seorang Hakim dari kerusakan moral dan menjaga integritas putusannya.
Dirinya adalah sumber kekuatan, saat menghadapi ketidakpastian, penawar saat menghadapi godaan, dan penuntun saat mencari keadilan yang paling hakiki, menjamin bahwa putusan yang dihasilkan membawa maslahat bagi kehidupan di dunia dan bekal pertanggungjawaban di akhirat.





