Dalam lintasan sejarah peradaban Islam, jabatan qādī (hakim) menempati posisi penting sebagai penegak hukum dan penjaga keadilan publik.
Namun, di balik kehormatan itu, tidak sedikit ulama besar justru menolak mentah-mentah jabatan hakim, ketika ditawari oleh penguasa. Penolakan ini bukan bentuk pengingkaran terhadap tanggung jawab sosial, melainkan ekspresi dari kesadaran moral dan ketakutan spiritual beratnya amanah keadilan.
Sikap ini dapat dipahami dalam konteks firman Allah: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (QS. an-Nisā’ [4]: 58).
Ayat tersebut, menegaskan menegakkan keadilan merupakan amanah ilahiah, bukan hanya sekadar urusan administratif. Sehingga para ulama klasik menyadari hal itu dengan sangat mendalam.
Keadilan merupakan salah satu pilar utama dalam kehidupan. Dalam Islam, keadilan memiliki dimensi teologis dan moral yang sangat kuat, yang menegaskan pentingnya menegakkan hukum dengan adil, tanpa dipengaruhi hawa nafsu atau kepentingan pribadi.
Dalam konteks hukum positif modern, prinsip keadilan sejalan dengan konsep negara hukum (rule of law) yang diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Keadilan tidak hanya menjadi nilai moral, tetapi juga norma konstitusional yang mengikat seluruh penyelenggara negara, termasuk hakim.
Namun, demikian persoalan klasik tetap muncul bagaimana menjaga independensi hakim di tengah tekanan kekuasaan politik atau ekonomi?
Untuk menjawabnya, perlu menelusuri jejak ulama klasik yang dengan tegas menolak jabatan hakim, ketika merasa kebebasan dalam menegakkan hukum terancam.
Sikap Ulama Klasik terhadap Jabatan Hakim
Imam Abu Hanifah (w. 150 H) merupakan contoh paling terkenal, karena menolak tawaran Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur untuk menjadi hakim agung, karena khawatir tidak dapat menegakkan hukum Allah secara bebas di bawah tekanan politik.
Dalam Tarikh Baghdad, Al-Khatib al-Baghdadi meriwayatkan bahwa Abu Hanifah berkata:
“Aku tidak layak untuk jabatan itu.” Namun ketika khalifah mendesaknya, ia menegaskan, “Jika aku berdusta dengan mengatakan aku tidak layak, maka aku tidak pantas menjadi hakim dan jika aku berkata benar, maka aku pun tidak pantas diangkat.”
Sikap serupa juga ditunjukkan oleh Sufyan ats-Tsauri (w. 161 H), seorang ahli hadis dan sufi zuhud. Dirinya menolak jabatan hakim dan bahkan meninggalkan Kufah agar tidak dipaksa oleh penguasa Abbasiyah.
Dalam Hilyat al-Awliyā’ karya Abu Nu‘aym, ia berkata: “Jika engkau mampu hidup tanpa menjadi hakim, maka janganlah engkau menjadi hakim.”
Adapun Imam Ahmad bin Hanbal (w. 241 H), juga menolak jabatan kehakiman dan posisi resmi istana. Sosoknya menegaskan tanggung jawab di hadapan Allah jauh lebih berat daripada kemuliaan di hadapan penguasa.
Penolakannya terhadap kekuasaan mencapai puncaknya saat fitnah Khalq al-Qur’an, ketika lebih memilih dipenjara daripada tunduk pada perintah khalifah untuk menyatakan Al-Qur’an adalah makhluk.
Etika Keadilan dan Independensi dalam Perspektif Islam
Dalam perspektif ulama klasik seorang hakim adalah wakīl Allāh fī al-arḍ yaitu perwakilan Tuhan di bumi dalam urusan keadilan.
Imam al-Māwardī dalam al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah menjelaskan jabatan qādī menuntut keilmuan yang luas, kejujuran, dan kebebasan dari pengaruh politik (istiqlāl). Ia menulis: “Hakim tidak boleh dipengaruhi oleh sultan, karena keadilannya terletak pada kebebasannya dalam memutus perkara.”
Prinsip ini, relevan dengan pandangan Ibn Khaldun dalam kitabnya al-Muqaddimah, yakni keadilan adalah asas berdirinya peradaban (al-‘adl asās al-mulk). Ketika keadilan hancur, legitimasi negara pun runtuh.
Konsep dimaksud, sejajar dengan prinsip modern judicial independence (independensi peradilan), sebagaimana ditegaskan dalam Basic Principles on the Independence of the Judiciary (PBB, 1985), bahwa seorang hakim harus bebas dari intervensi eksternal dalam menjalankan tugas yudisialnya.
Artinya, nilai-nilai yang diperjuangkan para ulama klasik telah lama menjadi prinsip universal dalam etika peradilan modern.
Dalam konteks hukum nasional Indonesia, prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yakni kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan. Prinsip serupa diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Pasal 3 ayat (1).
Maka, penolakan ulama klasik terhadap jabatan hakim di bawah tekanan politik dapat dipahami sebagai bentuk awal dari konsep judicial independence yang kini menjadi fondasi utama sistem hukum modern.
Pelajaran bagi Hakim di Era Modern
Dalam sistem hukum modern, seorang hakim sering dihadapkan pada tekanan politik, ekonomi, atau opini publik. Teladan para ulama klasik mengajarkan integritas pribadi dan keteguhan moral merupakan benteng utama dalam menjaga keadilan.
Hakim zaman modern ini perlu meneladani tiga nilai utama dari para ulama klasik dalam menolak jabatan hakim, di antaranya adalah:
- Menjunjung tinggi independensi moral, yakni kebebasan batin dari kepentingan pribadi atau pengaruh eksternal.
- Memiliki sifat amanah dan tanggung jawab spiritual, menyadari di mana setiap keputusan hukum akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan Rabbul Jalal.
- Sikap keberanian untuk menolak segala bentuk intervensi kekuasaan, sebagaimana dilakukan Abu Hanifah dan Sufyan ats-Tsauri.
- Dengan menginternalisasi nilai-nilai ini, peradilan modern dapat menjaga keadilan substantif, bukan hanya prosedural.
Refleksi Normatif
Dari perspektif hukum Islam dan hukum positif modern, sikap ulama klasik ketika menolak tawaran menjadi hakim, menggambarkan konsistensi terhadap prinsip moralitas hukum.
Mereka menolak kekuasaan atau jabatan hakim, bukan karena menolak hukum, tetapi semata-mata ingin menjaga kemurnian keadilan dari intervensi politik.
Dalam kerangka filsafat hukum modern, sikap ini sejalan dengan pandangan Lon L. Fuller tentang the morality of law, hukum tanpa moralitas hanya menjadi instrumen kekuasaan. Maka, integritas moral hakim adalah jantung dari sistem peradilan yang berkeadilan.
Penutup
Sikap ulama klasik yang menolak jabatan hakim merupakan simbol perlawanan terhadap potensi penyalahgunaan kekuasaan dan sekaligus pembelaan terhadap nilai-nilai keadilan yang murni, serta cerminan integritas dan keberanian moral yang langka.
Dalam konteks modern, prinsip yang diperjuangkan menemukan bentuknya dalam konsep independensi kekuasaan kehakiman.
Keadilan bukanlah produk politik, melainkan amanah moral dan spiritual. Sebagaimana ditegaskan Ibn Khaldun, “Keadilan adalah fondasi tegaknya peradaban.” Maka, menjaga integritas hakim sama artinya dengan menjaga keberlanjutan peradaban itu sendiri.
Daftar Pustaka
Al-Khatib al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
Al-Māwardī, al-Aḥkām as-Sulṭāniyyah, Kairo: Dar al-Hadith.
Abu Nu‘aym al-Ashfahani, Hilyat al-Awliyā’, Beirut: Dar al-Fikr.
Ibn Khaldun, al-Muqaddimah, Beirut: Dar al-Fikr, 2005.
Fuller, Lon L., The Morality of Law, Yale University Press, 1969
United Nations, Basic Principles on the Independence of the Judiciary, 1985.
Bangalore Principles of Judicial Conduct, United Nations, 2002.





