Menjadi Hakim bukan sekedar sebuah pilihan dan kehendak bebas seorang manusia atas dirinya sendiri. Menurut penulis, Hakim telah dipilih Tuhan yang telah mengukirkan garis takdir.
Tidak mudah menjadi Hakim yang adil, karena dituntut agar tidak menjadi manusia satu dimensi menurut Herbet Marcuse. Hakim yang prinsip, kerangka berpikir, paradigmanya hanya one dimensional man akan berbahaya bagi penegakkan hukum. Sebab, akan terkungkung dalam tembok tinggi, tebal, serta melihat permasalahan di sekitar dengan menggunakan kacamata kuda.
Hakim ideal adalah yang multidimensional, melihat hukum bukan sebagai bangunan monolitik yang berdiri sendiri, dikarenakan hukum selalu berbenturan dengan ilmu-ilmu yang lain. Menjadi Hakim tidak boleh masinal dan statis, disebabkan berhukum memerlukan hati nurani.
Mengadili adalah tentang pergumulan atau pergulatan kemanusiaan, begitu kata Roeslan Saleh. Untuk memupuk rasa kemanusiaan, maka diperlukan Hakim yang berhati nurani, jauh dari sikap machiavellian.
Sebagai seorang muslim, penulis selalu berkeyakinan Hakim yang ideal harus mempunyai tiga nilai dasar dalam menjalin hubungan yakni hablum minallah (hubungan manusia dengan Penciptanya), hablum minannas (hubungan manusia dengan manusia lainnya) serta hablum minal alam (Hubungan manusia dengan alam).
Pertama, kaitannya dengan hablum minallah. Hakim adalah satu entitas yang di dalam sanubarinya harus memiliki kadar integritas yang tiada terkira. Seorang Hakim yang kurang mempunyai kecerdasan spiritual, maka perlahan integritas akan memudar dan selanjutnya sirna.
Kemudian, putusan yang dilahirkan Hakim tersebut, hanya sekedar suatu barang yang dapat dikapitalisasi dan dibeli. Kecerdasan spiritual dapat dilahirkan oleh hubungan manusia dengan Tuhannya. Bilamana, kita berbicara mengenai satu asas yang paling fundamental dan wajib dipedomani Hakim dalam menjatuhkan suatu putusan, yakni asas religiusitas yang tergambar dalam irah-irah putusan.
Menurut seorang Hakim kondang bernama Bismar Siregar, irah-irah putusan adalah roh-nya suatu putusan. Bilamana irah-irah putusan luput dicantumkan Hakim dalam putusannya, maka sesuai Pasal 197 ayat (2) KUHAP, putusan menjadi batal demi hukum.
Putusan adalah sebuah manifestasi, pemaknaan, perenungan yang sangat mendalam yang diciptakan seorang Hakim dalam menghadapi suatu perkara. Hal paling vital di dalam suatu putusan adalah irah-irahnya.
Dengan menyebut Tuhan dalam irah-irah suatu putusan, hendaknya tugas seorang Hakim, tidak hanya didedikasikan kepada negara dan masyarakat. Kewajiban Hakim, yang utama bertanggung jawab pada Tuhan.
Sebagai hamba Tuhan, Putusan adalah cerminan dari way of lifenya Hakim, dari membaca putusam dapat tergambarkan kepribadian, paradigma berpikir, intelektualitas, emosionalitas, spiritualitas seorang Hakim.
Kedua, kaitannya dengan hablum minannas. Sebagai makhluk sosial, Penulis teringat Qs An-Nisa ayat 58 yang berbunyi; “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil“.
Bilamana menganalisa penggalan ayat dari Qs An-Nisa di atas, maka seorang Hakim pasti akan selalu berada di tengah-tengah belantara masyarakat. Dan di tengah-tengah belantara masyarakat itulah, sosoknya wajib mengambil peran untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya.
Sedangkan menurut perspektif utilitarianisme karya Jeremy Bentham “The aim of law is the greatest happines for the greatest number”, dan menurut perspektif hukum progresif Prof. Satjipto Rahardjo “Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum“. Sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia lainnya, Khoirunnas Anfauhum Linnas, atau Migunani Tumraping Liyan bilamana menurut pepatah Jawa.
Seorang Hakim sangat vital perannya di tengah-tengah masyarakat, melalui putusan dapat berikan rasa keadilan, ataupun sebaliknya.
Ketiga, kaitannya dengan hablum minal alam. Terkadang, sebagai manusia hanya melihat dua spektrum di atas saja, padahal spektrum/nilai dasar ini tidak kalah pentingnya.
Hubungan manusia dengan alamnya, menurut Vandana Shiva, dari perspektif eko feminisme, adalah alam merupakan Ibu.
Ibu yang melahirkan kita semua, manusia. Apa yang ada di dalam diri manusia, tidak ubahnya berasal dari Alam. Hal tersebut, dipertegas QS At-Thaha Ayat 55, menerangkan bahwa; ”Darinya (tanah) itulah, kami menciptakan kamu dan kepadanyalah kami akan mengembalikan kamu dan dari sanalah kami akan mengeluarkan kamu pada waktu yang lain.”
Manusia diciptakan Allah dari tanah, dan akan kembali pulang, dikuburkan pula nantinya di liang lahat.
Menurut penelitian, sekitar 70-80% tubuh manusia terdiri dari air. Jadi bisa disimpulkan bahwa bagian dari diri manusia mempunyai keterhubungan dan tidak bisa dipisahkan dari alam.
Dalam mengadili perkara lingkungan, tentunya Hakim hendaknya mengedepankan prinsip precautionary principle dalam pertimbangannya.
Hal ini, menandakan Hakim yang mengadili perkara wajib peka dan paham, bahwa lingkungan yang melahirkan, memberikan udara segar yang dapat dihirup, serta diciptakan bukan semata untuk dihancurkan maupun dieksploitasi.
Murray bookchin pernah mengatakan Dominasi manusia terhadap alam berangkat dari dominasi yang sangat nyata dari manusia terhadap sesama manusia.
Seorang Hakim harus mencintai alam, dengan melakukan taddabur alam, maka sosoknya dapat mengenali kebesaran dan keindahan yang telah Allah ciptakan.
Dapat disimpulkan bahwa menjadi Hakim selain harus memiliki integritas dan profesionalitas, juga harus mempunyai hubungan yang baik dengan Tuhannya, dengan sesama manusia, dan dengan alam sekitarnya.
R.A Kartini pernah berkata, “gamelan tidak pernah bersorak-sorai, sekalipun di dalam pesta yang paling gila, ia terdengar sayu dalam nyanyiannya, mungkin begitulah seharusnya. Kesayuan itulah hidup, bukan nyanyi bersorak-sorai” Menjadi Hakim berarti bersiap menyusuri jalan sunyi, tidak menutup diri namun membatasi dengan lingkungan sekitar, dengan siapa bersosialisasi.
Maka tetaplah berpedoman kepada nilai-nilai luhur yang telah terkandung di dalam Pancasila, antara lain Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Permusyawaratan serta Keadilan. Selain itu. berpedoman pada Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim yang telah mengatur berbagai rupa bagaimana Hakim bertindak dan bersikap.
Menjadi Hakim bukan sekadar menjalankan profesi, melainkan menapaki jalan pengabdian yang penuh dengan kontemplasi dan tanggung jawab.
Di tangan seorang Hakim, hukum menemukan jiwanya dan di hati seorang hakim, keadilan menemukan maknanya. Maka pada akhirnya, menjadi Hakim bukan tentang berkuasa atas nasib orang lain, tetapi tentang menundukkan ego di hadapan kebenaran dan menegakkan keadilan sebagai bentuk ibadah kepada Tuhan Yang Maha Esa.





