Diskresi Hakim dalam Penetapan Mut’ah bagi Istri Pasca Cerai Talak: Analisis Yuridis Fikih Klasik dan Kontemporer

Dalam tradisi fikih klasik, fuqahak sepakat kedudukan mut’ah merupakan hak istri yang ditalak.
Ilustrasi perceraian | Foto freepik
Ilustrasi perceraian | Foto freepik

Pendahuluan
Perceraian dalam hukum keluarga Islam bukan sekadar peristiwa putusnya hubungan perkawinan antara suami dan istri, melainkan juga melahirkan sejumlah akibat hukum yang harus dipenuhi oleh para pihak.

Salah satu akibat hukumnya adalah kewajiban mut’ah, yaitu pemberian dari suami kepada istri yang diceraikan sebagai bentuk penghormatan, kompensasi moral, dan perlindungan ekonomi bagi istri pasca cerai talak. Konsep mut’ah memiliki landasan normatif yang kuat dalam Al-Qur’an dan telah menjadi bagian integral dari diskursus fikih klasik maupun perkembangan fikih kontemporer.

Dalam tradisi fikih klasik, fuqahak sepakat kedudukan mut’ah merupakan hak istri yang ditalak, meskipun terdapat perbedaan pendapat (ikhtilaf) mengenai status hukumnya apakah bersifat wajib atau sunnah serta mengenai cakupan penerimanya. 

Perbedaan ini, menunjukkan pemberian mut’ah merupakan norma hukum yang bersifat dinamis dan terbuka terhadap penalaran hukum (ijtihad). 

Seiring dengan perkembangan sosial dan meningkatnya perhatian terhadap keadilan substantif dalam hukum keluarga (Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah), dalam pemikiran fikih kontemporer atau di Negara Muslim Modern cenderung memperkuat kedudukan mut’ah sebagai kewajiban hukum, khususnya dalam perceraian sepihak oleh suami, serta menekankan perlunya perlindungan terhadap martabat dan kesejahteraan perempuan pasca perceraian.

Dalam konteks hukum positif Indonesia, pengaturan mut’ah telah memperoleh legitimasi yuridis melalui Kompilasi Hukum Islam (KHI). KHI secara tegas menempatkan mut’ah sebagai kewajiban suami dalam perkara cerai talak, namun tidak menetapkan besaran nominalnya secara rigid.

Ketiadaan pengaturan kuantitatif tersebut memberikan ruang bagi hakim untuk menggunakan diskresi dalam menetapkan mut’ah berdasarkan prinsip kepatutan, kemampuan ekonomi suami, serta rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Diskresi hakim ini menjadi titik temu antara norma fikih, ketentuan hukum positif, dan realitas sosial para pihak.

Meskipun demikian, penggunaan diskresi hakim dalam penetapan mut’ah kerap menimbulkan variasi putusan antarperkara dan antarperadilan, baik dari segi pertimbangan hukum maupun besaran mut’ah yang ditetapkan. Kondisi ini memunculkan pertanyaan yuridis mengenai batas, dasar, dan legitimasi penggunaan diskresi hakim dalam menetapkan mut’ah, serta sejauh mana diskresi tersebut selaras dengan prinsip-prinsip fikih klasik dan pemikiran fikih kontemporer.

Berdasarkan latar belakang tersebut, artikel ini bertujuan untuk menganalisis diskresi hakim dalam penetapan mut’ah bagi istri pasca cerai talak melalui pendekatan yuridis normatif, dengan menelaah sumber-sumber hukum Islam dalam fikih klasik, pemikiran ulama fikih kontemporer, serta ketentuan hukum positif di Indonesia. 

Kajian ini, diharapkan dapat memberikan kontribusi teoretis dalam pengembangan hukum keluarga Islam, sekaligus menjadi rujukan praktis bagi hakim Pengadilan Agama dalam mewujudkan putusan yang adil, proporsional, dan berkeadilan gender.

Konsep Mut’ah dalam Hukum Islam
Mut’ah dalam hukum Islam merupakan pemberian yang wajib atau dianjurkan dari suami kepada istri yang ditalak sebagai konsekuensi dari putusnya ikatan perkawinan. Secara etimologis, mut’ah berasal dari kata “mata‘a” yang berarti memberikan sesuatu untuk dimanfaatkan. 

Dalam terminologi fikih, mut’ah dipahami sebagai harta atau pemberian tertentu yang diberikan kepada istri pasca cerai talak sebagai bentuk penghiburan, penghormatan, dan tanggung jawab suami atas berakhirnya hubungan perkawinan yang sah.

Dasar normatif mut’ah secara tegas termaktub dalam dalam QS. al-Baqarah (2) ayat 236 dan QS. al-Baqarah (2) ayat 241. Kedua ayat tersebut menegaskan kewajiban memberikan mut’ah kepada perempuan yang diceraikan dengan ukuran yang patut sesuai kemampuan suami. 

Lafaz “bi al-ma‘ruf dan ?aqqan ‘ala al-muttaqin” dalam ayat tersebut menunjukkan kedudukan mut’ah tidak sekadar bersifat anjuran moral, melainkan memiliki dimensi normatif yang mengikat.

Selain Al-Qur’an, legitimasi mut’ah juga diperkuat oleh praktik Nabi Muhammad SAW dan pemahaman para sahabat yang menjadikan mut’ah sebagai bagian dari etika dan hukum perceraian dalam Islam.

Dari perspektif tujuan hukum (maqasid al-syari‘ah), mut’ah memiliki fungsi yang multidimensional yaitu: 

  1. Mut’ah berperan sebagai perlindungan moral bagi istri agar tidak kehilangan martabat akibat perceraian yang sering kali membawa stigma sosial. 
  2. Mut’ah berfungsi sebagai perlindungan sosial, dengan menegaskan tanggung jawab suami terhadap dampak sosial yang dialami istri setelah perceraian. 
  3. Mut’ah memiliki dimensi perlindungan ekonomi, terutama bagi istri yang kehilangan sumber nafkah akibat putusnya perkawinan, sehingga dapat menopang kebutuhan hidupnya pada masa transisi pasca cerai.

    Dalam kerangka hukum Islam, mut’ah menempati kedudukan sebagai akibat hukum langsung dari cerai talak. Pemberian mut’ah tidak bergantung pada adanya kesepakatan para pihak, melainkan lahir secara otomatis sebagai konsekuensi yuridis dari tindakan talak yang dilakukan oleh suami. 

Oleh karena itu, mut’ah dipahami sebagai instrumen keadilan dalam hukum keluarga Islam yang bertujuan menyeimbangkan posisi suami dan istri, serta mencegah terjadinya ketidakadilan dan kerugian sepihak terhadap istri akibat perceraian. Kedudukan ini menegaskan konsep mut’ah bukan sekadar pemberian sukarela, melainkan bagian integral dari sistem perlindungan hukum Islam terhadap perempuan dalam konteks perceraian.

Mut’ah dalam Perspektif Fikih Klasik
Dalam khazanah fikih klasik, mut’ah dipahami sebagai konsekuensi hukum dari perceraian yang dilakukan oleh suami, meskipun para ulama berbeda pendapat mengenai status hukumnya dan cakupan penerimanya.

Perbedaan pandangan ini merupakan bagian dari dinamika ijtihad para imam mazhab dalam memahami teks-teks normatif Al-Qur’an dan Hadis, serta dalam menyeimbangkan antara aspek normatif, etis, dan kontekstual dalam hukum keluarga Islam.

Mazhab Hanafi memandang mut’ah sebagai kewajiban dalam kondisi tertentu, yakni apabila istri diceraikan sebelum terjadi hubungan suami istri (qabla al-dukh?l) dan belum ditentukan mahar.

Dalam keadaan tersebut, mut’ah berfungsi sebagai pengganti mahar yang belum ditetapkan. Namun, apabila mahar telah ditentukan atau perceraian terjadi setelah dukhul, pemberian mut’ah dipandang sebagai sunnah. Pandangan ini menunjukkan mazhab Hanafi menempatkan mut’ah dalam kerangka kompensasi hukum yang bersifat situasional.
Berbeda dengan mazhab Hanafi, mazhab Maliki memandang mut’ah sebagai sunnah muakkadah bagi setiap istri yang ditalak, baik sebelum maupun sesudah dukhul. Mazhab ini menekankan dimensi etis dan moral dalam perceraian, dengan menjadikan mut’ah sebagai bentuk kebaikan dan tanggung jawab suami, tanpa menempatkannya sebagai kewajiban hukum yang dapat dipaksakan. Pendekatan Maliki menunjukkan penekanan pada aspek kesalehan individu dan adab sosial dalam penyelesaian perceraian.

Sementara itu, mazhab Syafi’i menempatkan mut’ah pada posisi yang lebih kuat dengan menyatakan mut’ah wajib bagi istri yang ditalak oleh suaminya, kecuali dalam kondisi tertentu, seperti perceraian sebelum dukhul dan mahar telah ditentukan. Mazhab ini mendasarkan pandangannya pada penafsiran lafaz “?aqqan” dalam QS. al-Baqarah (2) ayat 241, yang dipahami sebagai perintah yang bersifat mengikat. Dengan demikian, mut’ah dipandang sebagai hak istri yang lahir secara otomatis akibat cerai talak.

Adapun mazhab Hanbali memandang mut’ah sebagai kewajiban bagi istri yang ditalak sepanjang perceraian tersebut tidak disebabkan oleh nusyuz dari pihak istri. Mazhab Hanbali menekankan tentang mut’ah merupakan bentuk tanggung jawab suami atas keputusan sepihaknya dalam mengakhiri perkawinan, sekaligus sebagai mekanisme perlindungan bagi istri dari dampak negatif perceraian.

Dari keseluruhan pandangan mazhab fikih klasik tersebut, dapat disimpulkan meskipun terdapat perbedaan dalam aspek status hukum dan syarat penerapan mut’ah, para ulama sepakat pemberian mut’ah merupakan hak istri yang ditalak dan memiliki fungsi kompensatoris dalam hukum perceraian Islam. 

Perbedaan ijtihad tersebut, mencerminkan fleksibilitas hukum Islam dalam merespons beragam kondisi sosial dan menjadi landasan penting bagi pengembangan konsep mut’ah dalam fikih kontemporer dan hukum positif modern.

Mut’ah dalam Perspektif Fikih Kontemporer
Perkembangan pemikiran fikih kontemporer menunjukkan adanya pergeseran paradigma dalam memahami konsepsi mut’ah, dari sekadar norma etis atau kewajiban terbatas dalam fikih klasik menuju instrumen perlindungan hukum yang lebih komprehensif bagi perempuan pasca perceraian. 

Pergeseran ini, tidak terlepas dari perubahan kondisi sosial, meningkatnya kesadaran akan keadilan gender, serta kebutuhan untuk menghadirkan hukum Islam yang responsif terhadap realitas kehidupan modern.

Para ulama fikih kontemporer pada umumnya menegaskan tentang mut’ah seharusnya diposisikan sebagai kewajiban hukum dalam setiap perceraian sepihak oleh suami, kecuali terdapat alasan syar‘i yang menggugurkan hak tersebut. 
Penegasan ini didasarkan pada penafsiran kontekstual terhadap ayat-ayat Al-Qur’an tentang mut’ah, khususnya QS. al-Baqarah (2): 241, yang dipahami sebagai perintah normatif untuk melindungi perempuan dari kerugian akibat perceraian. Dengan pendekatan ini, mut’ah tidak lagi dipahami sebagai pemberian simbolik, melainkan sebagai hak ekonomi yang nyata dan dapat dituntut secara hukum.

Pendekatan teori maqasid al-syari‘ah menjadi landasan utama dalam pemikiran fikih kontemporer mengenai mut’ah. Mut’ah dipandang sebagai sarana untuk mewujudkan perlindungan terhadap martabat manusia (hifz al-‘ird), kesejahteraan jiwa ifd al-nafs), dan keadilan sosial (al-‘adalah). Dalam kerangka ini, pemberian mut’ah dipandang sebagai mekanisme untuk mengurangi dampak psikologis, sosial, dan ekonomi yang dialami istri akibat perceraian, sekaligus sebagai bentuk pertanggungjawaban suami atas keputusan mengakhiri perkawinan.

Selain itu, fikih kontemporer juga menekankan pentingnya fleksibilitas dalam penentuan besaran mut’ah. Tidak adanya ketentuan nominal yang pasti dalam nash dipahami sebagai ruang ijtihad yang dapat diisi oleh hakim atau otoritas hukum dengan mempertimbangkan kemampuan ekonomi suami, lamanya perkawinan, kontribusi istri dalam rumah tangga, serta kondisi sosial istri pasca cerai. Pandangan ini sejalan dengan prinsip keadilan substantif yang menuntut perlakuan proporsional berdasarkan kondisi konkret para pihak.

Dengan demikian, fikih kontemporer menempatkan mut’ah sebagai bagian integral dari sistem perlindungan hukum keluarga Islam yang berorientasi pada keadilan dan kemaslahatan. Konsep mut’ah tidak hanya dipertahankan sebagai warisan normatif dari fikih klasik, tetapi juga dikembangkan sebagai instrumen hukum yang adaptif dan kontekstual, sekaligus memberikan legitimasi teoretis bagi penggunaan diskresi hakim dalam penetapan mut’ah pada praktik peradilan modern.

Pengaturan Mut’ah dalam Hukum Positif Indonesia
Dalam konteks hukum positif Indonesia, mut’ah memperoleh legitimasi yuridis yang jelas melalui Kompilasi Hukum Islam sebagai sumber hukum materiil yang digunakan dalam penyelesaian perkara hukum keluarga Islam di lingkungan Peradilan Agama. 

Pengaturan mut’ah dalam KHI menunjukkan upaya harmonisasi antara norma fikih klasik dan kebutuhan hukum nasional yang berorientasi pada perlindungan hak-hak perempuan pasca perceraian.

Ketentuan mengenai mut’ah secara eksplisit diatur dalam Pasal 149 huruf (a) KHI, yang menyatakan bahwa akibat putusnya perkawinan karena talak, bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang maupun benda, kecuali apabila perkawinan tersebut putus sebelum terjadinya hubungan suami istri (qabla al-dukhl). 
Rumusan pasal ini, menegaskan kedudukan mut’ah dalam KHI diposisikan sebagai kewajiban hukum yang bersifat imperatif, bukan sekadar anjuran moral sebagaimana dipahami oleh sebagian mazhab fikih klasik.

Selanjutnya, Pasal 158 KHI memperjelas syarat pemberian mut’ah dengan menyatakan mut’ah wajib diberikan apabila perceraian terjadi atas kehendak suami dan istri tidak berada dalam keadaan nusyuz. Ketentuan ini mencerminkan prinsip keadilan proporsional, di mana kewajiban mut’ah dikaitkan dengan tanggung jawab pihak yang memprakarsai perceraian serta perilaku para pihak dalam rumah tangga. Dengan demikian, KHI tidak hanya menegaskan hak istri atas mut’ah, tetapi juga memberikan batasan normatif yang jelas terhadap penerapannya.

Dari aspek cakupan penerima, KHI cenderung mengadopsi pendekatan moderat-progresif. Pada prinsipnya, setiap istri yang ditalak berhak atas mut’ah, sepanjang tidak terdapat alasan hukum yang secara tegas menggugurkan hak tersebut. Pendekatan ini memperluas perlindungan hukum terhadap perempuan dibandingkan sebagian pandangan fikih klasik yang membatasi mut’ah pada kondisi tertentu.

Adapun mengenai besaran mut’ah, KHI secara sengaja tidak menetapkan standar nominal atau ukuran kuantitatif tertentu. Ketiadaan pengaturan rinci ini memberikan ruang bagi hakim untuk menggunakan diskresi dalam menetapkan mut’ah. 
Penyerahan kewenangan tersebut menunjukkan pembentuk KHI menyadari pentingnya fleksibilitas hukum agar putusan pengadilan dapat menyesuaikan dengan kondisi konkret para pihak.

Dengan demikian, pengaturan mut’ah dalam KHI mencerminkan integrasi antara nilai-nilai fikih Islam dan prinsip hukum modern. Mut’ah tidak hanya dipahami sebagai konsekuensi normatif dari cerai talak, tetapi juga sebagai instrumen perlindungan hukum yang memungkinkan hakim menghadirkan keadilan substantif melalui penggunaan diskresi yang bertanggung jawab dalam praktik peradilan agama.

Diskresi Hakim dalam Penetapan Mut’ah
Diskresi hakim merupakan kewenangan yang melekat pada fungsi kehakiman untuk mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan hukum dan keadilan ketika norma hukum tidak mengatur secara rinci atau memberikan ruang penafsiran. 
Dalam konteks penetapan mut’ah bagi istri pasca cerai talak, diskresi hakim menjadi instrumen penting untuk menjembatani antara norma hukum yang bersifat umum dengan kondisi konkret yang dihadapi para pihak dalam perkara perceraian.

Dasar yuridis penggunaan diskresi hakim dalam penetapan mut’ah dapat ditelusuri dari ketentuan KHI, khususnya Pasal 149 dan Pasal 158, yang mewajibkan pemberian mut’ah namun tidak menetapkan besaran atau standar kuantitatifnya. 
Ketiadaan pengaturan rinci ini secara normatif membuka ruang bagi hakim untuk melakukan penilaian dan penetapan secara proporsional dengan berpedoman pada prinsip kepatutan, kemampuan ekonomi suami, serta rasa keadilan. Dengan demikian, diskresi hakim dalam perkara mut’ah bukanlah bentuk kekosongan hukum, melainkan konsekuensi dari norma yang secara sadar bersifat terbuka.

Dalam praktik peradilan agama, hakim umumnya mempertimbangkan sejumlah parameter dalam menetapkan mut’ah, antara lain kondisi ekonomi dan penghasilan suami, lamanya perkawinan, kontribusi istri dalam rumah tangga, kondisi sosial dan ekonomi istri pasca perceraian, serta sebab terjadinya perceraian. 

Pertimbangan-pertimbangan tersebut menunjukkan, yakni penetapan mut’ah tidak dilakukan secara mekanis, melainkan melalui penilaian komprehensif terhadap fakta-fakta persidangan.

Pendekatan ini, sejalan dengan prinsip keadilan substantif yang menuntut perlakuan hukum berdasarkan kondisi nyata para pihak.

Namun demikian, penggunaan diskresi hakim dalam penetapan mut’ah juga menimbulkan konsekuensi berupa variasi putusan antarperkara dan antarhakim. Perbedaan besaran mut’ah yang ditetapkan dalam perkara dengan karakteristik yang relatif serupa dapat memunculkan persepsi ketidakpastian hukum. Oleh karena itu, diskresi hakim harus dijalankan secara terukur dan bertanggung jawab, dengan argumentasi hukum yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara normatif.

Dari perspektif fikih klasik dan fikih kontemporer, diskresi hakim dalam penetapan mut’ah memiliki legitimasi teoretis yang kuat. Fikih klasik mengenal konsep ijtihad dalam hal-hal yang tidak ditentukan secara eksplisit oleh nash, sementara fikih kontemporer menekankan peran hakim sebagai agen keadilan yang mengimplementasikan prinsip maq??id al-syar?‘ah. 
Dengan demikian, diskresi hakim dalam penetapan mut’ah dapat dipandang sebagai bentuk ijtihad yudisial yang bertujuan mewujudkan keadilan, kemaslahatan, dan perlindungan hak istri pasca cerai talak.

Analisis Yuridis Normatif
Analisis yuridis normatif terhadap diskresi hakim dalam penetapan mut’ah bagi istri pasca cerai talak menunjukkan praktik tersebut memiliki dasar hukum dan legitimasi yang kuat, baik dalam perspektif fikih klasik, fikih kontemporer, maupun hukum positif Indonesia. 

Mut’ah secara normatif diakui sebagai hak istri yang lahir akibat cerai talak, sementara kewajiban pemberiannya dibebankan kepada suami sebagai pihak yang memiliki otoritas untuk mengakhiri perkawinan. Dalam konteks ini, diskresi hakim berfungsi sebagai mekanisme penghubung antara norma hukum yang bersifat umum dan kebutuhan keadilan dalam kasus konkret.

Dari perspektif fikih klasik, perbedaan pendapat para imam mazhab mengenai status hukum dan cakupan mut’ah menunjukkan ketentuan mengenai mut’ah bersifat ijtih?d?. Ketika nash tidak menentukan secara rinci besaran atau mekanisme pemberian mut’ah, maka ruang ijtihad terbuka bagi otoritas hukum, termasuk hakim. 

Oleh karena itu, penggunaan diskresi hakim dalam penetapan mut’ah dapat dipahami sebagai kelanjutan dari tradisi ijtihad fikih klasik yang memberikan fleksibilitas dalam penerapan hukum sesuai dengan kondisi dan kemaslahatan. Sementara itu, dalam fikih kontemporer, diskresi hakim dipandang sebagai instrumen penting untuk mewujudkan keadilan substantif dan perlindungan hak-hak perempuan pasca perceraian. 

Pendekatan maqasid al-syari'ah menempatkan mut’ah sebagai sarana perlindungan terhadap martabat, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi istri. Dengan demikian, diskresi hakim tidak hanya sah secara normatif, tetapi juga diperlukan untuk memastikan mut’ah benar-benar berfungsi sebagai kompensasi yang layak dan proporsional, bukan sekadar pemenuhan formal kewajiban hukum.

Dalam kerangka hukum positif Indonesia, ketentuan KHI yang mewajibkan mut’ah tanpa menetapkan besaran nominal secara tegas mengandung implikasi normatif hakim diberi kewenangan untuk menentukan jumlah mut’ah berdasarkan prinsip kepatutan dan keadilan. Diskresi ini harus dipahami sebagai mandat hukum yang harus dijalankan secara bertanggung jawab, dengan mempertimbangkan fakta-fakta persidangan serta nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat. 

Oleh karena itu, diskresi hakim dalam penetapan mut’ah bukan merupakan penyimpangan dari hukum, melainkan bagian dari mekanisme penerapan hukum itu sendiri. Meskipun demikian, analisis yuridis normatif juga menegaskan pentingnya batasan dan parameter yang jelas dalam penggunaan diskresi hakim. 

Variasi putusan yang terlalu jauh tanpa argumentasi hukum yang memadai berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengurangi kepercayaan publik terhadap peradilan. Oleh karena itu, diskresi hakim perlu dilandasi oleh pertimbangan hukum yang sistematis, transparan, dan konsisten dengan prinsip fikih serta tujuan hukum Islam.

Dengan demikian, dapat disimpulkan diskresi hakim dalam penetapan mut’ah bagi istri pasca cerai talak merupakan bentuk ijtihad yudisial yang sah dan diperlukan dalam sistem hukum keluarga Islam. Diskresi tersebut berfungsi untuk memastikan norma mut’ah tidak hanya berlaku secara formal, tetapi juga mampu mewujudkan keadilan substantif dan kemaslahatan bagi para pihak, khususnya bagi istri sebagai pihak yang rentan dalam perceraian.

Simpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, dapat disimpulkan mut’ah merupakan hak istri yang timbul sebagai akibat hukum dari cerai talak dan memiliki dasar normatif yang kuat dalam Al-Qur’an, Hadis, fikih klasik, fikih kontemporer, serta hukum positif Indonesia. 

Meskipun terdapat perbedaan pandangan dalam fikih klasik mengenai status hukum dan cakupan penerima mut’ah, seluruh mazhab sepakat pemberian mut’ah merupakan instrumen kompensasi yang bertujuan melindungi istri dari dampak negatif perceraian.

Dalam konteks hukum positif Indonesia, KHI secara tegas menempatkan mut’ah sebagai kewajiban hukum suami dalam perkara cerai talak, namun tidak menetapkan besaran nominalnya secara rinci. 

Ketiadaan pengaturan kuantitatif tersebut memberikan ruang bagi hakim untuk menggunakan diskresi dalam menetapkan mut’ah berdasarkan prinsip kepatutan, kemampuan ekonomi suami, dan keadilan. 


Daftar Pustaka
Al-Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu. Beirut: Dar al-Fikr, 1985.

Ibn Qudamah, Abdullah bin Ahmad. Al-Mughni. Beirut: Dir al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.

Al-Syafi’i, Muhammad bin Idris. Al-Umm. Beirut: Dar al-Ma‘rifah, t.t.

Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fikr, 1983.

Kompilasi Hukum Islam. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.

Penulis: Al Fitri
Editor: Tim MariNews