Dualisme Pemeriksaan Anak Saksi/Anak Korban yang Telah Memasuki Usia Dewasa

Dalam penerapan KUHAP maupun SPPA masih terdapat perbedaan terutama dalam hal-hal yang belum diatur secara eksplisit atau masih dalam ranah abu-abu
Ilustrasi persidangan. Foto : freepik.com
Ilustrasi persidangan. Foto : freepik.com

Dalam praktik peradilan pidana di Indonesia, jalannya persidangan secara formil diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kecuali ditentukan lain atau diatur lebih khusus dalam peraturan perundang-undangan lainnya. 

Contohnya persidangan anak diatur melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau lebih dikenal dengan SPPA.

Dalam penerapan KUHAP maupun SPPA masih terdapat perbedaan terutama dalam hal-hal yang belum diatur secara eksplisit atau masih dalam ranah abu-abu, sebagai contoh penerapan Pasal 57 ayat (1) SPPA mengenai pembacaan hasil penelitian kemasyarakatan oleh pembimbing kemasyarakatan yang mana ada Hakim yang berpendapat tanpa kehadiran Anak agar menghindari adanya hal yang memengaruhi jiwa Anak dan Anak Korban dan/atau Anak Saksi. 

Terdapat juga yang berpendapat wajib dihadiri Anak, karena adanya frasa kecuali Hakim berpendapat lain.

Selain hal tersebut di atas, masih terdapat perbedaan pendapat diantara Hakim, mengenai peristiwa yang tidak berkaitan dengan kesusilaan bilamana Anak Korban tindak pidana penganiayaan/perlindungan anak masih berusia 17 tahun 10 bulan saat terjadinya tindak pidana, akan tetapi saat perkara tersebut sudah masuk dalam tahap persidangan dan Anak Korban telah berusia di atas 18 tahun, maka dalam pemeriksaan perkara penganiayaan/perlindungan Anak, apakah pemeriksaannya dianggap masih Anak, sehingga tertutup untuk umum atau dewasa (karena telah lewat 18 tahun) sehingga terbuka untuk umum?”. 

Dalam praktik masih terdapat perbedaan pendapat diantara Hakim mengenai hal tersebut yang dapat penulis rangkum sebagai berikut:

1. Pendapat yang menilai masih Anak, sehingga pemeriksaan tertutup untuk umum

Hakim berpendapat diperiksa sebagai Anak Korban oleh karena tempus tindak pidana terjadi saat usia masih dibawah 18 tahun dan dengan menggunakan pendekatan pengaturan pada Pasal 20 UU SPPA, di mana pelaku tetap diadili sebagai Anak meskipun sudah dewasa, dikarenakan tempus tindak pidana disaat usia 18 tahun. 

Sehingga, tetap diperiksa sebagai Anak Korban dengan sidang yang tertutup untuk umum.

2. Pendapat yang menganggap sudah Dewasa sehingga pemeriksaan terbuka untuk umum

Hakim berpendapat diperiksa sebagai saksi dewasa, karena saat pemeriksaan di persidangan sudah di atas 18 tahun, 

Selain itu, tingkat kematangannya dalam memberikan keterangan dan segala konsekuensi hukum atas keterangannya, dan psikisnya sudah cukup dewasa dalam menghadapi tekanan dikarenakan bukan lagi anak-anak, sehingga dianggap dewasa secara hukum.

Dari dua pendapat tersebut di atas, penulis menyimpulkan perbedaan pandangan hal semacam ini masih sering terjadi diantara para Hakim dalam mengadili perkara, oleh karena belum adanya pengaturan secara formil berkaitan dengan hal tersebut. 

Melihat kepada hasil rapat pleno kamar Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 7 Tahun 2012 tentang Rumusan Hukum Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan, khususnya hasil rapat kamar pidana mengenai tindak pidana khusus yang membahas permasalahan mengenai usia dewasa. 

Hal mana, sebagian Hakim menyatakan perbuatan Terdakwa tidak memenuhi unsur-unsur dakwaan Jaksa, karena korban dianggap sudah dewasa. 

Dari permasalahan tersebut, rapat kamar menyepakati batas usia dewasa (korban) juga merujuk kepada UU Pengadilan Anak dan Perlindungan Anak, yaitu 18 tahun.

Namun hal ini, dapat diatur lebih rinci lagi dengan membuat peraturan lanjutan baik SEMA maupun PERMA berkaitan dengan permasalahan usia, serta tata cara pemeriksaan seseorang yang sudah dewasa saat persidangan namun tempus saat tindak pidana masih berusia Anak.

Penting untuk Mahkamah Agung mengatur hal tersebut, karena untuk penyatuan persepsi berkaitan dengan proses pemeriksaan dan berdampak pada sidang yang terbuka atau tertutup untuk umum saat pemeriksaan Saksi/Anak Korban, juga menghindari potensi laporan para pihak yang tidak senang dengan suatu hasil dari putusan. 

Walaupun secara formil tidak melanggar apapun, namun pengaturan hukum masalah dimaksud agar semua pihak terkait dan Hakim mengetahui tata cara pelaksanaan yang benar dapat tepat serta satu kesatuan persepsi, melalui perumusan SEMA, PERMA, atau pembaharuan Buku II.

Hal ini, selaras dengan kewenangan Mahkamah Agung dalam fungsi mengatur yang diamanatkan dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, guna kelancaraan penyelenggaraan peradilan bilamana terdapat kekosongan hukum.