Epistemologis Hakim Ad Hoc Perikanan dalam Menyeimbangkan Hukum Formal dan Keadilan Substantif

Secara Empiris, Hakim terikat pada Teori Korespondensi, dimana kebenaran formal setara dengan fakta dokumen dakwaan.
Ilustrasi hakim. Foto : freepik.com
Ilustrasi hakim. Foto : freepik.com

Dalam ruang sidang peradilan perikanan, seorang Hakim Ad Hoc Perikanan kerap berhadapan dengan dilema epistemologis yang kompleks antara hukum formal dan keadilan substantif. 

Pada banyak kasus, hanya nakhoda atau pekerja kapal yang diajukan sebagai terdakwa, sementara pemilik kapal/pemodal, sebagai aktor intelektual dibalik eksploitasi sumber daya laut dan perikanan, tetap berada di luar jangkauan dakwaan. 

Kondisi ini menimbulkan persoalan serius: sejauh mana alat pengetahuan seperti Empirisme, Rasionalisme, dan Intuisionisme/Pragmatisme dapat digunakan untuk menemukan kebenaran hukum yang berkeadilan, terutama jika kebenaran tersebut menuntut lampaui formalitas legal.

Secara Empiris, Hakim terikat pada Teori Korespondensi, dimana kebenaran formal setara dengan fakta dokumen dakwaan. 

Fakta tertulis hanya menyebut Nakhoda sebagai terdakwa; kepatuhan buta pada bukti inderawi ini menghasilkan putusan yang secara prosedural benar namun secara moral keliru, mengekspos keterbatasan kebenaran formalistik. 

Rasionalisme kemudian berperan sebagai korektor, menguji koherensi antara norma hukum yang kaku dan realitas sosial-ekonomi eksploitasi. Akal kritis menyadari bahwa struktur dakwaan yang membebaskan aktor utama menciptakan ketidakseimbangan logis yang menghampakan putusan secara etis.

Titik balik dilematis seringkali memaksa Hakim beralih ke ranah Intuisionisme dan Pragmatisme. Intuisi (Qalb) memungkinkan Hakim merasakan hakikat ketidakadilan yang tersembunyi di balik prosedur. 

Kesinambungan ini diperkuat oleh Pragmatisme, yang mendefinisikan kebenaran sebagai apa yang paling bermanfaat yaitu, putusan yang melindungi buruh dan menindak eksploitasi yang lebih besar. 

Dalam ranah ibadah, kita mengenal kepatuhan Ta'abbudi di mana akal dikesampingkan, namun dalam muamalat (kasus perikanan), intuisi dan kemaslahatan harus memandu interpretasi progresif terhadap hukum positif.

Akhirnya, penyelesaian tuntutan ini memerlukan sintesis meta-epistemologis yudisial. Sebagai Hakim Ad Hoc dengan spesialisasi teknis bidang perikanan, dengan menggunakan pendekatan multidisipliner. 

Hal ini, untuk memberikan masukan yang terinformasi dalam proses Ijtihad majelis hakim, dengan memastikan bahwa interpretasi hukum realistis terhadap praktik lapangan. 

Prinsip utama yang harus menjadi parameter kalibrasi akhir adalah Keadilan Substantif, yang berakar pada tujuan tertinggi Wahyu (Maqasid) dan dibimbing oleh Qalb yang mencari kebenaran sejati. 

Keyakinan Hakim dalam menafsirkan di luar teks hukum yang kaku, adalah pengakuan bahwa hukum yang hidup harus didasarkan pada kebenaran yang lebih dalam dan lebih kaya daripada sekadar korespondensi dokumen. 

Inilah puncak pengabdian Hakim, yaitu menjadi penafsir hikmah yang menyintesis pengetahuan tertulis dan kesadaran etis untuk menegakkan keadilan substansial, bukan sekadar kepatuhan formalistik.

Penulis: Unggul Senoadji
Editor: Tim MariNews