Positivisme hukum, sebagai doktrin yang mendefinisikan hukum berdasarkan validitas formal dan prosedur penetapannya, telah lama menjadi pilar utama dalam sistem hukum modern.
Doktrin ini, menekankan pemisahan tegas antara hukum dan moralitas, seringkali mengarah pada formalisme yang membakukan praktik hukum.
Dalam kerangka positivis, teks hukum/aturan tertulis dianggap memiliki otoritas tunggal dan final. Kepatuhan mutlak terhadap teks dimaksud, sering menghasilkan ketidakadilan substantif dalam kasus-kasus kompleks, dimana hukum gagal merespon konteks kemanusiaan yang sangat mendesak.
Untuk mengatasi krisis rigiditas ini, diperlukan dua instrumen, yakni pertama adalah alat kritis filosofis, dekonstruksionisme, dan kedua adalah kerangka aksiologis yang berorientasi pada nilai, yaitu Hukum Progresif.
Positivisme Hukum: Arsitektur Norma dan Kritik Strukturalnya
Positivisme hukum, baik dalam bentuk Teori Komando John Austin maupun Teori Hukum Murni Hans Kelsen, menekankan bahwa sumber hukum yang valid adalah norma positif yang ditetapkan (posited) oleh otoritas yang berdaulat.
Inti dari positivisme adalah gagasan validitas formal suatu norma sah, karena dibuat melalui prosedur yang benar, terlepas dari isi moralnya.
Positivisme menuntut agar teks hukum diperlakukan sebagai entitas yang utuh, lengkap, dan final. Ini secara epistemologis membatasi peran hakim, mereduksinya menjadi corong undang-undang atau yang kita kenal dengan sebutan “la bouche de la loi” sebuah doktrin klasik pada masa revolusi Prancis.
Positivisme hukum, seringkali tidak memiliki sumber daya internal untuk mencapai solusi yang dapat mengejawantahkan radbruch formula, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Klaim positivisme tentang kepastian hukum (certainty) didirikan di atas keyakinan bahwa teks adalah satu-satunya entitas yang stabil, sebuah keyakinan yang basis paradigmanya dilawan oleh dekonstruksionisme.
Dekonstruksi: Membongkar Kedigdayaan Teks Normatif
Dekonstruksionisme yang digagas oleh Jacques Derrida, adalah strategi pembacaan yang membongkar asumsi metafisika yang menopang struktur tekstual.
Dalam konteks hukum, dekonstruksi menunjukkan bahwa teks normatif, meskipun terlihat stabil, jelas dan lugas, selalu mengandung ketidakstabilan yang esensial.
Dekonstruksi menunjukkan bahasa dan makna selalu berada dalam keadaan tertunda (différance). Ini berarti bahwa makna hukum tidak pernah sepenuhnya hadir (Presence) dan final dalam teks undang-undang.
Sebaliknya, setiap teks selalu mengandung undecidability, yakni ketidakmungkinan sepenuhnya mengeliminasi ambiguitas atau menentukan satu makna tunggal.
Selain itu, ada yang disebut sebagai Aporia, yakni titik jalan buntu atau kontradiksi internal dimana penerapan aturan yang ada, tidak dapat menghasilkan keputusan yang sepenuhnya rasional dan adil, sehingga menuntut tindakan di luar aturan.
Derrida secara tegas membedakan antara Hukum (Law), di mana sistem aturan yang dapat dihitung, diatur, dan diaplikasikan secara mekanis dengan Keadilan (Justice), serta suatu tuntutan etis yang tidak terhitung (uncountable) dan selalu menuntut keputusan bijak dan bertanggung jawab pada setiap kasus.
Keadilan selalu berada di luar dan mendahului/melampaui hukum positif. Tindakan menimbang dan memutus yang adil dan bermanfaat harus terjadi di titik aporia tersebut, dimana Hakim menyadari saat suatu teks positivis bertentangan dengan hati nuraninya, dan harus mengambil lompatan etis untuk menemukan keadilan, bukan sekadar menerapkan hukum.
Guna bersikap adil, subjek tidak dapat hanya menerapkan aturan, tetapi harus menemukan aturan, keputusan harus menjadi tindakan yang mengacu pada keadilan yang melampaui sebuah aturan.
Dekonstruksi pada dasarnya menunjukkan otoritas tunggal teks positivis, adalah suatu ilusi. Teks hanya memiliki kekuatan (force of law), namun legitimasi terdalamnya selalu dipertanyakan oleh tuntutan keadilan.
Hukum Progresif: Wujud Praksis dari Kritik Dekonstruktif
Hukum Progresif, yang dipelopori oleh Satjipto Rahardjo, merupakan respon terhadap kegagalan positivisme dalam mewujudkan keadilan sosial.
Aliran ini secara etis dan filosofis menerima tantangan dekonstruksi dan mengubahnya menjadi sebuah paradigma yang dapat menjawab tantangan zaman.
Hukum Progresif menolak pemisahan yang kaku antara hukum, nilai dan moralitas yang menjadi basis paradigma positivisme. Ia menegaskan kembali slogan Hukum untuk manusia, bukan manusia untuk hukum, yang secara langsung mendekonstruksi hierarki nilai positivis yang menempatkan kepastian hukum di atas keadilan substantif.
Dalam hukum progresif terdapat fungsi instrumental, yakni hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering) seperti yang pernah diungkapkan oleh Roscoe Pound, dan alat untuk mencapai tujuan kemanusiaan. Ketika suatu teks aturan menghalangi tujuan ini, keadilan harus ditemukan oleh kebijaksanaan seorang Hakim.
Hakim yang progresif pun didorong untuk melampaui batas-batas tekstual. Tindakan Hakim yang mau untuk terjun langsung ke dalam pergulatan menciptakan hukum (rule making) dan mematahkannya (rule breaking) demi keadilan seperti menafsirkan ius non scriptum atau mengabaikan ius scriptum.
Wujudnya, manifestasi praktis dari pengakuan terhadap aporia Derrida. Hakim tersebut, mengakui bahwa hukum (Law) formal telah menemui jalan buntu, dan ia harus membuat keputusan yang mustahil yang dituntut oleh keadilan (Justice).
Hukum Progresif berfungsi sebagai jembatan yang mengubah kesadaran filosofis dekonstruksi menjadi tanggung jawab nurani seorang Hakim.
Dalam realitas kehidupan sehari-hari banyak dijumpai benturan antara realitas dan dinamika masyarakat dengan hukum yang berlaku.
Mempertahankan hukum, berarti mengambil risiko menghentikan dinamika masyarakat, sementara mengikuti realitas dan dinamika, berarti melawan status quo yang ingin dipertahankan oleh kepastian hukum.
Guna mengobati luka-luka yang disebabkan oleh kesenjangan antara bekerjanya hukum berhadapan dengan dinamika masyarakat, Satjipto Rahardjo menyarankan agar hukum itu dibiarkan mengalir saja, layaknya Panta Rei (All things flow; nothing endures) dari Heraclitus atau Tao dalam Konfusianisme.
Adapun untuk menjawab tantangan dekonstruksi aporia teks/jalan buntu dalam menghadapi kekakuan positivisme hukum, maka seorang Hakim dapat melakukan judicial activism (penemuan hukum) untuk mencari solusi di luar teks aturan.
Hadirnya hukum progresif telah melihat adanya kelemahan dalam paradigma positvisme, sebagai peluang untuk memasukkan nilai-nilai kemanusiaan, menjamin bahwa hukum tetap hidup, lentur, dan responsif terhadap perubahan sosial.
Penutup
Positivisme hukum, meskipun menjanjikan suatu ketertiban, cenderung mengarah pada otokrasi teks yang menghambat pencapaian keadilan sejati.
Dekonstruksionisme menyediakan fondasi filosofis untuk menunjukkan janji kepastian tekstual, adalah ilusi, dan hukum selalu terbuka untuk menjawab dinamika masyarakat dan tantangan zaman.
Dengan menolak legalisme dan mengedepankan prinsip kemanusiaan, hukum progresif secara praksis menginternalisasi semangat dekonstruksi. Ia membebaskan penegak hukum,terutama Hakim untuk bertindak sebagai agen perubahan, berani mengambil keputusan yang mustahil demi keadilan dan kemanusiaan.
Pada akhirnya, melampaui positivisme dengan progresivitas hukum berarti menggeser fokus dari pertanyaan Apa yang sah menurut aturan? menjadi yang adil dan benar bagi manusia.
Daftar Referensi
Derrida, Jacques. (1992). Force of Law: The 'Mystical Foundation of Authority'. New York: Routledge.
Hart, H.L.A. (2012). The Concept of Law. Oxford: Oxford University Press.
Kelsen, Hans. (1967). Pure Theory of Law. Translated by Max Knight. Berkeley: University of California Press.
Rahardjo, Satjipto. (2010). Hukum dan Perilaku: Hidup Sehari-hari di Dalam dan di Sekitar Hukum. Jakarta: Kompas Media Nusantara.
Rahardjo, Satjipto. (2017). Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Sutiyoso, B. (2011). Keadilan dalam Perspektif Filsafat Hukum Progresif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tamanaha, Brian Z. (2004). On the Rule of Law: History, Politics, Theory. Cambridge: Cambridge University Press.
Wignjosoebroto, Soetandyo. (2013). Hukum: Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya. Jakarta: Elsam.





