Laut Indonesia adalah anugerah dan amanah. Bentuknya, bukan sekadar ruang ekonomi, tetapi ruang kehidupan manusia dan alam berinteraksi dalam keseimbangan yang rapuh.
Di balik gelombang dan keindahannya, laut menyimpan persoalan hukum yang rumit dari praktik illegal fishing, hingga kerusakan ekosistem akibat eksploitasi tanpa batas.
Selama bertahun-tahun, penegakan hukum di bidang perikanan berjalan dalam kerangka UU No. 31 Tahun 2004 juncto UU No. 45 Tahun 2009.
Undang-undang ini, tegas membedakan antara kejahatan dan pelanggaran, antara pelaku besar dan kesalahan kecil.
Namun dalam praktiknya, batas itu sering kabur. Nelayan kecil bisa diperlakukan sama dengan korporasi besar, hanya karena keduanya melanggar pasal yang sama.
Kini, dengan lahirnya KUHP Nasional (UU No. 1 Tahun 2023), angin perubahan berembus ke seluruh bidang hukum, termasuk hukum laut.
Kitab baru ini tidak lagi membedakan kejahatan dan pelanggaran yakni semua disebut tindak pidana, dinilai bukan dari label formalnya, melainkan dari niat, dampak, dan nilai keadilan yang menyertainya.
KUHP Nasional menempatkan manusia sebagai pusat dari keadilan. Ia mengajarkan bahwa hukum tidak boleh berhenti pada teks, melainkan harus hidup bersama nurani.
Dari Hukuman ke Pemulihan
Paradigma baru ini, menuntun kita berpindah dari keadilan yang menghukum ke keadilan yang memulihkan.
Dalam Pasal 51 KUHP disebutkan bahwa tujuan pemidanaan adalah “menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa aman serta damai.”
Kata Pemulihan Mengubah Segalanya.
Ia menegaskan pelaku pelanggaran laut, bukan hanya harus menanggung akibat hukumnya, tetapi juga memikul tanggung jawab moral untuk memperbaiki dampak perbuatannya.
Korporasi yang merusak laut harus memulihkan ekosistem, kapal asing yang mencuri ikan harus mengganti kerugian negara, sementara nelayan kecil yang tersesat di perbatasan harus dibimbing, bukan dihukum.
Hukum yang memulihkan adalah hukum yang melihat manusia bukan sebagai objek, melainkan sebagai bagian dari solusi. Ia menghukum tanpa mencabut harapan, menegakkan aturan tanpa mengabaikan nurani.
Lex Specialis yang Beriringan, Bukan Bertentangan
Sebagai lex specialis, UU Perikanan tetap memiliki tempat penting. Ia menjadi penjaga sektor kelautan yang spesifik dan kompleks.
Namun, dalam semangat rekodifikasi hukum pidana nasional, undang-undang khusus ini perlu bergerak seiring dengan ruh KUHP baru, bukan saling menegasikan, melainkan saling memperkuat.
Asas lex specialis derogat legi generali tidak lagi dimaknai sebagai “yang khusus menyingkirkan yang umum”, tetapi sebagai “yang khusus harus berjalan harmonis dengan nilai umum keadilan.”
Artinya, UU Perikanan dapat tetap menindak pelaku illegal fishing secara tegas, tetapi harus dilakukan dengan mempertimbangkan prinsip kemanusiaan dan proporsionalitas.
Nelayan kecil tidak boleh dipenjara karena ketidaktahuan, sementara korporasi besar tidak bisa bersembunyi di balik izin yang disalahgunakan. Keadilan tidak hanya diukur dari beratnya pasal, tetapi dari keberpihakan pada kebenaran dan kemanusiaan.
Keadilan Ekologis: Hukum yang Melindungi Laut dan Manusia
Hukum pidana laut yang modern tidak cukup hanya menegakkan kedaulatan, tetapi juga harus menjaga keberlanjutan. Keadilan ekologis menuntut agar penegakan hukum berorientasi pada pemulihan alam dan perlindungan masyarakat pesisir.
Dengan pendekatan restorative justice, hakim, jaksa, dan penyidik diajak untuk melihat lebih dalam dari sekadar pelanggaran formal.
Apakah laut dirusak karena keserakahan, atau karena kemiskinan?
Apakah pelanggaran terjadi karena kesengajaan, atau karena sistem yang tidak berpihak pada rakyat kecil?
Pertanyaan-pertanyaan ini, bukan untuk menghapus kesalahan, tetapi untuk memastikan bahwa setiap keputusan hukum membawa kemanfaatan sosial dan ekologis yang nyata.
Menemukan Nurani di Tengah Gelombang
Pada akhirnya, hukum di laut bukan hanya tentang menjaga wilayah, tetapi tentang menjaga kehidupan.
Harmonisasi antara UU Perikanan dan KUHP Nasional adalah panggilan untuk membangun hukum yang tidak kehilangan sisi kemanusiaannya, melainkan hukum yang berani menegakkan keadilan tanpa kehilangan kasih sayang.
Kita memerlukan aparat penegak hukum yang tegas sekaligus arif, yang mampu membedakan antara kesalahan dan penderitaan, serta melihat laut bukan sebagai objek kekuasaan, tetapi sebagai bagian dari kehidupan bersama.
Hal ini, dikarenakan keadilan sejati, sebagaimana laut yang luas dan dalam, hanya dapat dijaga oleh hati yang tenang dan nurani jernih.
Dan di situlah hukum menemukan makna sejatinya, bukan sekadar alat untuk menghukum, tetapi jembatan menuju kehidupan yang lebih adil, manusiawi, dan berkelanjutan.



