Inilah Alasan Mengapa Proses Penegakan Hukum Pidana Perikanan Harus Berlangsung Singkat

Proses yang cepat dan efisien akan berdampak pada penghematan anggaran negara serta memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem hukum nasional, khususnya dalam pengelolaan sumber daya kelautan.
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap satu unit kapal illegal fishing berbendera Filipina di Perairan Kepulauan Talaud, Laut Sulawesi, Senin (12/5/2025). Foto dokumentasi KKP
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menangkap satu unit kapal illegal fishing berbendera Filipina di Perairan Kepulauan Talaud, Laut Sulawesi, Senin (12/5/2025). Foto dokumentasi KKP

Beragam pertanyaan kerap muncul terkait alasan mengapa proses penegakan hukum pidana perikanan dibatasi oleh waktu dan harus berlangsung cepat. Pertanyaan ini sering disampaikan oleh para penyidik, terutama yang tidak berasal dari instansi kelautan dan perikanan. Bahkan, sejumlah hakim karier yang baru pertama kali menangani perkara pidana perikanan juga kerap mempertanyakannya.

Padahal, perkara pidana perikanan pada praktiknya bisa sangat kompleks. Dalam beberapa kasus, terdakwa tidak hanya satu orang, melainkan bisa melibatkan banyak pihak dalam satu perkara. Kompleksitas ini menjadi tantangan tersendiri dalam proses hukum yang dituntut berjalan cepat dan efisien.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut diatas, penulis akan mencoba menguraikan dari tiga aspek yaitu: 1). Berdasarkan aspek yuridis formal, 2). Berdasarkan aspek kajian teknis dan 3). Berdasarkan aspek kajian sosioekonomi.

Berdasarkan aspek yuridis formal proses penegakan hukum pidana perikanan di wilayah yuridiksi Negara Kesatuan Republik Indonesia dibatasi oleh waktu dan harus berlangsung cepat. Hal tersebut telah diatur tersendiri dalam Bab XIV Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, baik di tingkat penyidikan, penuntutan maupun di tingkat pemeriksaan di pengadilan.

Dalam penanganan perkara pidana perikanan, kecepatan proses hukum menjadi keharusan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan mengatur secara tegas batas waktu pada setiap tahapan, mulai dari penyidikan hingga kasasi.

Penanganan perkara pidana perikanan diatur secara ketat oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, khususnya dalam hal kecepatan proses hukum di setiap tahapan. Tujuannya adalah untuk memastikan kepastian hukum, efektivitas proses, dan pelayanan yang adil kepada pencari keadilan.

1. Tahap Penyidikan: Maksimal 30 Hari

Penyidikan oleh PPNS Perikanan, Polri, atau TNI AL memiliki batas waktu maksimal 30 hari. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 73 ayat (9) UU Perikanan. Jika melebihi waktu tersebut, tersangka harus dibebaskan demi hukum. Oleh karena itu, sebelum tenggat waktu, penyidik wajib melimpahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU).

2. Tahap Penuntutan oleh JPU: Maksimal 30 Hari

JPU memiliki waktu maksimal 30 hari untuk memeriksa dan melengkapi berkas sebelum melimpahkannya ke pengadilan. Dalam periode ini, JPU juga dapat melakukan penahanan terhadap tersangka selama paling lama 20 hari, sebagaimana diatur dalam Pasal 76 ayat (6) dan (7).

3. Tahap Persidangan di Pengadilan Tingkat Pertama: Maksimal 30 Hari

Pengadilan wajib menjatuhkan putusan paling lambat 30 hari sejak menerima berkas perkara dari JPU, berdasarkan Pasal 80 ayat (1) UU Perikanan.

4. Tahap Banding di Pengadilan Tinggi: Maksimal 30 Hari

Jika perkara berlanjut ke tingkat banding, majelis hakim wajib menjatuhkan putusan dalam waktu maksimal 30 hari sejak berkas diterima oleh Pengadilan Tinggi (Pasal 82 ayat (1)).

5. Tahap Kasasi di Mahkamah Agung: Maksimal 30 Hari

Apabila pihak terkait mengajukan kasasi, Mahkamah Agung harus memeriksa dan memutus perkara tersebut dalam waktu maksimal 30 hari sejak berkas diterima (Pasal 83 ayat (1)).

Jika dirunut sejak tahap penyidikan hingga putusan kasasi, maka total waktu maksimal penanganan satu perkara pidana perikanan adalah 150 hari.

Seluruh proses penegakan hukum pidana perikanan harus dijalankan secara konsisten dan sesuai ketentuan. Hal ini sejalan dengan visi Mahkamah Agung dalam mewujudkan badan peradilan yang agung dan memberikan pelayanan hukum yang cepat, transparan, efektif, dan berbiaya ringan bagi masyarakat pencari keadilan.

Berdasarkan kajian teknis mengapa proses penegakan hukum pidana perikanan harus berlangsung cepat didasarkan kepada alasan teknis sebagai berikut:

1. Barang bukti kejahatan perikanan berupa: “ikan (ikan hidup, benih ikan, ikan beku segar, ikan dalam bentuk olahan)”, sangat mudah mengalami penurunan kualitas dan pembusukan.

Untuk mempertahankan kualitas mutu barang bukti berupa ikan, diperlukan sarana dan prasarana pendukung seperti; wadah atau kolam air dilengkapi aerator, tabung oksigen, cool room, gudang dingin beku dan lain-lain yang pada umumnya sarana-prasarana pendukung yang dibutuhkan tersebut tidak dimiliki oleh institusi penegak hukum yang menangani kasus pidana perikanan sehingga harus mengeluarkan anggaran tersendiri yang cukup besar untuk biaya sewa menyimpan barang bukti kejahatan berupa ikan tersebut.

2. Alat bukti yang digunakan untuk melakukan kejahatan berupa: “Kapal Ikan” mudah sekali mengalami kerusakan apabila tidak dioperasikan dan hanya didiamkan di dermaga pelabuhan.

Memerlukan biaya operasional yang sangat besar untuk perawatan kapal dan peralatan pendukungnya, untuk memanaskan mesin kapal, biaya sandar dan pengamanan di pelabuhan.

3. Alat bukti yang digunakan untuk melakukan kejahatan illegal fishing lainnya seperti; “Alat tangkap ikan jaring trawl, bom ikan, peralatan untuk menyelam dan lain lain” memerlukan gudang penyimpanan barang bukti tersendiri yang pada umumnya belum sepenuhnya dimiliki oleh institusi penegak hukum khususnya pada tingkat penyidikan.

4. Alat bukti kejahatan perikanan lainnya berupa: “Zat aditif dan tambahan yang berbahaya pada usaha perikanan” memerlukan gudang penyimpanan tersendiri agar barang bukti kejahatan tidak mudah mengalami kerusakan.

Ditinjau dari aspek sosio ekonomi mengapa proses penegakan hukum pidana perikanan harus berlangsung cepat adalah karena perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:

1. Terdakwa pidana perikanan pada umumnya adalah nakhoda dan ABK (Anak Buah Kapal) ikan yang jumlahnya terkadang bisa lebih dari satu orang yang bekerja dan digaji oleh pemilik kapal ikan.

Apabila proses penegakan hukum pidana perikanan terhadap mereka berjalan lambat dan memakan waktu yang cukup lama, maka akan berdampak signifikan terhadap kerentanan ekonomi dan kehidupan sosial nakhoda dan ABK kapal ikan dan keluarga yang ditinggalkannya di kampung halaman karena nakhoda dan ABK kapal ikan yang menjadi tersangka atau terdakwa pada umumnya sudah tidak menerima gaji dari pemilik kapal ikan sejak kapal ikannya terkena kasus pidana dan ditahan oleh aparat penegak hukum.

2. Pidana perikanan yang melibatkan kapal ikan asing memiliki tingkat kesulitan dan kompleksitas tersendiri dalam menanganinya, antara lain sebagai berikut:

- Pada umumnya tersangka atau terdakwa dari kapal ikan asing adalah nakhoda atau anak buah kapal (ABK) yang tidak mengerti bahasa Indonesia sehingga memerlukan penterjemah atau juru bahasa dalam proses pemeriksaan pada tingkat penyidikan maupun pada pemeriksaan di ruang sidang pengadilan;

- Nakhoda dan ABK kapal ikan asing yang menjadi tersangka atau terdakwa pidana perikanan di ZEEI tidak bisa ditahan sebagaimana ketentuan yang telah diamanatkan oleh UNCLOS dan dikuatkan oleh SEMA Nomor 3 Tahun 2015. Selama proses penegakan hukum dari mulai penyidikan hingga pemeriksaan di ruang sidang pengadilan, ABK kapal ikan asing yang menjadi tersangka atau terdakwa akan ditempatkan oleh penyidik di rumah singgah (detention house) yang ada di kawasan kantor Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) milik Kementerian Kelautan dan Perikanan. Apabila fasilitas rumah singgah (detention house) belum ada, maka nakhoda dan ABK kapal ikan asing tersebut biasanya akan ditempatkan di atas kapal ikan asing yang ditahan oleh penyidik. ABK kapal ikan asing tersebut yang akan dimintai keterangannya di muka persidangan menjadi beban tersendiri bagi aparat penegak hukum terutama yang menyangkut kebutuhan makan minum dan obat-obatan;

- Pada umumnya pengusaha sebagai pemilik kapal ikan asing akan memutus semua akses komunikasi dengan aparat penegak hukum Indonesia begitu mengetahui kapal ikan asing miliknya tertangkap dan dilakukan pemeriksaan oleh aparat penegak hukum Indonesia.

- Segala akibat biaya yang timbul dari ABK kapal ikan asing yang sementara diperiksa dan dimintai keterangannya tidak bisa dimintakan kepada pemilik kapal;

Proses pemeriksaan pidana perikanan yang memakan waktu cukup lama hingga berbulan – bulan bisa menimbulkan keresahan sosial tersendiri bagi ABK kapal ikan asing yang ditempatkan di rumah singgah (detention house), karena stres, tidak memiliki uang, ruang geraknya terbatas dan jauh dari keluarga dan terkadang membuat kegaduhan dan keresahan sosial kepada masyarakat sekitarnya.

Dilatarbelakangi oleh kompleksitas permasalahan yang akan timbul bila proses penanganan kasus pidana perikanan berjalan lambat dan berlarut-larut, maka para teknokrat yang memiliki keahlian lintas bidang yang tergabung dalam tim penyusunan rancangan undang-undang perikanan ini diawal kegiatan merasa perlu menyusun hukum acara pemeriksaan tersendiri yang dituangkan ke dalam batang tubuh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan ini sebagai pedoman aparat penegak hukum yang masih berlaku hingga saat ini.

Proses penegakan hukum pidana perikanan harus berlangsung cepat dan dibatasi waktu juga sejalan dengan Visi yang ingin dicapai oleh Mahkamah Agung yaitu “Terwujudnya Badan Peradilan Indonesia yang Agung” melalui pencapaian misi Mahkamah Agung yang kedua yaitu Memberikan Pelayanan Hukum yang Berkeadilan kepada Pencari Keadilan.

Untuk mewujudkan pencapaian pelayanan hukum yang berkeadilan kepada seluruh lapisan masyarakat pencari keadilan maka perlu ditempuh melalui peningkatan kualitas terhadap: pembinaan administrasi perkara, administrasi persidangan, administrasi penyelesaian perkara, layanan peradilan umum dan majelis hakim yang profesional dalam melaksanakan persidangan yang diembannya.

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, persidangan perkara pidana perikanan di tingkat pertama, banding, maupun kasasi wajib diselesaikan paling lambat dalam waktu 30 hari sejak berkas perkara diterima oleh pengadilan. Namun, dalam praktiknya, tidak jarang proses tersebut berjalan berlarut-larut dan melebihi batas waktu yang ditentukan.

Jika majelis hakim belum menjatuhkan putusan dalam jangka waktu yang ditetapkan, maka proses persidangan dapat dianggap tidak profesional dan mencoreng prinsip keadilan yang cepat, sederhana, dan berbiaya ringan.

Selain itu, keterlambatan ini juga menimbulkan sejumlah dampak negatif, antara lain:

- Membengkaknya biaya operasional negara, terutama untuk kebutuhan pengamanan barang bukti tindak pidana perikanan seperti kapal, alat tangkap, dan hasil tangkapan.

- Meningkatnya beban logistik tahanan, seperti penyediaan makanan, air bersih, dan obat-obatan untuk terdakwa, yang dalam banyak kasus bisa berjumlah lebih dari satu orang.

- Dalam kasus yang melibatkan kapal ikan asing di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dampak pemborosan anggaran bisa jauh lebih besar karena menyangkut pengamanan lintas wilayah dan skala internasional.

Ketepatan waktu dalam memutus perkara pidana perikanan bukan hanya soal kepatuhan terhadap undang-undang, tetapi juga cerminan profesionalisme aparat peradilan. Proses yang cepat dan efisien akan berdampak pada penghematan anggaran negara serta memperkuat kepercayaan publik terhadap sistem hukum nasional, khususnya dalam pengelolaan sumber daya kelautan.

Pada saat ini, terdapat banyak ekskapal ikan asing pasca putusan pengadilan yang sudah inkrah dengan status dirampas untuk negara namun tidak dapat dimanfaatkan karena mengalami kerusakan berat tersebar di kolam labuh dermaga PSDKP Tual, Bitung, Pontianak, Batam dan Merauke dengan nilai mencapai ratusan miliar rupiah namun hilang percuma begitu saja.

Agar proses penegakan hukum kasus pidana perikanan berjalan sesuai dengan ketentuan yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 31 tahun 2004 tentang Perikanan, baik pada tingkat penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di ruang sidang pengadilan, penulis memandang perlu ada beberapa hal yang dapat ditawarkan kepada para pengambil kebijakan sebagai alternatif solusi berikut:

1. Menyelenggarakan diklat khusus teknis perikanan secara regular untuk meningkatkan kapasitas dan pengetahuan bagi penyidik PNS, penyidik TNI AL dan penyidik Polri;

2. Menyelenggarakan diklat khusus teknis perikanan secara regular bagi hakim karir yang sudah memenuhi syarat kepangkatan;

3. Menyelenggarakan rapat koordinasi penegakan hukum pidana perikanan secara reguler bagi hakim ad hoc perikanan seluruh Indonesia dan aparat penegak hukum lainnya baik melalui media zoom atau offline;

4. Melakukan perekrutan Hakim Ad Hoc perikanan untuk tingkat banding di wilayah pengadilan tinggi tertentu dan di tingkat kasasi;

Penulis: Saptoyo
Editor: Tim MariNews