Hukum, Absurditas, dan Parrhesia Negatif

Bila tidak dikelola dengan logika yang kokoh dan pemahaman mendalam atas nilai kemanusiaan, hukum bisa ditafsirkan absurd dan irasional.
Ilustrasi penegakan hukum. Foto : freepik.com
Ilustrasi penegakan hukum. Foto : freepik.com

“ParrÄ“sia is irreducible to the actual exercise of power and to the citizen’s status. It is the agonistic game of truth-telling: free and risky.” – Michel Foucault (The Government of Self and Others).

Bila tidak dikelola dengan logika yang kokoh dan pemahaman mendalam atas nilai kemanusiaan, hukum bisa ditafsirkan absurd dan irasional. 

Kasus Pearson v. Chung 961 A.2d 1067 (2008) menjadi contoh bagaimana pengadilan dapat berisiko dibenturkan menjadi agora, istilah Yunani untuk “pasar” perdebatan publik yang seringkali tidak memiliki kompetensi argumentatif. Dalam kasus ini, Roy Pearson adalah seorang advokat yang kemudian menjabat sebagai hakim di wilayah District of Columbia (D.C.), Amerika Serikat. 

Pada 2002, celana panjang milik Pearson yang dicuci di sebuah binatu (laundry) hilang. Pemilik binatu, Soo Chung, kemudian memenuhi klaim Pearson dengan memberikan cek sebesar 150 dolar Amerika Serikat (AS), untuk mengganti harga beli barang tersebut. 

Di tahun 2005, Pearson kembali mengklaim kehilangan celana panjang, meskipun kali ini pihak binatu menolak membayar klaim. Alasannya, pesanan tersebut hanya terselip di area toko, dan saat dikonfirmasi Pearson menyangkal celana itu miliknya, dan kemudian menggugat Chung 67 juta dolar AS, atau sekitar Rp1,2 triliun.

Argumentasi Pearson didasarkan atas tulisan “Satisfation Guaranteed” (kepuasan pelanggan dijamin) dan “Same Day Service” (layanan satu hari selesai) yang tertera di dinding binatu. Dalam penafsiran Pearson, kedua kalimat tersebut berarti Chung akan melakukan apapun untuk menjamin kepuasan konsumen (termasuk membayar 67 juta dolar AS karena “kelalaian menghilangkan” celana) dan memastikan semua cucian selesai di hari yang sama (sekalipun bila pesanan baru dimasukkan 15 menit sebelum toko tutup). 

Menurut Pearson, Chung telah melakukan tindakan penipuan yang bertentangan dengan ketentuan dalam District of Columbia Consumer Protection Procedures Act/CPPA (undang-undang perlindungan konsumen yang berlaku di D.C.). 

Saat masuk ke tahap persidangan, hakim Judith Bartnoff menolak gugatan karena interpretasi Pearson tidak sejalan dengan penafsiran wajar seorang konsumen binatu. Sebagai imbas lanjutan dari gugatan ini, jabatan hakim Pearson tidak diperpanjang atas alasan temperamentalitasnya, dan ijin beracaranya dibekukan selama 90 hari (Weiss, Abajournal, 8 Juni 2020).

Parrhesia Negatif sebagai Ekses dari Dimensi Kekuasaan Juridis

Apa yang dilakukan Pearson adalah parrhesia negatif (istilah Yunani untuk kebebasan berbicara) dalam terminologi filsuf Prancis, Michel Foucault. 

Sejatinya, atau mungkin idealnya, parrhesia adalah upaya menggali kebenaran lewat proses perdebatan atau argumentasi. Parrhesia positif adalah sebuah perjuangan untuk menemukan kesejatian atau hakikat. Sebaliknya, parrhesia negatif adalah bentuk lain dari demagogi atau upaya untuk memelintir kebenaran demi kepentingan tertentu (Foucault, 2008). 

Dalam Pearson v. Chung, Pearson mempergunakan hukum sebagai alat untuk melampiaskan kekecewaan personal. Sederhananya, Pearson menuangkan amarahnya lewat hukum dalam bentuk gugatan irasional. 

Dalam hakikat kapasitas yudisialnya, Pearson telah berlaku sewenang-wenang terhadap kemanusiaan sekalipun semua langkah yang ditempuhnya berada dalam koridor hukum yang sah.

Dalam bahasa awam, kasus semacam ini adalah “kasus konyol” yang jauh dari nalar sehat publik. 

Bila kita menerima pemikiran Foucault (1980), hukum adalah bentuk kehadiran kekuasaan secara nyata dalam kehidupan manusia. Foucault berbicara tentang konsep biopolitik: kekuasaan yang bekerja secara halus dan anonim, bukan lewat ujung pedang atau senapan. 

Foucault menggagas pemikirannya dari cara kerja tradisi agama. Baginya, kedekatan antara umat dengan pemuka agama adalah salah satu wujud hadirnya kekuasaan tanpa kekerasan. Demikian pula, dalam garis pemikiran Foucault kehadiran seorang hakim adalah wujud hadirnya kekuasaan di keseharian warga negara, karena dalam kehidupan modern elit eksekutif tidak lagi terlibat secara langsung dan intens dengan masyarakat seperti dalam peran tetua adat. Kehadiran ini, seperti layaknya pisau, dapat dipergunakan untuk tujuan konstruktif (parrhesia positif) atau destruktif (parhessia negatif). 

Tindakan legal Pearson justru bertentangan dengan marwah kehadiran hukum, dan menjadi elemen destruktif yang dapat mengikis kepercayaan masyarakat terhadap fondasi juridis sebuah negara.

Hakikat Hukum sebagai Bagian dari Upaya Pemberadaban

Membaca pemikiran pakar kriminologi Rob Watts dalam States of Violence and the Civilising Process (2016), kita dapat melihat bahwa tindakan Pearson keliru dalam hal signifikansi. 

Watts berargumen bahwa tindakan kejahatan tidak dapat dilepaskan dari signifikansinya. Meskipun demikian, Watts tidak mengatakan bahwa kejahatan kecil tidak berarti dan dapat dilepaskan begitu saja. Bagi Watts, selama tindak kejahatan sifatnya transgresif (sebagai dampak dari keterbatasan manusia), maka perlakuan korektif atau restoratif lebih tepat daripada retributif.

Kejahatan ringan spontan (minor transgression) yang terjadi karena rasa lapar seorang tunawisma akibat pemutusan kerja sepihak, misalnya, berbeda dengan intensi dan tindakan jahat (mens rea dan actus reus) dari seseorang yang melakukan korupsi untuk memperkaya diri. 

Bila argumen Watts kita terapkan pada kasus Pearson v. Chung, maka tepatlah keputusan yang diambil oleh hakim dalam kasus tersebut: yang terjadi adalah kesalahpahaman dan bukan penipuan. Pearson tidak melihat itikad baik Chung tiga tahun sebelumnya sebagai sebuah preseden, dan sikap ini justru mencederai keadilan.

Pemikiran Watts berakar dari gagasan sosiolog Norbert Elias (1969) tentang proses pemberadaban (civilising process). Menurut Elias, hukum, hukuman, dan tindakan disipliner bergerak dari dimensi eksternal ke dimensi internal. Dengan kata lain, manusia secara perlahan tapi pasti bergerak dari pengendalian diri dari luar menjadi pengendalian diri dari dalam. 

Swa-kendali manusia adalah arus pemberadaban yang semakin menebal dari zaman ke zaman. Ekspresi kekerasan perlahan tapi pasti berkurang relevansinya. 

Sebagai ilustrasi, sebelum keberadaan hukum dan otoritas, alasan seseorang tidak membunuh orang lain, adalah tekanan eksternal. Pemberadaban menginternalisasi tekanan tersebut sehingga menjadi bagian integral dari kategori normatif personal.

Menelusuri sejarah mekanisme yudisial Inggris, penstudi hukum internasional David J. Cornwell menengarai bahwa karakter retributif dalam sejarah hukum di negara itu sangat kental. Menghukum secara historis diletakkan di atas fondasi efek jera dan balasan setimpal atas tuduhan kejahatan moral. 

Cornwell mengatakan: “The term ‘civilising’ requires some explanation at the outset. In one sense, it implies the compelling requirement for both criminal justice principles and punitive operational practices to be re-assessed with a view to making them more likely to reduce crime within societies. In another sense, it means enabling the outcomes of justice to deliver social benefits to all of the ‘stakeholders’ involved in criminal offending, including victims, offenders and communities” (Istilah ‘pemberadaban’ memerlukan penjelasan sejak awal. Di satu sisi, istilah ini mengandung makna adanya tuntutan yang kuat agar baik prinsip-prinsip peradilan pidana maupun praktik operasional yang bersifat punitif ditinjau ulang, dengan tujuan agar lebih memungkinkan dalam mengurangi kejahatan di dalam masyarakat. Di sisi lain, istilah ini juga mencakup upaya untuk memastikan bahwa hasil dari proses peradilan mampu menghadirkan manfaat sosial bagi seluruh stakeholders yang terlibat dalam tindak pidana, termasuk korban, pelaku, maupun komunitas) (Cornwell, 2013:49).

Dari perspektif filsafat hukum, Cornwell memang menawarkan untuk meninjau ulang hukum dengan mencari relevansinya dalam proses pemberadaban yang ditawarkan Elias. Namun menurut para pengkritiknya seperti pemikir politik Hans-Dieter Evers, cara Elias melihat gerak menjadi beradab sebagai sebuah karakter dinamis (figuratif) tidak tepat. 

Bagi Evers alur pemberadaban tidak bersifat linear. Di satu sisi manusia menjadi semakin halus etika dan etiketnya, di sisi lain kekerasan paling brutal seperti genosida yang dilakukan Hitler dan Pol Pot justru terjadi di abad ke-20. 

Disposisi sistemik lebih cocok bagi Evers daripada pendekatan figuratif yang ditempuh Elias, karena sejarah tidak bergerak secara linear. Evers menawarkan untuk melihat metode world-system yang ditawarkan filsuf politik Immanuel Wallerstein untuk melihat karakter ekspoloitatif dari yang kuat ke yang lemah (Evers, 2022).

Melepaskan Hukum dari Perangkap Absurditas

Kembali ke absurditas gugatan Pearson, dan lepas dari kritik terhadap civilising process Elias, di saat turnamen sepakbola internasional bisa menggantikan (menyublimasi) perang antarkerajaan atau antarnegara, bahasa kekerasan, baik dari sisi tindakannya maupun ganjaran retributifnya, menjadi semakin kurang relevan. 

Beberapa abad yang lalu seseorang yang kedapatan mencuri beberapa buah apel di sebuah pasar di Paris mungkin akan berakhir dengan digantung di jalanan kota sebagai tontonan untuk efek jera (Friedland. 2012), tanpa upaya dari pihak manapun untuk mencoba menyelesaikan masalah kemiskinan yang akut. 

Langkah yang ditempuh Pearson masih beririsan dengan ekstremitas yang membuat hukum justru menjadi berjarak dengan manusia: sebuah bentuk kekerasan untuk hal-hal yang sebenarnya bisa diselesaikan tanpa mesti menempuh jalur litigasi.

Pada akhirnya, hukum yang beradab menuntut rasionalitas yang proporsional dan kepekaan kemanusiaan, yang membedakan antara pelanggaran sepele yang lahir dari keterbatasan manusia dan kejahatan yang benar-benar merusak tatanan sosial. 

Dalam kerangka proses pemberadaban Elias, tujuan penegakan hukum bukan sekadar mempertontonkan kekuasaan atau mengekskalasi sanksi, melainkan sebagai sarana untuk memperkuat kendali diri, memperbaiki relasi, dan memulihkan kepercayaan publik. Itulah sebabnya pendekatan korektif-restoratif lebih selaras realitas saat ini dibanding logika retributif yang gemar mengamplifikasi absurditas perkara kecil menjadi drama legal. 

Di ruang publik yang riuh dengan parrhesia negatif, tugas lembaga peradilan justru menjaga nalar: menimbang bukti secara wajar, membaca konteks sosial, dan menolak godaan spektakularitas. Dengan begitu, hukum kembali pada marwahnya untuk meminimalisasi, menghadirkan manfaat sosial bagi korban, pelaku, dan komunitas, serta merawat martabat manusia sebagai horizon tertinggi keadilan.

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews