Kisah tiga filsuf besar Yunani, Socrates, Plato, dan Diogenes, menawarkan studi kasus yang mendalam tentang ketegangan antara integritas substantif (kesetiaan pada kebenaran moral) dan integritas prosedural (kesetiaan pada aturan formal), serta risiko kemunafikan yang menyertainya.
1. Socrates: Kemenangan Integritas Substantif
Integritas Substantif disini adalah komitmen yang tak tergoyahkan terhadap prinsip-prinsip moral dan kebenaran universal yang diyakini, terlepas dari konsekuensi hukum atau sosial yang ada.
Socrates adalah personifikasi sempurna dari integritas substantif. Ia menjalani hidupnya dengan prinsip bahwa hidup yang tidak diuji (tidak benar) tidak layak dijalani. Dedikasinya adalah pada pencarian Kebaikan dan Keadilan yang sejati.
Pilihan Integritas: Dalam pengadilannya di Athena, Socrates dituduh merusak pemuda dan tidak mengakui dewa-dewa negara. Setelah divonis mati, ia menolak kesempatan untuk melarikan diri yang diatur oleh murid-muridnya (seperti yang diceritakan dalam dialog Krito).
Ia berpendapat bahwa melarikan diri akan melanggar prinsipnya untuk mematuhi hukum dan merusak negara, meskipun ia percaya vonis tersebut tidak adil (melanggar kebenaran substantif).
Bagi Socrates, menegakkan kebenaran substantif dari ajarannya tentang keadilan dan ketaatan hukum lebih penting daripada keselamatan pribadinya. Ia memegang teguh integritas substantif sampai akhir hayatnya dengan meminum racun.
Alasan: Baginya, melarikan diri akan melanggar secara substantif ajaran filosofisnya tentang ketaatan pada hukum dan merusak negara—prinsip yang jauh lebih penting daripada hidupnya sendiri.
Konsekuensi: Konsistensinya pada kebenaran substantif, yang sering dianggap berbenturan dengan penguasa dalam tatanan prosedural dan politik Athena, membawanya ke penjara dan hukuman mati dengan meminum racun. Socrates menunjukkan bahwa integritas sejati adalah kesetiaan pada nurani, bahkan di tengah tekanan politik. Socrates memilih prinsip di atas kekuasaan atau kenyamanan.
2. Plato: Pragmatisme Integritas Prosedural
Integritas Prosedural disini adalah komitmen untuk beroperasi dan mematuhi penguasa, status, aturan, proses, dan kerangka formal yang sedang berlaku, memastikan semua tindakan dilakukan melalui saluran yang aman.
Plato, sebagai murid Socrates, menyaksikan tragedi gurunya dan menyimpulkan bahwa idealisme filosofis murni rentan dihancurkan oleh sistem. Hal ini membentuk pendekatannya yang lebih pragmatis.
Pilihan Integritas: Daripada menantang sistem Athena secara langsung (seperti Socrates), Plato fokus pada pembangunan Akademi (sebuah institusi formal). Ini adalah langkah prosedural untuk menghasilkan pemimpin yang bijaksana (Raja Filsuf) di masa depan. Plato menyadari bahwa untuk mencapai tujuan substantif (negara yang adil), ia harus bekerja dan bekerjasama melalui langkah dalam kerangka institusional yang aman. Plato tidak menentang status quo secara terbuka sehingga lebih mudah diterima oleh Penguasa.
Kepemimpinan/Jabatan: Meskipun ia tidak pernah memegang jabatan politik di Athena, Plato "menjabat" sebagai Kepala Akademi yang sangat berpengaruh dan berupaya menasihati penguasa (seperti Dionysius II dari Syracuse). Upayanya untuk memengaruhi kekuasaan menunjukkan kesediaannya menggunakan prosedur dan posisi formal untuk mendorong reformasi substantif.
Konsekuensi: Dengan memprioritaskan saluran prosedural yang aman dan membangun benteng intelektualnya (Akademi), Plato mampu bertahan, menjamin kelangsungan filsafatnya, dan menghasilkan warisan yang jauh lebih besar, meskipun banyak dianggap menanggalkan Integritas Substantif dan mendapatkan banyak kritik.
3. Diogenes: Tuduhan Kemunafikan dan Warisan Socrates yang Sejati
Kontras antara Socrates dan Plato memicu kritik keras dari Diogenes dari Sinope, pendiri aliran Sinisisme. Diogenes melihat Plato sebagai pengkhianat warisan asketisme dan integritas filosofis yang sebenarnya diwarisi dari Socrates.
Diogenes menuduh Plato munafik karena: Kekayaan dan Status: Diogenes hidup dalam kemiskinan ekstrem (sering tinggal di dalam tong) dan menolak semua konvensi sosial dan materi. Ia melihat Plato, dengan kekayaan, pakaian bagus, dan lembaga mewahnya (Akademi), sebagai seseorang yang telah menjual prinsip Sokratik demi kenyamanan dan status.
Menghamba pada Raja: Diogenes mencemooh upaya Plato untuk mencari perlindungan atau pengaruh dari penguasa tiran seperti Dionysius II di Syracuse. Salah satu anekdot terkenal adalah ketika Plato menasihati penguasa, Diogenes mengkritik, "Jika kamu tahu cara mencuci sayuran, kamu tidak perlu menjilat raja." Sebaliknya, Plato membalas, "Jika kamu tahu cara menghormati raja, kamu tidak perlu mencuci sayuran."
Kesenjangan Teori-Praktik: Diogenes memandang filosofi Plato sebagai "omong kosong akademik" yang terpisah dari realitas kehidupan nyata. Dalam salah satu insiden paling terkenal, setelah Plato mendefinisikan manusia sebagai "binatang berkaki dua tak berbulu," Diogenes mencabut bulu ayam, membawanya ke Akademi, dan berseru, "Inilah manusia Plato!"
Diogenes melihat integritas prosedural Plato sebagai kemunafikan substantif, yaitu menggunakan prosedur dan status formal untuk menyembunyikan keterikatan pada kemewahan dan kekuasaan, yang dianggap berlawanan dengan integritas substantif dan semangat sejati integritas Socrates, yang dimurnikan oleh kesulitan untuk mempertahankan kebenaran. Bagi Diogenes, dialah, bukan Plato, yang merupakan pewaris sejati integritas substantif Socrates.
Sumber Referensi :
Plato's Apology, Crito And Phædo Of Socrates.
Diogenes Laertius, Lives and Opinions of Eminent Philosophers.
Plato, Republic (Republik)
Wikipedia.org