Beberapa tahun terakhir, jagat media sosial diramaikan dengan berbagai konten prank. Tujuannya sederhana: menghibur dan menarik perhatian. Namun, tak jarang “lawakan” ini justru kebablasan dan berujung pada proses hukum. Dari pura-pura menjadi orang gila, membagikan makanan berisi sampah, hingga mengerjai orang dengan informasi bohong-semuanya telah menjadi bukti bahwa tak semua hal bisa dijadikan bahan candaan.
Di balik konten-konten yang viral itu, ada dampak nyata. Korban bisa merasa dipermalukan, dirugikan secara psikologis, bahkan material. Di sinilah hukum mulai bekerja. Jika prank tersebut memenuhi unsur pidana, seperti penipuan (Pasal 378 KUHP) atau penghinaan (Pasal 310 KUHP), pelakunya bisa diproses secara hukum.
Hakim dalam hal ini memiliki tanggung jawab penting. Mereka tidak hanya menilai dari sisi hukum semata, tetapi juga harus mempertimbangkan konteks sosial dan niat pelaku. Apakah pelaku benar-benar berniat jahat? Apakah konten tersebut berdampak serius bagi korban? Semua pertanyaan ini menjadi bagian dari ruang pertimbangan yang kompleks.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif tertinggi berperan penting dalam membimbing para hakim dalam menangani perkara seperti ini. Melalui putusan-putusan yang konsisten dan pembinaan teknis, MA dapat mendorong terbentuknya praktik peradilan yang adil dan proporsional. Tak hanya itu, MA juga bisa merancang pedoman etik atau rekomendasi khusus mengenai perkara-perkara pidana ringan berbasis konten digital.
Bagi para kreator konten, ini saatnya lebih bijak. Hiburan tidak boleh mengorbankan martabat orang lain. Peraturan perundang-undangan, seperti UU ITE dan KUHP, telah menyediakan batasan yang jelas.
Era digital menuntut kebebasan berekspresi disertai tanggung jawab hukum. Prank boleh saja, asal tak melukai. Karena sekali salah langkah, dari konten lucu bisa berubah jadi jeruji besi.