Pengesahan Undang‑Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang‑Undang Hukum Pidana (KUHP) telah menandai dimulainya era baru hukum pidana substantif di Indonesia, yang menggantikan KUHP warisan kolonial.
Namun, keberhasilan pelaksanaan KUHP baru, dengan segala sudut pandang progresifnya, kini bergantung sepenuhnya pada kesiapan kerangka hukum acara pidana.
Saat ini, Indonesia masih memakai Kitab Undang‑Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tahun 1981, sebuah produk hukum yang dirancang berdasarkan filosofi dan kebutuhan KUHP lama.
Jika KUHAP tidak direvisi dan diselaraskan dengan segera sebelum berlakunya KUHP baru secara penuh pada tahun 2026, sistem peradilan pidana Indonesia berisiko mengalami kekacauan hukum serta ketidakpastian dalam praktik.
Revisi KUHAP bukan sekadar pilihan, melainkan sebuah kebutuhan mendesak untuk memastikan proses hukum berjalan sejalan dengan semangat keadilan yang dibawa oleh KUHP baru.
Ketidaksesuaian Paradigma dan Prosedur
KUHP baru membawa sejumlah inovasi fundamental yang belum ada dalam KUHAP 1981. Ketidakcocokan mendasar (mismatch) ini menciptakan lubang besar dalam proses beracara bagi penegak hukum:
1. Keadilan Restoratif dan Pidana Alternatif
KUHP 2023 sangat menyoroti pidana kerja sosial, pidana pengawasan, dan sanksi denda sebagai pengganti pidana penjara (penjara sebagai remedy terakhir). Namun, KUHAP 1981 tidak memiliki mekanisme acara yang jelas mengenai bagaimana:
- Penyidik (Polisi) dan Penuntut Umum (Jaksa) dapat menerapkan keadilan restoratif secara formal di luar mekanisme diversi untuk anak.
- Bagaimana pidana pengawasan dan pidana kerja sosial dijalankan pada tahap pra‑adjudikasi (penyidikan dan penuntutan) serta bagaimana Hakim menjatuhkannya dalam putusan.
- Siapa lembaga yang berwenang mengawasi dan melaksanakan sanksi‑sanksi alternatif tersebut di lapangan, di luar peran Balai Pemasyarakatan (Bapas) yang kewenangannya terbatas.
Tanpa prosedur yang jelas dalam KUHAP baru, semangat pemasyarakatan dan rehabilitasi yang dicanangkan KUHP 2023 hanya akan menjadi simbol kosong.
2. Subjek Hukum Baru dan Kekhususan Acara
KUHP baru secara eksplisit mengakui korporasi sebagai subjek tindak pidana dan memberikan perhatian khusus pada kelompok rentan.
KUHAP 1981 tidak pernah mengatur tata cara pemeriksaan, penuntutan, dan persidangan yang spesifik untuk korporasi, sehingga seringkali penegak hukum menggunakan analogi atau peraturan sektoral. KUHAP harus diubah untuk mengatur:
- Prosedur pemanggilan, penyitaan aset, dan pertanggungjawaban pidana terhadap pengurus korporasi.
- Perlindungan dan pendampingan hukum yang lebih kuat dan operasional bagi saksi, korban, serta tersangka dari kelompok rentan (termasuk anak dan penyandang disabilitas) di setiap tahapan proses peradilan.
3. Hak Asasi Manusia dan Akuntabilitas Penegak Hukum
Salah satu kritik terbesar terhadap KUHAP 1981 adalah lemahnya perlindungan hak asasi manusia (HAM) tersangka/terdakwa dan besarnya kewenangan yang tidak terkontrol dari aparat penegak hukum. Revisi KUHAP harus berorientasi pada prinsip due process of law dengan:
- Memperjelas dan memperkuat hak atas bantuan hukum sejak tahap penyelidikan.
- Mengatur secara ketat teknik investigasi khusus (seperti penyadapan atau undercover buying) agar memiliki akuntabilitas dan pengawasan yang jelas, tidak hanya mengandalkan undang‑undang sektoral.
- Memperluas ruang lingkup praperadilan untuk menguji lebih banyak tindakan penyidik, termasuk sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan.
Konsekuensi Logis Kegagalan Revisi
Jika revisi KUHAP tidak tuntas sebelum KUHP baru berlaku efektif, konsekuensi yang paling fatal adalah terkikisnya kepastian hukum.
Penegak hukum akan dipaksa menerapkan hukum materiil (KUHP) dengan menggunakan hukum acara (KUHAP) yang saling bertentangan. Hal ini akan memicu perbedaan interpretasi di antara lembaga‑lembaga peradilan, menghasilkan putusan yang tidak seragam, dan membuka peluang besar untuk pelanggaran HAM akibat prosedur yang usang.
Oleh karena itu, penyelarasan KUHAP menjadi langkah yang harus diprioritaskan. Ini adalah fondasi formil yang akan menjamin bahwa semangat keadilan, humanisme, dan modernitas yang tertuang dalam KUHP Nasional dapat benar‑benarnya diwujudkan di meja penyidikan, ruang penuntutan, hingga palu Hakim.