Ketika Anak Menjadi Sengketa: Di Mana Kepentingan Terbaik bagi Mereka?

Sengketa hak asuh anak berbeda dari sengketa mengenai benda. Anak adalah manusia dengan harkat dan martabat.
Ilustrasi hak asuh anak. Foto : Freepik
Ilustrasi hak asuh anak. Foto : Freepik

Seorang ibu tampak duduk termangu menahan pilu. Anak semata wayang yang ia besarkan dengan segenap cinta, kini tak lagi dapat ia peluk. 

Perselisihannya dengan sang suami telah berujung pada perceraian. Hati mana yang tak tersayat ketika ia melihat buah hatinya pergi, sementara ia tak mampu merawatnya lagi? 

Hidup terasa hampa, seperti jasad tanpa ruh: tertimpa musibah namun tak satu pun orang datang melayat.

Gambaran di atas adalah sepotong kisah dari banyak kisah serupa di pengadilan: perjuangan seorang ibu yang tidak berhasil memperoleh hak asuh anaknya. Ia mungkin kecewa, bahkan marah, ketika hakim menolak gugatan hadlanah atas anak yang ia kandung selama sembilan bulan, dan ia susui dengan penuh pengorbanan. 

Pada saat itu, mudah saja muncul ungkapan-ungkapan emosional: “Hakim kejam!”, “Hakim tidak punya hati!”, atau “Hakim tak berperikemanusiaan!” Secara manusiawi, perasaan demikian dapat dimengerti. 

Perasaan serupa sejatinya dapat pula dialami seorang ayah ketika ia gagal mendapatkan hak pengasuhan. Artinya, peluang sikap egoistis dapat muncul pada kedua belah pihak: mantan suami maupun mantan istri. 

Keduanya sama-sama merasa memiliki alasan yang benar menurut perspektif masing-masing.

Namun, apakah hakim dapat serta-merta disalahkan? Pertanyaan inilah yang perlu dijawab, agar masyarakat memahami bagaimana pengadilan bekerja dalam memutus perkara perebutan hak asuh.

Ada pertanyaan mendasar yang sering luput: Ketika hak asuh diperjuangkan, sesungguhnya kebahagiaan siapa yang sedang diupayakan? Kebahagiaan anak, atau kebanggaan dan kepentingan pribadi orang tua?

Kalaupun jawabannya adalah “demi kebahagiaan anak”, masih perlu ditanyakan: Apakah yang kita anggap kebahagiaan itu benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan perasaan anak itu sendiri?

Pertanyaan terakhir inilah yang sering tak terlintas. Pengadilan kerap menjadi sasaran kemarahan pihak yang kalah. Padahal pengadilan memutus dengan keterikatan pada prinsip yang telah menjadi doktrin universal: kepentingan terbaik bagi anak (the best interest of the child).

Sengketa hak asuh anak berbeda dari sengketa mengenai benda. Anak adalah manusia dengan harkat dan martabat. Hanya saja, ia belum mampu menyatakan kehendaknya secara utuh. Andai ia mampu, mungkin ia ingin berkata panjang lebar tentang siapa yang seharusnya ia ikuti. 

Namun kenyataannya, ia hanya bisa diam, tertawa, atau menangis. Di titik inilah, pengadilan bertindak sebagai suara yang mengartikulasikan kepentingan si anak.

Maka, hakim tidak hanya mempertimbangkan aspek yuridis, tetapi juga aspek sosiologis, psikologis, kultural, dan prediksi perkembangan anak pada masa depan. 

Banyaknya eksekusi hak asuh yang gagal memperlihatkan bahwa sengketa mengenai anak bukan soal menang dan kalah.

Terdapat pelajaran penting dari sebuah peristiwa pada masa Rasulullah SAW, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud. 

Ketika seorang anak yang telah disapih diminta memilih antara ayahnya yang telah masuk Islam dan ibunya yang belum, Rasulullah memberikan kesempatan kepada anak itu untuk menentukan sendiri. Setelah berdoa kepada Allah, sang anak pun memilih sang ayah.

Hadis ini tidak hanya menunjukkan aspek akidah, namun lebih dari itu: Rasulullah mengakui dan menghormati kepentingan anak yang telah mampu menentukan pilihan (mumayyiz).

Dalam berbagai kasus pada masa Rasulullah, hak pengasuhan banyak diberikan kepada ibu atau kerabat perempuan, bukan semata karena perempuan lebih lembut, tetapi karena kondisi sosial saat itu: para ayah sering meninggalkan rumah untuk berjihad sehingga secara faktual tidak mungkin mengasuh anak.

Situasi kini berbeda. Keduanya, ayah maupun ibu—bisa bekerja, bisa hadir, atau justru sama-sama sibuk. Karena itu, menitikberatkan hak asuh hanya berdasarkan jenis kelamin tidak selalu relevan lagi. 

Pertimbangannya harus tetap kembali pada satu asas utama: Apa yang benar-benar terbaik bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, dan masa depan anak. Bukan ego orang tua. Bukan rasa ingin menang. Bukan pembalasan perasaan pasca perceraian. Pada akhirnya, hak asuh bukan soal siapa yang lebih berhak, tetapi siapa yang lebih tepat.

Wallahu a’lam.