Krisis Hakim Indonesia: Saat Palu Keadilan Kehilangan Tangan

Jabatan hakim dipandang sebagai officium nobile (profesi terhormat/luhur) yang memiliki kekuasaan sangat besar dan sangat penting dalam proses peradilan.
Ilustrasi palu hakim. Foto : freepik.com
Ilustrasi palu hakim. Foto : freepik.com

Hakim adalah sebuah jabatan istimewa karena kerap disebut sebagai “wakil Tuhan” di dunia. Jabatan hakim dipandang sebagai officium nobile (profesi terhormat/luhur) yang memiliki kekuasaan sangat besar dan sangat penting dalam proses peradilan.

Berdasarkan asas hukum Res Judicata Pro Veritate Habetur yaitu “putusan hakim harus dianggap benar”, menandakan betapa terhormat dan mulianya jabatan hakim.  

Atas nama hukum, ketukan palu seorang hakim bisa menentukan nasib seseorang  atau kelompok, apakah mendekam dibalik jeruji besi, dihukum mati, atau menghirup udara bebas.

Dalam menjalankan tugasnya, hakim harus berpegang pada beberapa asas yang antara lain asas keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. 

Selain itu hakim harus tunduk pada asas independensi yaitu tidak boleh terpengaruh oleh tekanan dari pihak manapun dan bebas dari campur tangan pihak manapun. 

Seorang hakim dalam memutuskan perkara harus menekankan kehati-hatian dalam mempertimbangkan dan menafsirkan hukum serta fakta-fakta yang ada dalam persidangan, serta tidak terpengaruh oleh emosi atau prasangka yang dapat mempengaruhi keputusannya. 

Namun di balik tugas mulia tersebut, beban perkara yang ditangani Mahkamah Agung dan empat peradilan di bawahnya tidaklah sedikit. 

Berdasarkan Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2024, jumlah beban perkara yang ditangani pengadilan tingkat pertama pada empat peradilan di seluruh Indonesia sebanyak 2.991.747 perkara, pengadilan tingkat banding sebanyak 33.108 perkara, dan Mahkamah Agung sebanyak 31.138 perkara. 

Sedangkan persentase perkara yang berhasil diputus pada pengadilan tingkat pertama 97,56%, pengadilan tingkat banding 90,12% dan Mahkamah Agung 99,26%.

Permasalahan : Kebutuhan Pemenuhan Jumlah Hakim

Di balik keberhasilan memutuskan perkara yang rata-rata di atas 90%, terdapat permasalahan yang menghantui Mahkamah Agung dan empat peradilan di bawahnya terkait jumlah hakim yang ada. 

Mengutip dari Laporan Tahunan Mahkamah Agung tahun 2024 rasio kinerja penanganan perkara terhadap jumlah hakim, diperoleh rata-rata produktivitas tiap hakim pada pengadilan tingkat pertama sebanyak 2.967 perkara dan pada pengadilan tingkat banding sebanyak 110 perkara. 

Sedangkan jumlah hakim pada pengadilan tingkat pertama dan pengadilan banding pada 4 empat peradilan berjumlah 7.378 orang dan jumlah Hakim Agung sebanyak 45 orang (sumber : Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2024). 

Setiap tahun Mahkamah Agung dengan empat peradilan di bawahnya mengalami penyusutan jumlah hakim dikarenakan meninggal ataupun dibatasi oleh usia pensiun. 

Mengutip berita dari rri.co.id (https://rri.co.id/index.php/nasional/1392552/mahkamah-agung-kekurangan-1-955-hakim-upaya-rekrutmen-dipercepat), berdasarkan data per 12 Maret 2025 peradilan umum kekurangan hakim sebanyak 1.955 orang dengan total hakim yang bertugas  sebanyak 4.610 orang. 

Selain itu, salah satu penyebab terjadinya kekurangan hakim saat ini adalah dampak dari moratorium penerimaan Calon Hakim sejak 2010 sampai 2017. 

Moratorium terjadi karena Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan hakim sebagai pejabat negara, bukan lagi sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS). 

Akan tetapi UU Nomor 48/2009 ini tidak diikuti dengan aturan pelaksanaan (peraturan pemerintah atau keputusan presiden) yang jelas dan bisa digunakan untuk rekrutmen hakim. 

Hal ini menyebabkan Kemenpan RB yang hanya berwenang menetapkan formasi PNS tidak bisa menetapkan formasi rekrutmen hakim.

Akibat dari moratorium penerimaan calon hakim menimbulkan berbagai dampak terhadap beban kerja hakim namun juga terhadap manajemen pengadilan. 

Merujuk tulisan Viktor Pane pada Media Indonesia online pada 2022, moratorium penerimaan calon hakim selama tujuh tahun (2010-2017) memberikan dampak tidak hanya pada beban kerja hakim namun juga pada manajemen pengadilan yaitu terjadi kekosongan pimpinan pengadilan tingkat pertama kelas II karena kekosongan hakim yang memiliki pangkat IV A (menurut aturan BKN). 

Menurut Viktor Pane, “masalah pimpinan pengadilan tingkat pertama pada 15 tahun yang akan datang. Ketika itu, hakim generasi 2009, generasi terakhir sebelum moratorium, sudah tidak cocok lagi menjadi ketua pengadilan kelas II karena pangkatnya sudah IV C. Sementara itu, 1.500-an generasi 2017, yaitu generasi setelah moratorium, belum memenuhi syarat karena baru berpangkat III C”. 

Hal yang terasa fatal dari dampak kekurangan hakim ini adalah banyak pengadilan yang hanya memiliki tiga orang hakim, agar proses peradilan dapat tetap berjalan maka persidangan untuk beberapa perkara dan telah disetujui oleh Ketua Mahkamah Agung hanya dipimpin oleh hakim tunggal. 

Hal ini tentu sangat mengancam eksistensi Indonesia sebagai negara hukum dan UU Nomor 48/2009 yang mengamanatkan kekuasaan Kehakiman yang mandiri, kuat dan merdeka dalam menjalankan fungsi yudisial demi penegakan hukum dan keadilan.
Langkah-langkah Strategis Mahkamah Agung

Sesungguhnya Mahkamah Agung tidaklah berdiam diri dengan kondisi moratorium rekrutmen calon hakim. Pada 2017 diterbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 2/2017 untuk mengisi kekosongan peraturan yang mengatur rekrutmen calon hakim yang bersamaan dengan rekrutmen Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). 

Pada 2021 diterbitkan Perma Nomor 1/2021 dilakukan rekrutmen calon hakim melalui formasi Analis Perkara Peradilan (APP). Namun kedua Perma tersebut hanya sebagai “pintu darurat” untuk dapat melaksanakan rekrutmen calon hakim karena hanya dapat digunakan pada tahun berjalan dan untuk sekali rekrutmen.

Pelaksanaan rekrutmen hakim kembali dilakukan oleh Mahkamah Agung pada 2025 ini. Dihadiri Presiden Republik Indonesia H. Prabowo Subianto pada hari Kamis tanggal 12 Juni 2025, Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Prof. Dr. H. Sunarto, S.H. M.H mengukuhkan 1.451 Hakim Pengadilan Tingkat Pertama pada Empat Lingkungan Peradilan Seluruh Indonesia tahun 2025. 

Pengukuhan hakim ini untuk memenuhi kebutuhan 350 pengadilan tingkat pertama pada empat lingkungan peradilan. 

Adapun penyebarannya sebanyak 912 orang hakim peradilan umum dan ditugaskan pada 144 pengadilan negeri, 362 orang hakim peradilan agama ditugaskan pada 173 pengadilan agama, 143 orang hakim peradilan tata usaha negara ditugaskan pada 22 peradilan tata usaha negara dan 25 orang hakim peradilan militer ditugaskan pada 11 pengadilan militer. 

Dengan penambahan ini, jumlah total hakim di Indonesia kini mencapai 8.711 orang. (sumber: https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/6781/sebanyak-1451-hakim-baru-resmi-dikukuhkan)

Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No 43/PUU-XII/2015 rekrutmen calon hakim pengadilan tingkat pertama merupakan kewenangan MA. 

Oleh sebab itu, untuk memecahkan permasalahan rekrutmen hakim, Mahkamah Agung melakukan koordinasi dengan pihak terkait (Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat/DPR) agar dapat dikeluarkan regulasi yang dibutuhkan. 

Saat ini atas inisiatif DPR tengah disusun RUU Jabatan Hakim yang salah satunya mengatur tentang rekrutmen calon hakim. Diharapkan dengan adanya UU Jabatan Hakim, Mahkamah Agung mempunyai wewenang untuk merencanakan, melaksanakan serta melakukan evaluasi terhadap rekrutmen calon hakim.

Penutup

Hakim adalah pilar utama dalam tegaknya hukum dan keadilan di Indonesia. Namun, tingginya beban perkara selayaknya diimbangi jumlah hakim yang memadai untuk menghindari potensi rendahnya kualitas putusan dan efektivitas peradilan. 

Mahkamah Agung telah melakukan langkah-langkah strategis seperti pengukuhan ribuan hakim baru dan penyusunan RUU Jabatan Hakim yang merupakan inisiatif DPR, menjadi bukti ikhtiar yang telah dilakukan untuk menjawab tantangan ini. 

Selain itu, penulis ingin memberikan sumbang ide terkait strategi untuk pemenuhan Hakim. Sebagaimana diketahui bahwa hakim militer yang bertugas di Mahkamah Agung dan Peradilan Militer juga mengikuti pelatihan yudisial yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam rangka peningkatan kompetensi hakim, seperti pelatihan terkait hukum kekerasan rumah tangga atau lingkungan. 

Oleh sebab itu penulis mengusulkan, agar dibuat peraturan atau kerja sama antara Mabes TNI dengan Mahkamah Agung dimana memberikan peluang bagi hakim militer  memilih berkarier menjadi hakim sipil dan melepas kedinasan militernya sehingga dapat ditugaskan menjadi hakim di luar pengadilan militer. 

Dengan ketersediaan hakim yang memadai maka diharapkan asas keadilan, kepastian hukum, kemanfaatan serta terlaksananya proses beracara yang cepat, sederhana, berbiaya ringan dapat terwujud secara lebih optimal demi menjaga wibawa peradilan sebagai kekuasaan kehakiman yang mandiri dan merdeka.

Penulis: Yopi Ananda
Editor: Tim MariNews