Profesi Hakim sering disebut sebagai officium nobile (profesi mulia), namun pada hakikatnya, ini adalah jalan yang sunyi.
Di tengah hiruk-pikuk dunia modern yang terobsesi dengan pengakuan sosial, "likes", dan popularitas, seorang Hakim dituntut untuk berdiri tegak di menara gading integritasnya sendiri.
Menjadi wakil Tuhan di muka bumi bukanlah tentang mencari tepuk tangan.
Sebaliknya, esensi menjadi Hakim adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari segala bentuk kebutuhan akan validasi eksternal kecuali validasi yang lahir dari prosedur hukum yang sah.
Bahaya Validasi Sosial bagi Independensi
Di era digital, validasi seringkali menjadi mata uang sosial.
Manusia secara alami mencari penerimaan, pujian, dan afirmasi dari lingkungannya. Namun, bagi seorang Hakim, keinginan untuk "disukai" atau "dibenarkan" oleh publik adalah racun yang mematikan.
Ketika seorang Hakim mulai mencari validasi dari opini publik, media sosial, atau lingkaran pertemanan, ia mempertaruhkan dua pilar utama peradilan yakni Independensi dan Imparsialitas.
Hakim yang haus validasi akan rentan terjebak dalam populist justice, dimana ia akan memutus perkara berdasarkan apa yang diinginkan massa, bukan berdasarkan fakta hukum dan hati nurani.
Padahal, kebenaran hukum seringkali pahit dan tidak populer.
Seorang Hakim harus cukup berani untuk menjadi tidak populer. Ia harus siap kesepian dalam keramaian, karena ia tahu bahwa keputusannya tidak ditujukan untuk memuaskan ego atau memancing pujian, melainkan untuk menegakkan keadilan.
Satu-satunya Validasi yang Diperlukan: Profesionalitas
Lantas, apakah seorang Hakim sama sekali tidak boleh dinilai?
Tentu saja boleh, namun validasi tersebut memiliki ruang dan mekanismenya sendiri yang ketat.
Sesuai prinsip res judicata, validasi seorang Hakim hanya berlaku di dalam ruang sidang dan dokumen pekerjaannya.
Ada dua bentuk validasi yang sah dan perlu dikejar oleh seorang Hakim:
- Validasi Prosedural (Upaya Hukum): Kualitas seorang Hakim tidak diukur dari seberapa banyak orang yang memujinya di beranda Instagram, melainkan dari seberapa tahan uji putusannya di tingkat peradilan yang lebih tinggi. Ketika putusan diuji melalui Banding, Kasasi, atau Peninjauan Kembali (PK), di situlah validasi profesional terjadi. Koreksi dari pengadilan tingkat atas adalah bentuk validasi (atau invalidasi) yang sehat dalam dialektika hukum.
- Validasi Etis (Kode Etik): Validasi kedua datang dari kepatuhan terhadap Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Pengawasan dari Komisi Yudisial atau Badan Pengawas bukanlah serangan, melainkan mekanisme validasi untuk memastikan Hakim tetap berada di koridor perilaku yang luhur.
Di luar dua hal tersebut, apakah itu pujian dari tetangga, sanjungan dari pengacara, atau komentar netizen dan bahkan semuanya adalah noise (gangguan) yang harus diabaikan.
Menumbuhkan Kepuasan Internal
Untuk bisa lepas dari jerat validasi eksternal, seorang Hakim perlu membangun kompas internal yang kuat.
Kepuasan batin seorang Hakim seharusnya muncul saat ia berhasil menyusun pertimbangan hukum (legal reasoning) yang runtut, logis, dan berkeadilan.
Rasa bangga itu muncul ketika ia tahu bahwa ia tidak bisa dibeli, tidak bisa diintervensi, dan telah memutus perkara dengan sebaik-baiknya pengetahuan yang ia miliki.
Hakim harus mengadopsi mentalitas stoic yang fokus hanya pada apa yang bisa dikendalikan (integritas, pengetahuan hukum, analisis fakta) dan tidak peduli pada apa yang di luar kendali (opini publik, ketidaksukaan pihak yang kalah).
Kesimpulan
Palu Hakim tidak diketuk untuk memancing tepuk tangan.
Ia diketuk untuk mengakhiri sengketa dan memberikan kepastian hukum.
Jika Anda mencari sorotan lampu panggung, validasi pengikut, atau pujian sosial, kursi pengadilan bukanlah tempat yang tepat.
Menjadi Hakim berarti memilih jalan asketis dalam kehidupan sosial.
Validasinya terletak pada lembaran putusan yang ditandatangani dan sumpah jabatan yang diucapkan.
Biarkan dunia luar riuh dengan pendapatnya, tetapi di ruang sidang dan di dalam hati nurani, hanya hukum dan keadilan yang berhak bicara.


