Landmark Decision: Peraturan Tanpa Dasar Hukum yang Masih Berlaku Dinyatakan Tidak Sah

Setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh didasarkan pada aturan yang sudah usang atau tidak berlaku.
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA
Gedung Mahkamah Agung. Foto dokumentasi Humas MA

Selain menjadi lembaga peradilan tertinggi di Indonesia, Mahkamah Agung (MA) juga memiliki kewenangan penting dalam fungsi peradilan, yaitu hak uji materiil. Kewenangan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang kemudian telah beberapa kali mengalami perubahan, terakhir melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.

Melalui aturan tersebut, Mahkamah Agung berwenang menguji atau menilai secara materiil suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, apakah isinya bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Salah satu permohonan hak uji materiil yang cukup bersejarah adalah perkara dengan nomor registrasi 42 P/HUM/2012. Permohonan ini diajukan oleh Front Pembela Islam (FPI) selaku pemohon, melawan Presiden Republik Indonesia sebagai termohon.

Perkara tersebut, kemudian menjadi landmark decision (putusan penting) dalam praktik peradilan di Indonesia. Majelis Hakim yang memutus perkara ini dipimpin oleh Dr. Supandi, S.H., M.Hum sebagai Ketua, bersama H. Yulius, S.H., M.H. dan Dr. H.M. Hary Djatmiko, S.H., M.S. sebagai Anggota Majelis.

Dalam perkara tersebut, duduk kasus posisi yang diajukan pemohon yakni Front Pembela Islam (FPI) mengajukan permohonan hak uji materiil terhadap Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol terhadap Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan dan Undang Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan Undang Undang Nomor 7 tahun 1999 tentang Pangan.

Pemohon mendalilkan, Keppres Nomor 3 tahun 1997 didasarkan pada aturan-aturan yang telah dicabut dan sudah tidak berlaku. Menurut dalil pemohon, Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tersebut, seharusnya didasarkan pada aturan yang masih berlaku dan mempunyai kemanfaatan dan kemaslahatan bagi umat/masyarakat baik secara sosial, ekonomis, dan agama. 

Terhadap permohonan tersebut, Majelis Hakim Mahkamah Agung setelah memeriksa keseluruhan peraturan yang diuji selanjutnya mengadili dan memutuskan yang pada pokoknya mengabulkan permohonan keberatan hak uji materil dari pemohon FPI. Selanjutnya menyatakan, Keppres Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta selanjutnya memerintahkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Keppres Nomor 3 tahun 1997 tentang Pengawasan dan Pengendalian Minuman Beralkohol tersebut.

Dasar pertimbangan hukum Majelis Hakim pemeriksa uji materiil tersebut, yakni majelis sependapat dengan dalil pemohon bahwa sesuai anggaran dasar dan eksistensinya sebagai organisasi kemasyarakatan yang diakui di Negara kesatuan Republik Indonesia,pemohon mempunyai kepentingan mengajukan permohonan a quo, karena haknya dirugikan atas berlakunya Keppres Nomor 3 Tahun 1997 yang menjadi objek pemohon keberatan hak uji materiil, yang berkaitan dengan pengawasan dan pengendalian minuman beralkohol.

Secara yuridis, pemohon mempunyai legal standing untuk mengajukan keberatan hak uji materiil atas Keppres Nomor 3 Tahun 1997, sehingga memenuhi syarat formal yang ditentukan dalam pasal 31 ayat A ayat (2) Undang-undang Nomor 3 tahun 2009 Jo. Pasal 1 ayat (4) PERMA Nomor 01 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.

Majelis Hakim Mahkamah Agung menilai, permohonan hak uji materiil diajukan oleh pemohon yang memiliki legal standing. Oleh karena itu, permohonan a quo secara formal dapat diterima. Namun, objek permohonan hak uji materiil yang diterbitkan oleh termohon didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang sudah diubah, dicabut, atau dinyatakan tidak berlaku dengan adanya peraturan baru.

Karena dasar hukum yang digunakan dalam penerbitan objek permohonan tersebut sudah tidak berlaku, maka Keputusan Presiden a quo dianggap kehilangan kekuatan hukum. Dengan demikian, objek permohonan hak uji materiil tersebut dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku secara umum.

Putusan ini memberikan pemahaman penting bahwa setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh didasarkan pada aturan yang sudah usang atau tidak berlaku. Oleh sebab itu, pemerintah dalam menyusun regulasi wajib memastikan bahwa dasar hukum yang digunakan masih berlaku dan relevan.

Selain itu, putusan ini juga menjadi yurisprudensi penting yang dapat dijadikan acuan oleh hakim lain dalam memutus perkara serupa. Tidak hanya itu, putusan ini juga memberikan nilai pembelajaran bagi praktisi hukum, akademisi, mahasiswa hukum, serta masyarakat luas tentang pentingnya kepastian hukum dalam penyusunan peraturan.

Penulis: Andy Narto Siltor
Editor: Tim MariNews