Ketentuan hukum pidana Indonesia, mengenal dua bentuk pembelaan darurat, yakni bentuknya pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa yang melampaui batas.
Dalam bahasa Belanda, pembelaan terpaksa disebut noodweer dan pembelaan terpaksa melampaui batas dikenal juga noodweer exces.
Pembelaan terpaksa dan pembelaan terpaksa melampaui batas merupakan alasan penghapus pidana.
Ketentuan pembelaan terpaksa diatur dalam Pasal 49 Ayat 1 KUHP, di mana tujuan pembelaan terpaksa dalam pasal tersebut, ditujukan mempertahankan dirinya atau diri orang lain, mempertahankan kehormatan atau harta benda sendiri atau kepunyaan orang lain, dari serangan yang melawan hak dan mengancam dengan segera, serta saat itu juga.
Sedangkan pembelaan terpaksa melampaui batas, diatur dalam ketentuan Pasal 49 Ayat 2 KUHP.
Pembeda pembelaan terpaksa dengan pembelaan terpaksa melampaui batas, yakni adanya serangan yang sekonyong-konyong atau mengancam setika, yang menimbulkan keguncangan jiwa yang hebat akibat serangan dimaksud.
Terhadap uraian dimaksud, menimbulkan pertanyaan apakah seseorang atau kelompok orang, yang masih dapat melakukan tindakan menghindari serangan, termasuk dalam kategori pembelaan terpaksa melampaui batas?
Guna menjawab pertanyaan tersebut, Penulis akan menguraikan Kaidah Hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 566 K/Pid/2025 yang diputus dalam persidangan terbuka untuk umum oleh Majelis Hakim Agung RI Jupriyadi, S.H., M.Hum. (Ketua Majelis) dengan didampingi Ainal Mardhiah, S.H., M.H. dan Sigid Triyono, S.H., M.Hum. (masing-masing sebagai Hakim Anggota), tanggal 13 Juni 2025.
Dalam pertimbangan Putusan Mahkamah Agung Nomor 566 K/Pid/2025 dijelaskan bahwa tindakan Terdakwa yang masih memiliki kesempatan luas untuk menghindari benturan fisik susulan, dengan pergi dari tempat kejadian dan bukan mengambil bambu yang kemudian digunakan untuk memukul saksi korban, tidaklah tampak adanya suatu keadaan yang dapat menguncang jiwa Terdakwa, sehingga Terdakwa harus melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces).
Lebih lanjut, dalam perkara a quo, bilamana mengikuti keterangan Terdakwa yang melihat seorang saksi in casu Saksi Busman, kembali ke rumahnya dan mengambil parang, maka terdapat cukup jeda bagi Terdakwa untuk meninggalkan tempat kejadian dikarenakan parang tidak ada di lokasi kejadian.
Selain itu, dalam pembuktian parang tersebut keberadaannya tidak dapat dibuktikan.
Sehingga perbuatan Terdakwa memukul saksi korban atas nama Rahim, termasuk dalam tindakan penganiayaan dan bukanlah noodweer exces, sebagaimana dakwaan subsidair Penuntut Umum dalam perkara a quo, yakni melanggar ketentuan Pasal 351 Ayat 1 KUHP.
Maka, kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung Nomor 566 K/Pid/2025, yang telah dimuat dalam jurnal Garda Peradilan Volume 1 Nomor 3 yang diterbitkan Kepaniteraan Mahkamah Agung RI, menjelaskan pembelaan tidak seimbang, yang dilakukan oleh seseorang yang berkesempatan menghindari serangan, bukan termasuk pembelaan terpaksa yang melampaui batas (noodweer exces).
Publikasi kaidah hukum Putusan Mahkamah Agung RI oleh jurnal Garda Peradilan, ditujukan untuk menyampaikan kaidah hukum penting yang lahir dari Putusan Pengadilan.
Semoga artikel ini, dapat menjadi tambahan pengetahuan bagi para pembacanya, bagi para hakim dan akademisi hukum.