Putusan kasasi perkara Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) telah melahirkan kaidah hukum mengenai pentingnya meneliti fakta sosial sebelum Menteri Hukum dan HAM (sekarang Menteri Hukum) sebelum menerbitkan surat keputusan pendirian badan hukum.
Putusan kasasi Mahkamah Agung dengan nomor: 232 K/TUN/2018 (Putusan 232) telah masuk ke dalam daftar landmark decisions Mahkamah Agung RI dan sudah tercatat di buku Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2018.
Kaidah hukum yang dilahirkan dari putusan 232 adalah “sebelum (menkumham-sekarang menteri hukum) menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara objek sengketa berdasarkan Sisminbakum (Sistem Administrasi Pendaftaran Badan Hukum), tergugat wajib memperhatikan dan meneliti fakta sosial terkait kegiatan organisasi sejenis yang sudah berdiri dan beraktivitas lebih dahulu”.
Majelis Hakim Agung tingkat kasasi dalam putusan 232 adalah Prof. Dr. H. Supandi, S.H., M.Hum (Ketua), Prof. Dr. Irfan Fachruddin, S.H., C.N (Hakim Anggota), dan Prof. Dr. H. Yodi Martono Wahyunadi, S.H., M.H. (Hakim Anggota).
Objek sengketa dalam perkara ini adalah Surat Keputusan Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia (Tergugat) Nomor AHU0064837.AH.01.07.Tahun 2016, Tanggal 20 Juni 2016 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
Para penggugat dalam perkara ini adalah para Arbiter BANI. Sedangkan tergugat ialah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham: sekarang Menteri Hukum) sebagai tergugat dan Perkumpulan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (perkumpulan) sebagai tergugat II intervensi.
Penggugat mengajukan gugatan dikarenakan Menkumham menerbitkan surat keputusan pengesahan pendirian badan hukum perkumpulan badan arbitrase nasional indonesia (tergugat II intervensi), di mana memiliki kesamaan nama dengan kepanjangan BANI, yakni Badan Arbitrase Nasional Indonesia.
Perkara ini bergulir dari tingkat pertama, banding, kasasi, dan peninjauan kembali (PK). Namun, kaidah hukum mengenai pentingnya meneliti fakta sosial terkait kegiatan organisasi sejenis yang sudah berdiri dan beraktivitas lebih dulu dilahirkan pada putusan kasasi.
Pengadilan tingkat pertama dalam putusan nomor: 290/G/2016/PTUN.JKT tanggal 4 Juli 2017 memutuskan mengabulkan gugatan para penggugat dan menyatakan batal objek sengketa. Artinya pengadilan tingkat pertama memutuskan membatalkan surat keputusan pendirian perkumpulan badan arbitrase nasional indonesia.
Majelis Hakim berpendapat bahwa penerapan Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) oleh tergugat memiliki kelemahan, terutama dalam kasus-kasus di mana nama badan hukum yang diajukan oleh pemohon sudah dikenal secara publik namun belum terdaftar di SABH.
Menurut hakim, penggunaan SABH tidak dapat dibenarkan jika sistem tersebut tidak efektif dan efisien, khususnya dalam kasus-kasus di mana nama badan hukum yang diajukan sudah dikenal publik dan secara hukum diakui keberadaannya, namun sistem SABH justru meloloskan nama tersebut karena belum terdaftar.
Dengan kata lain, hakim menyoroti kelemahan sistem SABH yang dianggap mengabaikan fakta-fakta hukum di lapangan, di mana banyak nama badan hukum yang sudah berjalan dan dikenal publik justru tidak terdaftar sehingga memungkinkan nama tersebut disetujui kembali oleh sistem.
Oleh karena itulah Majelis Hakim tingkat pertama menyatakan, tindakan tergugat yang tidak melakukan verifikasi manual dan langsung menerbitkan objek sengketa a quo adalah melanggar peraturan hukum yang berlaku.
Hakim menegaskan, seharusnya tergugat melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada pihak terkait, terutama kepada lembaga BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) yang dikenal sebagai lembaga independen dan sudah lama eksis di Indonesia.
Hakim menilai, karena BANI sudah dikenal luas, maka tergugat seharusnya melakukan konfirmasi terlebih dahulu kepada lembaga tersebut sebelum mengambil keputusan. Tindakan tergugat yang tidak melakukan verifikasi dianggap sebagai bentuk kelalaian yang bertentangan dengan hukum.
Atas dasar itulah, Majelis Hakim menyimpulkan tindakan tergugat menerbitkan objek sengketa bertentangan dengan asas kecermatan, keterbukaan, dan asas audi et alteram partem.
Putusan pengadilan tingkat pertama diajukan banding oleh pihak yang kalah. Pengadilan tingkat banding dalam putusan nomor: 265/B/2017/PT.TUN.JKTmengeluarkan keputusan membatalkan putusan tingkat pertama sehingga para arbiter mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.
Majelis Hakim Agung tingkat kasasi memberikan pertimbangan hukum bahwa tergugat tidak boleh hanya berpedoman pada Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) dalam menerbitkan objek sengketa.
Namun, menurut pertimbangan Majelis Hakim tingkat kasasi, tergugat juga harus melakukan verifikasi manual (fakta sosial) untuk melakukan pengecekan dan klarifikasi terlebih dahulu menyangkut keberadaan BANI yang telah berdiri dan eksis lebih dahulu.
Oleh karena itu majelis tingkat kasasi menyatakan, tindakan tergugat dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, khususnya Pasal 10 ayat (1) huruf d dan f Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Atas dasar itu majelis tingkat kasasi mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan objek sengketa. Terhadap putusan kasasi kemudian diajukan peninjauan kembali dan Majelis Hakim Agung tingkat peninjauan kembali memutuskan menolak permohonan peninjauan kembali. Artinya objek sengketa tetap dibatalkan sebagaimana putusan tingkat kasasi.