Di Indonesia, mediasi pengadilan sering dipandang sebagai cara cepat dan manusiawi untuk menyelesaikan sengketa.
Setiap perkara perdata diwajibkan melalui mediasi sebelum persidangan agar masalah bisa diselesaikan tanpa menunggu putusan hakim.
Secara formal, mediasi dianggap berhasil jika tercapai akta perdamaian. Namun dalam praktiknya, proses ini kadang terasa seperti formalitas semata. Waktu terbatas bagi hakim mediator, biaya, dan prosedur yang kompleks membuat mediasi sering hanya menjadi angka statistik tanpa membangun hubungan yang harmonis.
Masyarakat Bajo di Wakatobi, Sulawesi Tenggara, punya cara menyelesaikan konflik yang bisa menjadi contoh. Mereka menerapkan musyawarah adat yang sederhana namun efektif. Tradisi ini berakar pada budaya, nilai hidup, dan solidaritas sosial. Musyawarah melibatkan seluruh anggota komunitas.
Pihak yang bersengketa dipanggil dengan sopan agar merasa dihargai. Pertemuan biasanya diawali dengan doa atau ungkapan syukur, menekankan bahwa penyelesaian konflik bukan hanya soal pribadi, tapi juga menjaga keseimbangan sosial.
Dalam musyawarah, pihak bersengketa menyampaikan pendapat melalui juru bicara keluarga. Tetua adat berperan sebagai mediator moral. Mereka menengahi, memberi nasihat, dan menyampaikan nilai-nilai sosial lewat cerita atau perumpamaan.
Kesepakatan yang dicapai tidak hanya menyelesaikan masalah materi, tetapi juga memulihkan hubungan sosial, memperkuat solidaritas, dan memastikan semua pihak merasa adil. Hasil musyawarah biasanya diumumkan di hadapan komunitas sehingga memiliki legitimasi sosial dan moral.
Salah satu simbol penting dalam musyawarah Bajo adalah sirih pinang. Pemberian sirih pinang kepada pihak lain menjadi tanda persetujuan, rasa hormat, dan kesediaan berdamai. Simbol ini menegaskan nilai sosial dan moral dalam musyawarah serta memperkuat komitmen semua pihak untuk menjaga perdamaian.
Contoh nyata adalah sengketa batas laut antar nelayan, kerusakan perahu pinjaman, atau perselisihan keluarga terkait warisan dan pernikahan.
Musyawarah adat menekankan pemulihan hubungan sosial dan reputasi keluarga. Penyelesaian dilakukan secara adil tanpa permusuhan, melalui kompensasi sesuai kemampuan, gotong royong memperbaiki kerusakan, permintaan maaf, dan makan bersama.
Praktik ini memberikan pelajaran penting bagi mediasi pengadilan. Mediator dapat meniru tetua adat dengan lebih banyak mendengar dan memahami konteks sosial serta budaya.
Mediasi tidak hanya untuk menyelesaikan masalah materi, tetapi juga memulihkan hubungan dan membangun kepercayaan. Melibatkan komunitas sebagai saksi dan menggunakan simbol budaya dapat meningkatkan legitimasi dan membuat perdamaian lebih bertahan lama.
Musyawarah Bajo menekankan kesadaran moral dan solidaritas. Konflik dilihat sebagai persoalan sosial, bukan sekadar hukum.
Mediasi pengadilan lebih efektif jika menyesuaikan diri dengan budaya lokal dan norma sosial. Dengan cara ini, hasil mediasi sah secara hukum dan diterima secara sosial, menciptakan perdamaian yang lebih awet.
Hukum formal sering terjebak pada angka dan prosedur. Musyawarah Bajo menekankan harmoni sosial, tanggung jawab moral, dan pemulihan hubungan.
Mediasi pengadilan akan lebih bermakna jika meneladani cara musyawarah Bajo, sehingga perdamaian dirasakan nyata, hubungan diperkuat, dan komunitas tetap terjaga.
Dari pengalaman masyarakat Bajo, keadilan sejati hidup dalam budaya, musyawarah, dan komitmen sosial. Laut mengajarkan bahwa keadilan tercapai ketika semua pihak bisa kembali berlayar bersama dalam harmoni.
Sebagai penutup, musyawarah adat Bajo mengingatkan kita pada pepatah lokal "lapor kambing hilang, sapi ikut melayang".
Dalam konteks peradilan, pepatah ini menunjukkan risiko keputusan yang salah: tindakan yang terburu-buru atau kurang memahami budaya bisa merugikan semua pihak. Mediasi pengadilan perlu menggali kearifan lokal agar hasilnya adil, diterima sosial, dan tidak menimbulkan kerugian tambahan.
Referensi
Basri, H. & Rahayu, S. (2020). Penyelesaian Adat Kawin Hamil pada Masyarakat Suku Bajo. Jurnal Mores, Universitas Halu Oleo.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2016). Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Jakarta: MA RI