Meluruskan Konsep Pidana Mati dalam KUHP Baru

Dalam rancangan besar pembaruan KUHP, pidana mati ditempatkan bukan lagi sebagai pidana pokok, melainkan sebagai pidana khusus yang bersifat ultimum remedium.
Ilustrasi pidana mati. Foto ; freepik.com
Ilustrasi pidana mati. Foto ; freepik.com

Indonesia segera memasuki era baru dalam hukum pidana dengan diberlakukannya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru pada 2 Januari 2026. 

Salah satu isu penting yang memunculkan perdebatan filosofis, sosiologis, sekaligus yuridis adalah kedudukan pidana mati. Dalam rancangan besar pembaruan KUHP, pidana mati ditempatkan bukan lagi sebagai pidana pokok, melainkan sebagai pidana khusus yang bersifat ultimum remedium, sebagai jalan terakhir dalam melindungi masyarakat dari kejahatan paling serius.

Pasal 98 KUHP menegaskan bahwa pidana mati harus selalu diancamkan secara alternatif, berdampingan dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara waktu tertentu. 

Dengan demikian, pidana mati tidak boleh dipahami sebagai hukuman yang secara otomatis dijatuhkan, melainkan selalu berada dalam koridor kehati-hatian, proporsionalitas, dan perlindungan hak asasi manusia.

Namun Pasal 100 KUHP menentukan pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama sepuluh tahun, atau tanpa masa percobaan. Di sinilah pentingnya membedah konstruksi normatif dan implikasi praktis dari pengaturan tersebut.

Dengan Masa Percobaan atau Tanpa Masa Percobaan

Pasal 100 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama sepuluh tahun apabila terdapat alasan kemanusiaan, yakni:

  • adanya rasa penyesalan dari terdakwa dengan harapan masih dapat memperbaiki diri; atau
  • peran terdakwa dalam tindak pidana dinilai tidak terlalu dominan. Konstruksi norma ini membawa konsekuensi bahwa pidana mati tidak lagi bersifat tunggal, melainkan fleksibel sesuai dengan kondisi terdakwa. Apabila salah satu alasan tersebut terpenuhi, hakim wajib menjatuhkan pidana mati dengan percobaan. Sebaliknya, jika tidak ada satu pun alasan yang terpenuhi, pidana mati dapat dijatuhkan tanpa percobaan.

Hal ini diperkuat oleh pandangan Harkristuti Harkrisnowo, salah satu tim ahli perumus KUHP, yang menegaskan bahwa pidana mati dalam KUHP baru bukanlah bentuk penghukuman yang kaku. 

Menurut beliau, pengaturan masa percobaan adalah upaya untuk menyeimbangkan antara kebutuhan melindungi masyarakat dari tindak pidana yang paling serius dengan prinsip penghormatan terhadap hak hidup manusia sebagaimana disampaikan dalam pelatihan Training of Fasilitator Implementasi KUHP Angkatan VII (8–24 September 2025).

Dengan demikian, KUHP baru mengadopsi pendekatan yang lebih progresif: pidana mati bukan sekadar instrumen balas dendam negara, melainkan instrumen yang membuka ruang bagi keadilan korektif dan restoratif. 

Namun, apabila syarat yang ditentukan tidak terpenuhi, hakim berwenang menjatuhkan pidana mati secara langsung tanpa masa percobaan, sebagaimana halnya pemberlakuan dalam KUHP lama yang lebih menekankan sifat final dan eksekutorial pidana mati.

Secara Alternatif atau Komulatif

Polemik muncul dalam rumusan Pasal 100 KUHP karena syarat penjatuhan pidana mati dengan percobaan didesain secara alternatif. Artinya, cukup terpenuhinya salah satu syarat (huruf a atau huruf b), maka hakim sudah memiliki dasar untuk memberikan masa percobaan. 

Sebagai contoh, dalam kasus pembunuhan berencana dengan banyak korban, peran terdakwa jelas dominan sehingga syarat huruf b tidak terpenuhi.

Namun, apabila terdakwa menunjukkan penyesalan mendalam (huruf a), maka ia masih dapat dijatuhi pidana mati dengan percobaan. 

Sebaliknya, seorang pelaku yang perannya kecil dalam tindak pidana (huruf b) tetapi tidak menunjukkan penyesalan (huruf a), tetap dapat menerima pidana mati dengan percobaan.

Konstruksi alternatif ini dimaksudkan untuk memberikan fleksibilitas bagi hakim dalam menilai setiap perkara berdasarkan kondisi konkret. Akan tetapi, dalam perspektif keadilan, muncul pertanyaan mendasar: apakah syarat alternatif cukup untuk menjamin rasa keadilan, terutama bagi korban dan keluarganya?

Di sinilah letak kritik yang konstruktif. Idealnya, kedua syarat tersebut bersifat komulatif, bukan alternatif. Sebab, memberikan masa percobaan hanya berdasarkan salah satu syarat berpotensi menimbulkan ketidakpuasan publik dan dirasakan tidak proporsional terhadap penderitaan korban. 

Jika syarat dikomulatifkan, maka masa percobaan hanya diberikan kepada terpidana yang benar-benar menunjukkan penyesalan sekaligus memiliki peran yang tidak dominan. Dengan begitu, keadilan substantif akan lebih terjaga.

Penutup

Pengaturan pidana mati dalam KUHP baru menunjukkan adanya kompromi antara nilai kemanusiaan dan kepentingan sosial. 

Pidana mati tetap dipertahankan sebagai instrumen terakhir, tetapi diiringi dengan mekanisme percobaan sebagai bentuk penghormatan terhadap hak hidup kecuali tidak terpenuhinya syarat khusus Pasal 100 ayat (1) huruf a atau b KUHP. Fleksibilitas dalam Pasal 100 KUHP membuka ruang bagi hakim untuk menilai setiap perkara secara individual.

Namun demikian, konstruksi syarat yang bersifat alternatif dalam Pasal 100 ayat (1) KUHP tetap menyisakan ruang kritik. Apabila syarat itu dikomulatifkan, maka pidana mati dengan percobaan akan lebih tepat sasaran, hanya diberikan bagi terpidana yang benar-benar layak memperoleh kesempatan kedua. 

Dengan cara itu, keadilan substantif bagi korban dan masyarakat tetap terjaga, sekaligus memberi pesan bahwa hukum pidana Indonesia bergerak ke arah yang lebih manusiawi, tetapi tetap tegas terhadap kejahatan paling serius.