Presiden Prabowo Subianto mengumumkan kenaikan gaji hakim hingga 280%, sebuah komitmen politik yang patut diapresiasi.
Namun pertanyaannya: apakah ini sudah cukup? Ataukah kita masih memerlukan reformasi struktural yang lebih fundamental untuk memastikan Mahkamah Agung (MA) dan Badan Peradilan lainnya dapat menjalankan fungsinya tanpa "genggaman" keuangan dari cabang kekuasaan lain?
Kemandirian anggaran bukan sekedar isu administratif, ini adalah jantung dari prinsip pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang menjadi tulang punggung negara hukum demokratis. Seperti yang dikatakan Montesquieu: "Tidak ada kebebasan jika kekuasaan peradilan tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif."
Ketika peradilan bergantung pada eksekutif untuk anggarannya, independensi yang dijamin konstitusi menjadi ilusi.
Dalam Konteks tersebut diatas, penulis mencoba menganalisis kondisi sistem keuangan MA Indonesia saat ini, membandingkannya dengan standar ideal dan praktik internasional, serta mengeksplorasi komitmen politik hukum yang diperlukan untuk mewujudkan kemandirian anggaran yang sejati.
Antara Jargon Kemerdekaan dan Realitas Ketergantungan
Kerangka Hukum yang Paradoks
Konstitusi Indonesia menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman melalui Pasal 24 ayat (1) UUD 1945: "Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan." UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman lebih lanjut menegaskan bahwa pengadilan harus bebas dari campur tangan pihak luar.
Namun, dalam praktiknya, terdapat kontradiksi fundamental antara jaminan kemerdekaan peradilan dan mekanisme penganggaran yang justru menciptakan ketergantungan.
Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung dalam Pasal 81A ayat 1, hanya menyatakan bahwa "anggaran Mahkamah Agung dibebankan pada mata anggaran tersendiri dalam APBN" (), tanpa memberikan jaminan otonomi dalam penyusunan dan persetujuannya. Dan yang lebih problematis, UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara menempatkan MA dalam mekanisme yang sama dengan kementerian dan lembaga lainnya, di mana Menteri Keuangan memiliki kewenangan untuk "mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran" (Pasal 7 ayat 2 huruf b UU 1/2004).
Ini berarti eksekutif memiliki gatekeeper power, yaitu kemampuan untuk mengkaji ulang, memodifikasi, bahkan memangkas usulan anggaran peradilan sebelum disetujui DPR.
Angka yang Minim, Dampak yang Luas
Data anggaran MA dalam lima tahun terakhir menunjukkan pola yang mengkhawatirkan. Anggaran MA meningkat dari Rp8,3 triliun (2017) menjadi Rp11,9 triliun (2023), namun angka ini hanya mewakili 0,36% dari total APBN.
Sebagai perbandingan, Kepolisian RI menerima Rp117,4 triliun atau 3,5% APBN, hampir 10 kali lipat anggaran MA yang harus mengelola seluruh sistem peradilan nasional yang mencakup empat lingkungan peradilan yaitu peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, danperadilan tata usaha negara dengan ribuan pengadilan di seluruh nusantara.
Lebih ironis lagi, ketika pemerintah menerapkan kebijakan efisiensi anggaran pada 2025, MA merasakan dampak signifikan: tunjangan transportasi hakim hanya cukup untuk 6 bulan, sidang keliling (mobile courts) dibatasi, relokasi hakim tertunda, program pelatihan dipangkas, dan perjalanan dinas internasional dihapuskan sama sekali.
Ini bukan hanya soal kenyamanan, tetapi dampaknya langsung pada akses keadilan bagi masyarakat, terutama di daerah terpencil yang bergantung pada sidang keliling.
Kesejahteraan Hakim
Selama 12 tahun (2012-2024), gaji hakim tidak mengalami penyesuaian meskipun inflasi terus meningkat. Berdasarkan PP 94/2012, hakim pengadilan tingkat pertama kelas IA khusus menerima tunjangan jabatan Rp19,6 juta per bulan, naik dari Rp14 juta setelah revisi 2024.
Sementara hakim agung menerima Rp72,85 juta hingga Rp121,6 juta untuk Ketua MA. Meskipun terdengar memadai, banyak hakim masih menyewa rumah, kekurangan fasilitas keamanan, dan merasa kesejahteraan mereka tidak sebanding dengan tanggung jawab dan risiko profesi.
Stagnasi kesejahteraan ini berbahaya bukan hanya bagi moral hakim, tetapi juga membuka celah korupsi. Seperti yang ditekankan Presiden Prabowo: "Kita ingin hakim-hakim kita hidup baik, berkualitas hidup baik, terhormat, sehingga tidak bisa disuap... Hakim tidak boleh dibeli oleh siapa pun."
Komitmen kenaikan gaji 280% yang diumumkan pertengahan 2025 adalah langkah positif, namun persoalannya lebih dari sekedar nominal “tanpa kemandirian anggaran struktural, kesejahteraan hakim tetap rentan menjadi alat tawar politik”
Pelajaran dari Prinsip Internasional dan Praktik Komparatif
Prinsip Internasional tentang Kemandirian Anggaran Peradilan
Standar internasional secara konsisten mengakui kemandirian anggaran sebagai elemen esensial independensi peradilan. UN Basic Principles on the Independence of the Judiciary (1985), menegaskan kewajiban negara untuk "menyediakan sumber daya yang memadai agar peradilan dapat menjalankan fungsinya dengan baik" (Artikel 7).
Venice Commission dalam laporannya tahun 2010 lebih spesifik menyatakan bahwa peradilan harus didanai "secara stabil berdasarkan kriteria objektif dan transparan," dan keputusan alokasi dana "harus diambil dengan penghormatan penuh terhadap independensi peradilan."
Prinsip kuncinya adalah: peradilan harus berpartisipasi dalam penyusunan anggaran dan tidak boleh menghadapi pemotongan anggaran yang diskresioner sebagai bentuk tekanan politik. Venice Commission merekomendasikan keterlibatan dewan kehakiman (judicial council) sebagai perantara antara peradilan dan parlemen untuk melindungi dari manipulasi politik sekaligus menjaga akuntabilitas demokratis.
Model Philipina dan Afrika Selatan
Philipina memberikan contoh menarik dengan jaminan konstitusional yang eksplisit. Pasal VIII Ayat 2 Konstitusi Filipina menyatakan: "Kekuasaan kehakiman menikmati otonomi fiskal." Dan yang lebih penting, konstitusi melarang legislatif mengurangi anggaran di bawah tahun sebelumnya, dan setelah disetujui, dana "secara otomatis dan teratur dirilis."
Pada 2025, Presiden Ferdinand Marcos Jr. menandatangani Judiciary Fiscal Autonomy Act yang memperkuat otonomi dengan memungkinkan Mahkamah Agung menyampaikan anggaran langsung ke Kongres, dan Department of Budget Management harus melepaskan 1/12 dari total anggaran setiap bulan secara otomatis tanpa diskresi eksekutif.
Afrika Selatan sedang dalam transisi menuju independensi institusional penuh. Meskipun Pasal 165 Konstitusi menjamin independensi peradilan, secara historis anggaran dikelola melalui Departemen Kehakiman (eksekutif).
Namun pada 2025, pemerintahan Presiden Ramaphosa berkomitmen untuk memberikan independensi institusional dua tingkat. : (1) independensi individual hakim dalam memutus perkara (sudah tercapai), dan (2) independensi institusional dalam mengelola anggaran dan operasi (sedang direalisasikan). Office of Chief Justice dialokasikan R2,7 miliar dengan peningkatan 5,5%, dan Ketua Mahkamah Agung akan melapor langsung ke Parlemen tentang operasi dan anggaran mirip model Auditor General mempertahankan pengawasan demokratis tanpa mengorbankan independensi.
Belanda menawarkan model berbeda dengan Council for the Judiciary yang mengelola dan mendistribusikan anggaran peradilan menggunakan sistem performance-based budgeting yang canggih dengan perhitungan "biaya per kasus." Pendekatan berbasis formula ini memastikan alokasi sumber daya objektif sambil mempertahankan otonomi peradilan dalam manajemen internal.
Pelajaran Bagi Indonesia
Studi komparatif menunjukkan bahwa tidak ada satu model universal, tetapi ada elemen-elemen kunci yang konsisten:
- Jaminan konstitusional untuk otonomi anggaran,bukan hanya kemerdekaan peradilan secara umum;
- Penyampaian anggaran langsung ke parlemen tanpa filter eksekutif;
- Perlindungan terhadap pemotongan sebagai bentuk retaliasi politik
- Mekanisme pelepasan dana otomatis untuk mencegah diskresi eksekutif
- Dewan kehakiman atau mekanisme koordinasi untuk menyeimbangkan independensi dengan akuntabilitas
- Kriteria alokasi objektif dan transparan untuk mencegah arbitrariness
Indonesia memiliki beberapa elemen ini (anggaran terpisah dalam APBN), namun kehilangan komponen kritis: tidak ada jaminan konstitusional eksplisit untuk otonomi anggaran, tidak ada perlindungan dari modifikasi eksekutif, dan tidak ada mekanisme penyampaian langsung ke DPR.
Tantangan Mewujudkan Kemandirian Anggaran Mahkamah Agung.
Struktural-Legal
Tantangan pertama bersifat struktural-legal, Seperti dijelaskan sebelumnya, kerangka hukum keuangan negara (UU 17/2003 dan UU 1/2004) memperlakukan MA sebagai kementerian/lembaga biasa, memberikan Menteri Keuangan kewenangan untuk mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran. Ini menciptakan titik intervensi eksekutif yang secara inheren bertentangan dengan prinsip pemisahan kekuasaan. Selama kerangka hukum ini tidak diubah, kemandirian anggaran tetap akan menjadi wacana, bukan realitas.
Pada Oktober 2025, seorang advokat bernama Viktor Santoso Tandiasa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi, menantang konstitusionalitas pasal-pasal yang memungkinkan eksekutif memodifikasi anggaran peradilan.
Dia berargumen bahwa Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 yang menjamin "kekuasaan yang merdeka" harus diinterpretasikan sebagai mencakup otonomi anggaran, dan kewenangan Kementerian Keuangan hanya boleh bersifat "verifikasi kepatuhan administratif," bukan perubahan substansif. Keputusan MK dalam kasus ini dapat menjadi game-changer dengan menetapkan preseden konstitusional untuk otonomi anggaran.
Politik-Ekonomi
Tantangan kedua adalah politik-ekonomi. Dalam ruang fiskal yang terbatas dengan banyak prioritas bersaing, seperti pendidikan 20%, kesehatan, infrastruktur, pertahanan, peradilan seringkali dipandang sebagai overhead ketimbang investasi produktif. Seperti yang diamati oleh hakim/analis Ahmad Syahrus Sikti: "Keengganan aktor politik untuk memperjuangkan kemandirian anggaran peradilan adalah dosa kolektif." Diskusi anggaran peradilan menjadi "komoditas politik pragmatis" yang terfokus pada "penghidupan dan dompet aparatur peradilan" ketimbang prinsip konstitusional yang lebih besar.
Ada pula resistensi dari Kementerian Keuangan yang enggan melepaskan kewenangan. Kontrol anggaran memberikan leverage politik terhadap peradilan. Bentuk tekanan halus yang dapat digunakan tanpa harus melakukan intervensi langsung terhadap putusan pengadilan. Ini adalah apa yang oleh peneliti konstitusional disebut sebagai "korupsi negara melalui perencanaan anggaran". Merupakan bentuk korupsi judicial paling berbahaya karena bersifat sistemik.
Institusional-Kultural
Tantangan ketiga bersifat institusional-kultural. Meskipun "Sistem Satu Atap" diterapkan sejak 2004 yang memindahkan pengawasan administratif pengadilan dari departemen eksekutif ke MA, implementasinya belum memenuhi janji penuh dalam hal pengelolaan anggaran.
Seperti dianalisis oleh Indonesia at Melbourne: "Sistem Satu Atap... belum memenuhi janjinya" terkait manajemen anggaran, dan hakim "masih mengeluhkan kurangnya fasilitas yang memadai."
Lebih problematis adalah warisan korupsi yang merusak kepercayaan publik. Banyaknya hakim yang dihukum karena suap oleh KPK menciptakan keraguan politik untuk meningkatkan alokasi sumber daya tanpa reformasi akuntabilitas.
Peradilan memerlukan sumber daya memadai untuk berfungsi independen, namun politisi enggan memberikan sumber daya karena persepsi korupsi. Sementara korupsi itu sendiri sebagian diakibatkan oleh kesejahteraan yang tidak memadai dan ketergantungan finansial.
Kurangnya mobilisasi publik juga menjadi hambatan. Berbeda dengan isu pendidikan atau kesehatan yang menyentuh kehidupan sehari-hari, kemandirian anggaran peradilan adalah "isu yang lebih seksi yang luput dari perhatian kolektif kita," seperti yang diungkapkan Sikti. Tanpa tekanan publik yang kuat, momentum politik untuk reformasi struktural sulit dibangun.
Komitmen Politik Hukum yang Diperlukan
Komitmen Eksekutif
Komitmen Presiden Prabowo untuk menaikkan gaji hakim hingga 280% adalah langkah signifikan dan patut diapresiasi. Ini menunjukkan kesadaran eksekutif tentang pentingnya kesejahteraan hakim untuk integritas peradilan. Namun, komitmen ini harus diperluas melampaui penyesuaian gaji menuju reformasi structural. Pemerintah harus:
- Mendukung amandemen konstitusional untuk menambahkan jaminan eksplisit otonomi anggaran peradilan dalam Pasal 24 UUD 1945, termasuk kemungkinan alokasi persentase minimum dari APBN, misalnya 2% seperti yang diusulkan Ahmad Syahrus Sikti).
- Mengusulkan revisi UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara untuk mengecualikan lembaga peradilan dari mekanisme persetujuan Kementerian Keuangan, atau membatasi peran Kemenkeu pada verifikasi teknis-administratif tanpa kewenangan mengubah substansi alokasi.
- Membentuk atau memperkuat Dewan Kehakiman sebagai badan koordinasi yang mengkonsolidasikan kebutuhan anggaran dari seluruh tingkat peradilan dan menyampaikannya langsung ke DPR, mirip model Belanda atau rekomendasi Venice Commission.
DPR sebagai Guardian Pemisahan Kekuasaan
DPR memiliki peran krusial sebagai lembaga yang mengontrol power of the purse. Komitmen politik DPR diperlukan untuk :
- Memprioritaskan pembahasan RUU Otonomi Anggaran Peradilan yang memberikan kerangka hukum komprehensif mirip Judiciary Fiscal Autonomy Act Filipina, mengatur penyampaian anggaran langsung dari MA ke DPR, mekanisme pelepasan dana otomatis, dan perlindungan dari pemotongan anggaran sebagai bentuk tekanan politik.
- Menerapkan mekanisme budget hearing khusus di mana MA dapat mempresentasikan kebutuhan anggarannya langsung ke Komisi III tanpa filter Kementerian Keuangan terlebih dahulu, memungkinkan dialog substantif tentang kebutuhan peradilan.
- Menetapkan performance-based budgeting dengan indikator objektif yang dikembangkan bersama MA, memastikan akuntabilitas sambil melindungi otonomi dalam alokasi internal.
Namun, data menunjukkan kesenjangan antara retorika dan realitas. Meskipun Presiden Prabowo berkomitmen meningkatkan kesejahteraan hakim, anggaran MA untuk 2026 justru turun menjadi Rp10,87 triliun—penurunan yang dapat "berdampak pada pemenuhan hak dan fasilitas hakim" menurut Sekretaris MA. Ini mengungkapkan bahwa komitmen politik masih rapuh dan memerlukan pengawasan publik yang ketat
Akuntabilitas sebagai Prasyarat Otonomi
Peradilan sendiri harus menunjukkan komitmen melalui akuntabilitas dan transparansi. Otonomi anggaran bukan berarti kebebasan tanpa pengawasan, sebaliknya justru memerlukan standar akuntabilitas yang lebih tinggi. Maka oleh karena itu Mahkamah Agung harus:
- Mempublikasikan laporan keuangan dan kinerja secara berkala dengan detail yang memungkinkan pengawasan publik, termasuk breakdown alokasi anggaran per kategori, realisasi pengeluaran, dan indikator kinerja seperti tingkat penyelesaian perkara, waktu tunggu, dan akses keadilan.
- Mengembangkan sistem alokasi internal yang objektif dan transparan, menggunakan formula berbasis beban kerja (weighted caseload ) seperti di Finlandia atau biaya per kasus seperti di Belanda, memastikan distribusi sumber daya yang adil ke pengadilan di seluruh tingkat.
- Memperkuat mekanisme anti-korupsi internal melalui Badan Pengawasan MA dan kerja sama dengan Komisi Yudisial, menunjukkan bahwa peningkatan sumber daya tidak akan disalahgunakan.
MA telah menunjukkan kapasitas fiskal dengan mencapai 13 kali berturut-turut opini audit WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) dari BPK. Ini adalah aset yang harus dipertahankan dan diperkuat sebagai bukti bahwa peradilan layak mendapat kepercayaan dalam pengelolaan anggaran otonom.
Peran IKAHI dan Masyarakat Sipil
Gerakan cuti bersama hakim Oktober 2024 yang diorganisir oleh Hakim-Hakim Muda dan didukung oleh IKAHI menunjukkan bahwa hakim bersedia mengorganisir diri untuk memperjuangkan hak mereka.
Namun, energi ini harus ditransformasikan dari tuntutan kesejahteraan jangka pendek ke advokasi reformasi struktural jangka panjang. IKAHI, bersama organisasi masyarakat sipil seperti LeIP (Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan), ICW (Indonesia Corruption Watch), dan Transparency International Indonesia, harus:
- Mengkampanyekan pentingnya otonomi anggaran kepada publik dengan bahasa yang mudah dipahami, menjelaskan bagaimana ketergantungan anggaran mengancam keadilan bagi setiap warga negara.
- Melakukan monitoring dan advokasi legislatif untuk mendorong DPR membahas dan mengesahkan kerangka hukum otonomi anggaran.
- Mendorong judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk interpretasi konstitusional yang progresif tentang makna "kekuasaan yang merdeka" dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
- Membangun koalisi lintas sektor dengan akademisi, organisasi hukum, asosiasi pengacara, dan kelompok bisnis yang memiliki kepentingan pada peradilan yang independen untuk penegakan kontrak dan kepastian hukum.
Seperti yang ditekankan LeIP: "Negara Tidak Serius, Hakim Tidak Terurus". Kritik tajam yang menggaris bawahi bahwa persoalan ini bukan hanya tanggung jawab hakim, melainkan kegagalan kolektif sistem politik kita.
Kesimpulan
Indonesia berada di persimpangan jalan. Sistem Satu Atap 2004 mencapai otonomi administratif, tetapi setelah 21 tahun, otonomi anggaran masih menjadi janji yang belum terpenuhi.
Komitmen Presiden Prabowo untuk meningkatkan kesejahteraan hakim adalah angin segar, namun tanpa reformasi struktural, ini hanya solusi tambal sulam yang dapat dibalik oleh pemerintahan berikutnya.
Kemandirian anggaran bukan kemewahan administrative. Ini adalah prasyarat konstitusional untuk peradilan yang benar-benar merdeka Ketergantungan finansial terhadap eksekutif menciptakan kerentanan struktural yang dapat dieksploitasi untuk tekanan politik, merusak integritas pengadilan, dan pada akhirnya menggerogoti kepercayaan publik terhadap sistem hukum.
Rekomendasi
Jangka Pendek (1-2 tahun)
- MK memutuskan perkara atas nama Viktor Santoso Tandiasa dengan interpretasi progresif yang mengakui otonomi anggaran sebagai bagian integral dari Pasal 24 UUD 1945
- Revisi PP 94/2012 tidak hanya menaikkan gaji tetapi juga memasukkan mekanisme penyesuaian berkala berdasarkan inflasi dan indeks biaya hidup
- DPR Komisi III melakukan serial hearing khusus tentang otonomi anggaran peradilan dengan partisipasi MA, akademisi, dan masyarakat sipil
Jangka Menengah (3-5 tahun)
- Amandemen UUD 1945 Pasal 24 untuk menambahkan ayat yang secara eksplisit menjamin otonomi anggaran peradilan dengan kemungkinan alokasi persentase minimum (2% dari APBN)
- Pengesahan UU Otonomi Anggaran Peradilan yang mengatur: (a) penyampaian anggaran langsung MA ke DPR; (b) pelepasan dana otomatis bulanan; (c) pembatasan peran Kemenkeu pada verifikasi teknis; (d) larangan pemotongan anggaran sebagai bentuk tekanan politik
- Pembentukan atau penguatan Dewan Kehakiman sebagai badan koordinasi anggaran yang mewakili seluruh tingkat peradilan
Jangka Panjang (5-10 tahun)
- Implementasi penuh sistem performance-based budgeting dengan kriteria objektif dan transparan
- Budaya akuntabilitas peradilan yang kuat dengan pelaporan publik berkala dan audit independent
- Peningkatan kepercayaan publik terhadap peradilan melalui integritas yang terbukti dan akses keadilan yang lebih baik
Seperti yang dicatat oleh Komisi Venice: "Keputusan tentang alokasi dana harus diambil dengan penghormatan penuh terhadap independensi peradilan." Indonesia memiliki Blueprint Reformasi Peradilan 2010-2035 yang sudah mengidentifikasi kemandirian anggaran sebagai prioritas.
Adapun yang diperlukan sekarang adalah political will untuk mengimplementasikannya. Tanpa komitmen politik hukum yang sungguh-sungguh dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif, serta dukungan masyarakat sipil dan publik luas, kemandirian anggaran MA akan terus menjadi harapan yang tertunda.
Masa depan negara hukum Indonesia bergantung pada kemampuan kita untuk merealisasikan prinsip pemisahan kekuasaan yang sejati dan hal ini dimulai dengan memastikan bahwa cabang kekuasaan yang bertugas menegakkan hukum dan keadilan tidak bergantung pada cabang kekuasaan lain untuk kelangsungan hidupnya.
“Kemandirian anggaran MA bukan hanya soal uang. Adalah soal integritas sistem konstitusional kita.”
DAFTAR PUSTAKA
Peraturan Perundang-undangan
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara.
- Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
- Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
- Peraturan Pemerintah Nomor 90 Tahun 2010 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga.
- Peraturan Pemerintah Nomor 94 Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung.
- Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024 tentang Perubahan PP No. 94/2012.
Dokumen Pemerintah dan Lembaga Negara
- Mahkamah Agung RI. “Blueprint Reformasi Peradilan 2010-2035”. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2010.
- Mahkamah Agung RI.”Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2021”. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2022.
- Mahkamah Agung RI.”Laporan Tahunan Mahkamah Agung 2023”. Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2024.
- Kementerian Keuangan RI. “Nota Keuangan dan APBN 2024”. Jakarta: Kemenkeu RI, 2023.
- Mahkamah Konstitusi RI. Perkara Nomor 189/PUU-XXIII/2025, Pemohon Viktor Santoso Tandiasa. Jakarta: MK RI, 2025.
Standar dan Laporan Internasional
- United Nations. “Basic Principles on the Independence of the Judiciary”. Adopted by UN General Assembly resolutions 40/32 and 40/146, 1985.
- European Commission for Democracy through Law (Venice Commission). “Report on the Independence of the Judicial System Part I: The Independence of Judges”, CDL-AD(2010)004. Strasbourg: Council of Europe, 2010.
- Consultative Council of European Judges (CCJE). “Opinion No. 2 on the Funding and Management of Courts”. Strasbourg: Council of Europe, 2001.
- European Network of Councils for the Judiciary (ENCJ). “Report on Funding the Judiciary”. Brussels: ENCJ, 2015-2016.
- World Bank. *JUPITER: Justice Sector Performance, Integrity, Transparency, and Effectiveness Resource Guide*. Washington DC: World Bank, 2023.
Literatur Akademik dan Kajian
- Anis, M. "Kemandirian Peradilan dari Perspektif Anggaran." Jurnal Hukum dan Peradilan* 3, no. 2 (2014): 175-190.
- Douglas, James W., and Roger E. Hartley. "The Politics of Court Budgeting in the States: Is Judicial Independence Threatened by the Budgetary Process?" Public Administration Review* 63, no. 4 (2003): 441-454.
- Ferguson, William Scott. "Judicial Financial Autonomy and the Inherent Power Doctrine." *Cornell Law Review” 57 (1972): 975-1001.
- Lindsey, Tim, and Simon Butt. "Indonesian Judicial Reform: 20 Years On." Indonesia at Melbourne, University of Melbourne. Diakses November 2025.
- Pompe, Sebastian. *The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapse”. Ithaca: Cornell Southeast Asia Program Publications, 2005.
- Rositawati, Dian. “One Roof System and the Independence of the Judiciary in Indonesia: A Socio-Legal Study”. PhD dissertation, Tilburg University, 2019.
- Viapiana, Marta Franch. "Funding the Judiciary: How the Budgeting System Shapes Justice." Comparative study of Finland, France, Netherlands. European judicial reform research, 2018-2019.
Artikel Media dan Opini
- Achmad Setyo Pudjoharsoyo,-“Status dan Peningkatan Kesejahteraan Hakim di Indonesia.” Disampaikan dalam Webinar: Status dan Kesejahteraan Hakim - Perbandingan Indonesia-Italia dan Negara-Negara Lain, yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial Republik Indonesia.Jakarta , Selasa 30 September 2025
- Sikti, Ahmad Syahrus. "Kemandirian Anggaran Peradilan: Prasyarat Kemandirian Kekuasaan Kehakiman." Kompas.id, 15 Agustus 2022.
- "Presiden Prabowo Naikkan Gaji Hakim hingga 280 Persen." Kompas.com, 20 Oktober 2025.
- "1.600 Hakim Ambil Cuti Bersama, Tuntut Kesejahteraan." Tempo.co, 8 Oktober 2024.
- "MA: Anggaran 2026 Turun, Berdampak pada Hak Hakim." *Hukumonline.com*, 9 Juli
2025.
Laporan Organisasi Masyarakat Sipil
- Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP). “Negara Tidak Serius, Hakim Tidak Terurus: Pernyataan Sikap tentang Gerakan Cuti Bersama Hakim”. Jakarta: LeIP, 27 September 2024.
- Transparency International Indonesia. “Portrait Survey of Public Trust in Court Institutions”. Jakarta: TI Indonesia, 2024.
- Indonesia Corruption Watch (ICW). “Annual Report on Judicial Corruption”. Jakarta: ICW, 2024.
- Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI). Pernyataan Sikap tentang Kesejahteraan Hakim dan Kemandirian Peradilan. Jakarta: IKAHI, 2024.
Sumber Daring
- Mahkamah Agung RI: https://mahkamahagung.go.id
- Mahkamah Konstitusi RI: https://mkri.id
- Kementerian Keuangan RI: https://kemenkeu.go.id
- DPR RI Komisi III: https://www.dpr.go.id/akd/index/id/komisi-iii
- Venice Commission: https://venice.coe.int
- United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) - Judicial Integrity: https://unodc.org/ji





