Membedah Dualitas Locus Standi Penghentian Penyelidikan dan Penyidikan Serta Korelasinya Terhadap Objek Praperadilan

Penyelidikan mendahului Penyidikan. Penyelidikan adalah pintu gerbang, yang menentukan apakah suatu peristiwa akan diproses lebih lanjut.
Ilustrasi KUHAP. Foto ylbhi.or.id/
Ilustrasi KUHAP. Foto ylbhi.or.id/

Penghentian Penyelidikan dan Penyidikan, keduanya mengakhiri proses penanganan suatu perkara pidana di tahap awal. 

Adanya kesamaan ini berimplikasi terhadap sebuah pertanyaan mendasar, apakah proses penyelidikan merupakan bagian daripada proses penyidikan? apakah proses penghentian penyelidikan dapat dipersamakan dengan penghentian penyidikan dan oleh karenanya merupakan objek yang dapat diuji melalui praperadilan?

Penyelidikan dan Penyidikan, Dua Tahap Yang Berbeda

Sebelum menguraikan mengenai penghentian penyelidikan dan penghentian penyidikan, Penulis akan menguraikan terlebih dahulu apa itu penyelidikan dan penyidikan.

Yang dimaksud dengan Penyelidikan adalah serangkaian tindakan Penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. 

Penyelidikan dilakukan sebelum adanya Penyidikan. Penyelidikan berfungsi untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi, serta bertugas membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan Penyidikan sebagaimana dijelaskan di dalam Pasal 5 KUHAP

Sedangkan yang dimaksud dengan Penyidikan, adalah serangkaian tindakan Penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya sebagaimana dijelaskan KUHAP

Bahwa berdasarkan definisi tersebut, yakni Penyelidikan dan Penyidikan adalah dua tahap dan proses yang berbeda. Singkatnya, Penyelidikan mendahului Penyidikan. Penyelidikan adalah pintu gerbang, yang menentukan apakah suatu peristiwa akan diproses lebih lanjut. 

Begitu suatu peristiwa ditetapkan statusnya menjadi sebuah peristiwa pidana, tahap beralih menjadi penyidikan untuk mencari alat bukti, menemukan pelaku, menetapkannya sebagai Tersangka, dan melakukan upaya paksa yang diperlukan. 

Keduanya adalah tahap yang berbeda dengan tujuan, wewenang, dan hasil yang berbeda pula.

Perbedaan Norma Antara Penghentian Penyelidikan dan Penghentian Penyidikan

Setelah mengetahui perbedaan prinsipil mengenai tahap penyelidikan dan penyidikan, selanjutnya wajib memahami, apakah proses penghentian penyelidikan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan penghentian penyidikan, dan selanjutnya merupakan objek praperadilan? 

Namun yang paling utama, penulis akan paparkan terlebih dahulu apa saja yang menjadi objek daripada praperadilan.

Pranata praperadilan tertulis secara tegas dan jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu pada Pasal 1 Angka 10 jo Pasal 77 jo Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP sebagai berikut :

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 yakni “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  • Sah tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  • Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan, demi tegaknya hukum dan keadilan;
  • Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.” 

Berdasarkan Pasal 77 KUHAP yakni “Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

  • sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  • ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”

Kemudian, Pasal 82 ayat (1) huruf b ayat (1), menerangkan “Acara pemeriksaan praperadilan untuk hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80 dan Pasal 81 ditentukan sebagai berikut:

  • dst.
  • dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, hakim mendengar keterangan baik dan tersangka atau pemohon maupun dan pejabat yang berwenang;”

Setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, maka lembaga praperadilan mengalami perluasan kewenangan.

Sejalan pula dengan pandangan Mahkamah Agung RI yang menyatakan secara limitatif kewenangan Praperadilan sebagaimana termuat dalam Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan dalam Empat Lingkungan Peradilan (Buku II Edisi 2007, Mahkamah Agung RI), yakni disebutkan “Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus:

  • Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan;
  • Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
  • Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan (Pasal 1 butir 10 jo Pasal 77 KUHAP); 
  • Sah atau tidaknya penyitaan barang bukti (Pasal 82 ayat 1 huruf b KUHAP)”

Selaras dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Putusan Praperadilan yang menjelaskan bahwa objek Praperadilan adalah:

  • sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan, penetapan tersangka, penyitaan dan penggeledahan;
  • ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan;

Maka, Penulis mempunyai kesimpulan, Penghentian Penyelidikan tidak diatur secara normatif di dalam seluruh aturan yang mengatur mengenai pranata peradilan, dan bukan merupakan objek daripada praperadilan.

Selanjutnya, perbedaan norma antara penghentian penyidikan dan penghentian penyelidikan sudah pernah diuji dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 53/PUU-XIX/2021 juncto Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor 9/PUU-VII/2019, hal tersebut memberi penegasan secara fundamental.

Berdasarkan ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 53/PUU-XIX/2021 tentang Penghentian Penyelidikan sebagai Objek Praperadilan menyebutkan Mahkamah Konstitusi telah mempertimbangkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 9/PUU-XVII/2019 dengan pertimbangan yang pada pokoknya sebagai berikut, yakni tahap penyelidikan belum ada kepastian ditemukannya peristiwa pidana yang dapat ditindaklanjuti dengan penyidikan, karena hal tersebut sangat tergantung pada ditemukannya bukti yang cukup suatu perbuatan adalah peristiwa atau perbuatan pidana. 

Dikarenakan belum ditemukan adanya peristiwa pidana, maka tidak ada proses pro justitia yang di dalamnya dapat melekat kewenangan Penyidik untuk menindaklanjuti penyelidikan tersebut, baik berupa upaya paksa yang berimplikasi pada perampasan kemerdekaan orang atau benda/barang 

Maka, esensi untuk melakukan pengawasan terhadap aparat penegak hukum agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang, belum beralasan untuk diterapkan, mengingat salah satu instrumen hukum untuk dapat dijadikan sebagai alat kontrol atau pengawasan adalah lembaga praperadilan. 

Sementara itu, dalam tahap penyidikan telah dimulai adanya penegakan hukum yang berdampak adanya upaya-upaya paksa, berupa perampasan kemerdekaan terhadap orang atau benda/barang dan sejak tahap itulah sesungguhnya perlindungan hukum atas hak asasi manusia sudah relevan diberikan;

Lebih jauh, bilamana dikaitkan dengan sejarah yang melatarbelakangi dibentuknya lembaga praperadilan, guna memberikan pengawasan atau kontrol atas tindakan pejabat penegak hukum sebelum adanya proses peradilan agar tidak melakukan tindakan sewenang-wenang. 

Selain itu, esensi lain yang harus dipertimbangkan adalah pengawasan tersebut  bertujuan memberikan perlindungan hukum atas hak asasi manusia.

Maka, sejalan dengan tujuan praperadilan, yakni baru dapat bekerja, setelah adanya tindakan upaya paksa yang berimplikasi perampasan kemerdekaan dan baru dimulai saat penyidikan

KUHAP, juga secara tegas memisahkan tindakan penyelidikan dengan penyidikan maka konsekuensi logisnya, tidak akan dibenarkan adanya upaya paksa dan perampasan kemerdekaan terhadap benda/barang dalam tindakan penyelidikan, sehingga konsekuensi yuridisnya yakni penyelidikan tidak ada relevansinya untuk dilakukan pengujian melalui pranata praperadilan.

Upaya Yang Dapat Dilakukan Jika Suatu Proses Penyelidikan Dihentikan

Di atas, sudah ditegaskan garis demarkasi, perbedaan mendasar antara penghentian penyelidikan dan penghentian penyidikan. Selanjutnya akan penulis jelaskan, langkah hukum yang seharusnya dilakukan, bilamana suatu proses penyelidikan dihentikan statusnya.

Adapun jika suatu proses penyelidikan dihentikan, upaya yang dapat dilakukan sesuai Pasal 9 ayat (3) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Tentang Penyidikan Tindak Pidana yang menyebutkan “Dalam hal atasan penyidik menerima keberatan dari pelapor atas penghentian penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dilakukan gelar perkara untuk menentukan kegiatan penyelidikan dapat atau tidaknya ditingkatkan ke tahap penyidikan.”

Selanjutnya, berdasarkan Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor : SE/7/VII/2018 tentang Penghentian Penyelidikan menegaskan “Apabila Pelapor maupun Penyelidik menemukan fakta dan bukti baru (novum), maka penyelidikan dapat dibuka kembali melalui mekanisme gelar perkara dengan menerbitkan Surat Perintah Penyelidikan lanjutan.”

Maka menurut hemat Penulis, jika terjadi suatu proses penghentian penyelidikan yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang, Pelapor dapat menyampaikan keberatan kepada atasan Penyidik atas penghentian tersebut.

Bilamana, pelapor menemukan fakta atau bukti baru, maka dapat dilakukan gelar perkara kembali dengan menerbitkan surat perintah penyelidikan lanjutan, untuk menentukan kegiatan penyelidikan ini dapat atau tidak ditingkatkan ke tahap penyidikan, bukan diuji melalui lembaga praperadilan.