Menafsirkan Pengamatan Hakim Sebagai Alat Bukti Dalam KUHAP Baru

Menurut penulis, "pengamatan hakim" dapat mendukung prinsip keadilan restoratif yang ditekankan di KUHAP Baru.
Ilustrasi KUHAP | Foto : Freepik
Ilustrasi KUHAP | Foto : Freepik

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru membawa beberapa perubahan signifikan dalam pembuktian perkara pidana. Salah satu perubahan tersebut terletak pada pengaturan daftar alat bukti, yaitu diperkenalkannya “pengamatan hakim” sebagai alat bukti resmi. Hal ini diatur dalam Pasal 235 ayat (1) huruf g KUHAP Baru, yang menyatakan bahwa alat bukti terdiri atas pengamatan hakim, di samping keterangan saksi, ahli, surat, keterangan terdakwa, barang bukti, bukti elektronik, dan hal-hal lain yang diperoleh secara sah.

Perubahan ini mencerminkan upaya modernisasi hukum acara pidana untuk lebih adaptif dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan keadilan, sebagaimana tercantum dalam draft Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP Lama), alat bukti diatur dalam Pasal 184 ayat (1), yang mencakup keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. "Petunjuk" sering ditafsirkan sebagai elemen pendukung yang membantu hakim menyimpulkan fakta, seperti keadaan sekitar kejadian, sikap terdakwa, atau hubungan antar-bukti. Namun, di KUHAP Baru, "petunjuk" sebagai alat bukti mandiri dihilangkan dan digantikan dengan pendekatan yang lebih spesifik, termasuk "pengamatan hakim".

Pada dasarnya, "petunjuk" sebagai alat bukti pada KUHAP Lama sering ditafsirkan sebagai unsur pendukung yang membantu hakim menyimpulkan fakta, sehingga menjadi pertanyaan apakah eksistensi "pengamatan hakim" sebagai alat bukti pada Pasal 235 ayat (1) huruf g KUHAP Baru dapat dipahami atau disamakan dengan "petunjuk" sebagai alat bukti di KUHAP Lama.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu perlu diketahui apa yang dimaksud dengan "pengamatan".  Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “pengamatan” diartikan sebagai bentuk pengawasan (kegiatan, keadaan) orang lain, perbuatan mengamati dengan penuh. Penulis menafsirkan "pengamatan hakim" sebagai bentuk kegiatan observasi langsung oleh hakim selama persidangan.

Hal ini dapat mencakup pengamatan terhadap perilaku terdakwa, ekspresi saksi, atau kondisi barang bukti yang disajikan di sidang. Tujuannya adalah memberikan hakim wewenang untuk menggunakan indera dan penilaian pribadi sebagai dasar pembuktian, asal tidak melawan hukum, membuat proses sidang lebih dinamis di mana hakim bukan hanya pendengar pasif, tapi juga pengamat aktif.

Kemudian muncul pertanyaan, apakah "pengamatan hakim" dapat disamakan dengan "petunjuk" di KUHAP Lama. Menurut penulis, secara konseptual, terdapat kemiripan. "Petunjuk", sebagai alat bukti di Pasal 184 ayat (1) huruf d KUHAP Lama, sering kali bersifat inferensial, yakni kesimpulan dari fakta-fakta tidak langsung, seperti jejak kaki yang menunjukkan keberadaan pelaku. "Pengamatan hakim" pun bersifat inferensial, karena hakim bisa menyimpulkan dari apa yang dilihatnya, misalnya kegugupan terdakwa saat diinterogasi, yang bisa menjadi indikasi kebenaran keterangan saksi.

Namun, ada perbedaan mendasar. Menurut penulis, "petunjuk" sebagai alat bukti di KUHAP Lama memiliki makna lebih luas dan bisa berasal dari luar sidang, sementara "pengamatan hakim" sebagai alat bukti di KUHAP Baru terbatas pada apa yang diamati langsung di persidangan, menekankan prinsip pendekatan langsung. Menurut Prof. Edward Omar Sharif Hiariej, "pengamatan hakim" menggatikan "petunjuk" karena tidak ada KUHAP di dunia yang menjadikan petunjuk sebagai alat bukti. Beliau juga setuju dengan penambahan aturan ini karena "pengamatan hakim" sudah menjadi alat bukti di beberapa negara, sehingga memperkuat keyakinan hakim dalam memutus perkara. Pendapat ini menekankan bahwa perubahan ini selaras dengan standar internasional, memperluas ruang bagi hakim untuk menguatkan keyakinannya berdasarkan observasi langsung.

Pendapat serupa juga disampaikan oleh M. Yahya Harahap. Yahya Harahap menjelaskan bahwa "petunjuk" di KUHAP Lama adalah perbuatan, kejadian, atau keadaan yang menandakan terjadinya tindak pidana, yang hanya dapat diperoleh dari alat bukti lain seperti keterangan saksi atau surat, dan dinilai oleh hakim secara arif bijaksana. Menurut Yahya Harahap, "petunjuk" bersifat rumit dalam praktik, tapi penting untuk mencapai keyakinan hakim, dan pengabaiannya bisa membatalkan putusan.

Sementara itu, Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung, Dr. Prim Haryadi, S.H., M.H., dalam agenda sosialisasi RUU KUHAP menekankan perlunya penyesuaian substansi KUHAP dengan KUHP baru, termasuk pengaturan komprehensif untuk pertimbangan hakim seperti judicial pardon. Beliau menyoroti bahwa reformulasi KUHAP bukan lagi pilihan, tapi keharusan untuk mendukung sistem pemidanaan double track dan perlindungan hak asasi manusia, di mana "pengamatan hakim" dapat menjadi alat untuk mencapai keadilan substantif tanpa subjektivitas berlebih. Pendapat ini menggarisbawahi pentingnya akuntabilitas dalam penggunaan "pengamatan hakim."

Selain itu, menurut penulis, "pengamatan hakim" dapat mendukung prinsip keadilan restoratif yang ditekankan di KUHAP Baru. Hakim bisa mengamati interaksi antara korban dan terdakwa, membantu menilai potensi rekonsiliasi. Hal ini mirip dengan bagaimana 'petunjuk' di KUHAP Lama digunakan untuk mengonfirmasi motif atau keadaan meringankan, tapi kini lebih terstruktur dan terfokus pada sidang.

Tantangan dalam penerapan "pengamatan hakim" sebagai alat bukti adalah subjektivitasnya. Seperti petunjuk, ini bergantung pada persepsi hakim, yang bisa dipengaruhi bias pribadi. Namun, menurut penulis, KUHAP Baru telah mengantisipasi hal ini dengan mensyaratkan bahwa semua alat bukti harus memiliki nilai autentik dan diperoleh secara sah (Pasal 235 ayat 3-5), termasuk pengamatan yang harus didasarkan pada fakta objektif, bukan asumsi semata.

Penghapusan "petunjuk" di KUHAP Baru bukan berarti melemahkan pembuktian, tapi justru memperkuatnya dengan mengintegrasikan elemen petunjuk ke dalam alat bukti lain, seperti "pengamatan hakim." Ini selaras dengan tren hukum internasional, di mana observasi judicial diakui sebagai bagian dari fair trial, seperti dalam sistem common law di mana hakim bisa menilai demeanor saksi.

Sebagai penutup, kehadiran "pengamatan hakim" sebagai alat bukti dalam Pasal 235 ayat (1) huruf g dapat memperluas nilai pembuktian bagi hakim, sehingga meningkatkan dan membuat sistem persidangan pidana yang lebih efisien dan adil.

Referensi:
Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Naskah Final Paripurna)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Yahya, M. Yahya. 2003. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika.

Hukum Online, Pengamatan Hakim Jadi Alat Bukti Di KUHAP Baru, Perluas Ruang Penguatan Keyakinan Hakim, diakses dari https://www.hukumonline.com/ berita/a/pengamatan-hakim-jadi-alat-bukti-di-kuhap-baru--perluas-ruang-penguatan-keyakinan-hakim-lt692eabc6ca239
 

Penulis: Rafi Muhammad Ave
Editor: Tim MariNews