Perkembangan Artificial Intelligence (AI) telah mengubah cara manusia bekerja, mengambil keputusan, dan bahkan memengaruhi sektor hukum dan pemerintahan.
Di Indonesia penggunaan AI, telah merambah berbagai bidang, namun seiring dengan manfaat yang ditawarkan muncul pula pertanyaan krusial. siapa yang bertanggung jawab, ketika AI menimbulkan kerugian atau pelanggaran hukum?
Pesatnya kemajuan teknologi merupakan suatu keniscayaan bagi umat manusia. Saat ini, kehidupan manusia berdampingan erat dengan pemanfaatan teknologi dalam berbagai sektor.
Salah satu bentuk kemajuan teknologi yang masih menjadi topik hangat di kalangan masyarakat, adalah munculnya teknologi Artificial Intelligence atau biasa disebut dengan AI.
AI merupakan sebuah program komputer yang mampu memberikan kemampuan kepada mesin, untuk berfungsi meniru kecerdasan manusia, seperti mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan melakukan prediksi.
Hal ini dikarenakan, AI dapat memiliki kemampuan yang hampir setara dengan manusia, teknologi ini sering disebut sebagai kecerdasan eksternal atau external intelligence.
Terdapat tiga kriteria suatu program komputer dapat dikatakan sebagai AI, yaitu Acting Humanly, Thinking Humanly dan Thinking rationally, sehingga dari tiga kriteria akan menciptakan aksi rasional.
Adapun program komputer yang terkoneksi AI, akan mempelajari bagaimana manusia bertindak dalam situasi tertentu dengan batasan spesifik, dan kemudian menentukan metode yang efisien dan efektif.
AI yang berpikir secara rasional, akan mencatat interaksi dengan lingkungan berdasarkan kondisi, faktor lingkungan, dan data yang tersedia. Sebagai hasilnya, AI membentuk dasar dan melakukan negosiasi untuk mencapai tujuan dan menyelesaikan masalah.
Salah satu pertanyaan yang kerap muncul dalam menanggapi eksistensi AI adalah apakah AI seharusnya dipandang sebagai subjek hukum atau hanya sebagai objek hukum?
Jika merujuk hukum positif yang berlaku di Indonesia, AI masih diklasifikasikan sebagai objek hukum, bukan subjek hukum. Namun, memunculkan pertanyaan lanjutan mengenai kapasitas AI untuk bertindak secara mandiri, apakah masih layak jika AI hanya dianggap sebagai objek semata?
Di Indonesia, regulasi yang berkaitan dengan kecerdasan buatan (AI) diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 yang merupakan perubahan atas Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang dikenal sebagai UU ITE.
UU ini hadir sebagai bentuk kepastian hukum dalam menghadapi permasalahan di bidang teknologi. Namun, permasalahan muncul karena UU ITE belum memberikan definisi yang tegas mengenai AI, sehingga muncul berbagai penafsiran terkait keberadaan AI dalam konteks hukum tersebut.
Dilihat dari karakteristiknya, AI dikategorikan sebagai sistem elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 5 UU ITE. Mengingat AI beroperasi lewat proses pengumpulan dan pengolahan data.
Selain itu, AI juga bisa dianggap sebagai agen elektronik berdasarkan Pasal 1 angka 8 UU ITE, karena mampu bertindak secara otomatis atas instruksi manusia.
Mengenai frasa tanggung jawab akan dibebankan kepada pemilik atau operator AI, secara langsung pemilik atau operator AI disebut sebagai agen elektronik.
AI juga dapat dianalisis dalam perspektif Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). KUHPerdata secara tidak langsung memberikan opsi bahwa AI dapat dianalogikan sebagai pekerja.
Berdasarkan ketentuan tersebut, AI dapat dianalogikan sebagai pekerja dengan melihat karakteristik sistem AI. Penggunaan AI dalam kehidupan sehari-hari membantu tugas-tugas yang biasanya dilakukan manusia, membuat AI semakin menyerupai pekerja.
Bilamana AI dianalogikan sebagai pekerja, tanggung jawab atas kelalaian atau kesalahan AI, dapat dibebankan kepada pemilik AI sebagai pemberi kerja. Jika AI adalah seorang pekerja, maka AI memiliki hubungan hukum dengan pemberi kerja dan bertanggung jawab kepada majikannya, seandainya melanggar hukum.
Berdasarkan peraturan hukum tersebut, AI bukanlah sebagai subjek hukum melainkan hanya sebagai objek hukum, yang mana dalam pengoperasiannya masih membutuhkan bantuan manusia atau digerakkan oleh manusia.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Sistem dan Transaksi Elektronik, dikatakan bahwa yang menjadi penanggung jawab sebagai subjek hukum dalam penyelenggaraan sistem elektronik, adalah penyelenggaraanya atau manusianya, kecuali apabila ada di dalam kondisi tertentu atau force majeure.
Dengan demikian AI tidak dapat dikatakan sebagai subjek hukum, sehingga juga berbeda dengan badan hukum. Sejatinya badan hukum itu adalah realitas sesungguhnya suatu sifat dan kepribadian alam dari manusia dalam pergaulan hukumnya.
Badan hukum memiliki kemandirian dalam bertindak dan membuat kebijakan, sehingga memiliki hak dan kewajiban sebagai subjek hukum. Sementara AI tidak dapat disamakan dengan badan hukum, karena dalam kondisi bergeraknya masih membutuhkan manusia dan juga dapat berpotensi melakukan kesalahan.
Sementara untuk dapat dikatakan sebagai subjek hukum, harus dapat melakukan perbuatan hukum. Kemampuan yang dimiliki AI tidak hanya mumpuni di bidang bahasa, namun juga dapat diterapkan di bidang hukum.
Salah satu contohnya AI yang berhasil dikembangkan oleh negara Tiongkok, kecerdasan buatan hakim pada 2017. Hakim kecerdasan buatan, mampu mengadili kasus seperti hakim sesungguhnya, meski terbatas pada sengketa hak cipta, sengketa klaim liabilitas produk e-commerce, dan sengketa jual beli online.
Selain profesi hakim, AI di bidang hukum juga diterapkan pada profesi advokat yang melakukan pekerjaan bantuan hukum. Di Inggris, ada pemberian bantuan hukum, yakni hadirnya obrolan DoNotPay, karena telah melayani lebih dari 1.000 bantuan hukum.
Hal itu menunjukkan bahwa lebih dari 160.000 orang telah dibantu oleh AI dalam menyelesaikan masalah hukum. Berdasarkan kemampuan melakukan tindakan membantu atau menggantikan pekerjaan manusia, AI layak dikategorikan sebagai subjek hukum.
Apalagi AI melakukan perbuatan hukum, tentu saja dikenakan tanggung jawab hukum. Kedudukan AI seharusnya disamakan dengan manusia dan badan hukum (korporasi) sebagai pengemban hak dan kewajiban.
Penempatan AI sebagai subjek hukum, masih menjadi tantangan bagi pemerintah dan pembuat undang-undang. Hal ini menjadi penting, karena AI elemen kehidupan masyarakat.
AI yang diciptakan membantu pekerjaan manusia, dan pada akhirnya dapat menggantikan pekerjaan manusia, tentunya harus melayani kepentingan manusia. Walaupun kecerdasan buatan memiliki keunggulan, dibandingkan manusia dalam melakukan pekerjaan, bukan berarti kecerdasan buatan tidak memiliki kelemahan dalam pengoperasiannya.
AI tidak dapat mengambil alih semua aktivitas secara langsung dalam profesi hukum manusia. AI tidak hanya menyumbangkan kepastian hukum, dan dalam sengketa hukum selalu penuh perdebatan antara kepastian, keadilan dan kemanfaatan.
Keadilan tidak ada hubungannya dengan algoritma, tetapi simpati, kepedulian terhadap standar manusia, dan pandangan serius terhadap fakta. Untuk mendekatkan hukum pada keadilan, harus ada manusia yang berprofesi hati nurani, berintegritas, dan bijak hukum
Ketentuan mengenai hak dan kewajiban AI, harus diatur oleh norma hukum. AI tidak bisa disamakan dengan manusia secara keseluruhan, karena AI tidak memiliki sifat manusia seperti manusia. Namun, AI disamakan dengan status hukum yang sama dinyatakan sebagai subjek hukum.
AI membawa kemampuan program komputer, untuk lakukan perbuatan hukum. Sehingga AI mampu berperan sebagai pembawa hak dan kewajiban. Pertanggungjawaban hukum atas perbuatan AI, memang perlu dikaji secara mendalam.
Walaupun AI memiliki kedudukan sebagai subjek hukum, namun pertanggungjawaban terhadap perbuatan hukum yang dilakukan oleh AI harus jelas dan memiliki kepastian hukum.
Sehubungan dengan pertanggungjawaban pidana atas AI, ketika melakukan tindak pidana, maka perlu dibicarakan pertanggungjawaban pidana terlebih dahulu. Konsep pertanggungjawaban pidana sebenarnya tidak hanya menyangkut masalah hukum, tetapi juga menyangkut masalah nilai-nilai moral atau kesusilaan umum yang dianut oleh suatu organisasi, komunitas atau kelompok dalam masyarakat.
Hal ini, dilakukan agar pertanggungjawaban pidana tercapai. dengan memenuhi keadilan. Pertanggungjawaban pidana merupakan suatu bentuk penentuan, apakah tersangka atau terdakwa dimintai pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana yang terjadi? Dengan kata lain, pertanggungjawaban pidana merupakan bentuk yang menentukan apakah seseorang dipidana atau tidak.
Mengingat asas pertanggungjawaban dalam hukum pidana, yaitu (geen straf zonder schuld, actus non facit reum nisi mens sit rea) suatu tindak pidana tidak berlaku, jika tidak ada kesalahan. Perlu diketahui subjek hukum pidana yang berlaku di Indonesia, adalah orang dan sesuai dengan perluasan subjek hukum pidana, maka badan hukum (korporasi) dapat menjadi subjek hukum pidana di Indonesia.
Peraturan mengenai AI di Indonesia, belum diatur dan dibentuk secara khusus, oleh karena itu diperlukan interpretasi untuk menentukan apakah AI merupakan subjek hukum atau tidak di Indonesia.
Berdasarkan teori pertanggungjawaban pidana, jelas bahwa pertanggungjawaban pidana selalu dikaitkan dengan unsur mens rea seseorang. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, mens rea hanya dimiliki oleh manusia. Seseorang dapat dihukum, jika ia memiliki pikiran yang bersalah dan sebaliknya seseorang tidak dihukum jika ia tidak memiliki pikiran yang bersalah.
Bilamana dikaitkan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana yang dilakukan oleh AI, maka dapat disimpulkan AI tidak memiliki mens rea seperti manusia. Kemampuan berpikir yang dimiliki AI, sebenarnya merupakan hasil pemikiran manusia yang dikemas dalam sistem komputer yang dijalankan, oleh sebuah algoritma
Ketika AI melakukan suatu tindak pidana, maka dalam hal ini AI tidak memahami arti dari akibat perbuatan yang dilakukannya dan AI tidak dapat menentukan kehendaknya sendiri untuk melakukan suatu perbuatan.
AI tidak memiliki kesadaran dalam melakukan keluar tindakan hukum. Berkaitan dengan kesadaran, manusia sebagai subjek hukum mutlak dalam hukum pidana, tidak selalu lepas dari kelalaian terhadap perbuatan yang dilakukannya.
Sedangkan AI adalah seperangkat alat yang diciptakan oleh manusia dengan bantuan teknologi, sehingga kesadaran tidak terdapat pada kecerdasan buatan. Maka dari beberapa kerangka konseptual pertanggungjawaban, AI tidak memilik kemampuan untuk menjadi subjek hukum yang dapat diberikan tanggung jawab dalam hukum pidana.
Berkenaan dengan pertanggungjawaban pidana bagi kecerdasan buatan yang melakukan tindak pidana, jika AI melakukan tindak pidana maka tanggung jawab dapat dikembalikan kepada pencipta kecerdasan buatan atau kepada pengguna AI tersebut.
Hal ini karena untuk dapat dipertanggungjawabkan secara pidana, pelaku tindak pidana harus mengetahui dan menginginkan perbuatan yang dilakukannya beserta akibat yang ditimbulkannya.
Sedangkan AI tidak memiliki kemauan atau kesadaran dalam melakukan tindakannya. Tindakan yang dilakukan oleh AI, hanya sebatas menjalankan perintah dari pengguna yang memiliki kesadaran dan kemauan untuk mencapai tujuan penggunaan AI.
Dengan demikian, seandainya AI melakukan tindak pidana, maka yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana adalah pencipta atau penggunanya.
Berkaitan dengan kedudukan AI di Indonesia, belum ada pengaturan yang jelas sebagai subjek hukum atau bukan subjek hukum. Jika AI digunakan sebagai subjek hukum, tidak dapat disamakan dengan badan hukum karena badan hukum adalah sekelompok orang yang secara bersama-sama menentukan kehendaknya untuk mencapai tujuan mereka.
Sedangkan Artificial Intelligence, tidak terdiri dari sekelompok orang melainkan sistem komputer. Sistem komputer yang bekerja atas perintah dari orang yang mengoperasikannya.
Tanggung jawab AI ketika melakukan tindak pidana, tidak dapat disamakan dengan orang atau badan hukum, hal ini terlihat dari cara kerja tindakan yang dilakukan oleh AI. Pertanggungjawaban pidana untuk AI dapat dikenakan pada pembuat AI dan operatornya.