Menakar “Res Judicata Pro Veritate Habetur” dalam Konteks Putusan Hakim di Pengadilan

Secara harfiah, Res Judicata Pro Veritate Habetur berarti “putusan hakim harus dianggap benar”.
Ilustrasi putusan hakim. Foto : Freepik
Ilustrasi putusan hakim. Foto : Freepik

Seringkali kita mendengar istilah Res Judicata Pro Veritate Habetur. Namun, tidak sedikit yang benar-benar memahami makna dan implikasinya. 

Bagi banyak orang, istilah Latin ini, seolah menjadi teka-teki rumit yang hanya dimengerti oleh kalangan hukum. 

Padahal, asas ini memegang peranan penting dan mendalam dalam menjaga ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum di tengah masyarakat.

Secara harfiah, Res Judicata Pro Veritate Habetur berarti “putusan hakim harus dianggap benar”. 

Artinya, setiap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde), harus diterima sebagai kebenaran hukum yang final. 

Dalam asas ini, terkandung pesan mendasar, hukum memerlukan kepastian, dan putusan hakim menjadi puncak dari proses pencarian kebenaran berdasarkan fakta dan alat bukti yang sah.

Namun, di tengah masyarakat, sering kali muncul gejolak ketika suatu putusan dianggap “tidak adil”. 

Persepsi publik, seringkali terbentuk bukan dari hasil persidangan, melainkan dari kabar, opini, bahkan asumsi yang beredar di media sosial atau lingkungan sekitar.
 
Padahal, hakim memutus berdasarkan fakta hukum — bukan berdasarkan opini publik.

Salah satu contoh nyata, muncul dalam perkara anak yang diperiksa di Pengadilan Negeri Kefamenanu, di mana dua orang anak yang berkonflik dengan hukum dijerat Pasal 80 ayat (3) juncto Pasal 76C Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. 

Di tengah masyarakat, beredar anggapan bahwa korban “dianiaya hingga meninggal dunia”. Padahal, berdasarkan fakta hukum di persidangan, tidak ada kekerasan fisik langsung. 

Kematian korban, justru terjadi karena para anak menghadang dan melempar batu ke arah para anak korban yang sedang mengendarai sepeda motor. Para anak korban yang ketakutan, lalu kehilangan kendali dan menabrak tembok hingga meninggal dunia. 

Dalam konteks hukum, hal ini tergolong kekerasan psikis yang berakibat fatal, bukan penganiayaan fisik sebagaimana dibayangkan publik.

Keluarga korban merasa tidak terima, dikarenakan istilah nyawa dibayar dengan nyawa. Padahal, Hakim juga harus melihat dan mempertimbangkan yang melakukan tindak pidana adalah anak, kekerasan yang terjadi bukan karena dianiaya. 

Hakim juga mempertimbangkan, pelaku masih berusia anak-anak. Sehingga, pemidanaan diarahkan tidak semata-mata untuk menghukum, melainkan juga untuk mendidik dan membina. 

Pidana dijatuhkan dengan mengedepankan prinsip keadilan restoratif serta pelatihan kerja sebagai bentuk tanggung jawab sosial.

Di sinilah pentingnya memahami asas Res Judicata Pro Veritate Habetur. 

Putusan hakim bukan lahir dari perasaan, melainkan dari penilaian rasional terhadap alat bukti, keterangan saksi, visum, dan fakta hukum yang terungkap di persidangan. 

Hakim terikat pada kaidah pembuktian dan asas keadilan yang objektif. Apabila masyarakat tidak memahami hal ini, maka setiap putusan yang tidak sesuai dengan “perasaan keadilan” publik akan selalu dianggap salah, padahal secara hukum justru telah benar.

Asas Res Judicata Pro Veritate Habetur, menjadi pagar agar hukum tidak berubah menjadi arena opini dan amarah. 

Jika setiap orang merasa berhak mengoreksi putusan berdasarkan persepsi pribadi, maka stabilitas dan wibawa hukum akan runtuh. Sebab, keadilan dalam pengadilan tidak lahir dari sorak-sorai massa, melainkan dari proses yang terukur, transparan, dan bertanggung jawab.

Pada akhirnya, memahami Res Judicata Pro Veritate Habetur, berarti belajar menghormati proses hukum itu sendiri. 

Hakim tidak hanya mencari kebenaran formal, tetapi juga menimbang rasa keadilan berdasarkan bukti yang sah. Maka, setiap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap wajib dianggap benar dan dihormati oleh semua pihak.

Dengan pemahaman ini, masyarakat diharapkan tidak lagi menilai putusan hanya dari cerita yang beredar, tetapi dari dasar hukum yang melandasinya. 

Sebab, ketika asas Res Judicata Pro Veritate Habetur dijalankan dengan benar dan dihormati, maka hukum akan berdiri tegak—bukan karena takut pada opini publik, tetapi karena berpegang pada kebenaran yang sesungguhnya.