Dalam banyak literatur, baik yang klasik maupun modern, hakim digambarkan sebagai sosok bijak tumpuhan orang mengharapkan keadilan. Dengan kapasitasnya yang demikian, ia selalu dipersepsikan sebagai sosok yang tidak hanya memahami hukum, tetapi juga sanggup menerapkannya dengan presisi dan nurani.
Hakim juga dipersepsikan sebagai pribadi yang tidak hanya menguasai teks tetapi juga konteks, ahli dalam membaca bunyi pasal sekaligus mampu menangkap denyut kehidupan masyarakat. Gambaran itu adalah “idealita” tentang hakim. Namun, di balik toga dan palu keadilan, realita yang dihadapi para hakim hari ini ternyata tidak semulus yang dibayangkan.
Secara ideal, seorang hakim dituntut profesional. Profesionalitas itu meniscayakan dua hal: penguasaan hukum dan keterampilan menerapkannya. Dua aspek ini tidak mungkin dicapai secara instan. Diperlukan ketekunan membaca, keluasan wawasan, dan latihan yang berkelanjutan. Hakim yang jarang membaca akan tumpul dalam analisis, dan hakim yang tidak melatih kemampuan menulis atau berdiskusi akan kehilangan sensitivitas dalam menyusun argumentasi hukum.
Namun sayangnya, ruang untuk menempa diri itu kini semakin menyempit. Banyak hakim justru lebih sering terjebak dalam urusan-urusan administratif birokratis yang sejatinya bukan tugas utama profesi hakim. Misalnya, keterlibatan dalam Zona Integritas, kegiatan pengawasan, atau rapat-rapat internal dan eksternal yang menyita waktu. Hal itu seringkali memaksa hakim mengorbankan jam-jam terbaiknya untuk membaca atau berdiskusi hukum.
Tidak sedikit hakim yang harus rela menunda menyelesaikan putusan karena harus menyusun laporan monitoring dan evaluasi, menghadiri rapat tim ‘perlombaan’, seperti, pembangunan ZI, atau mengikuti kegiatan sosial kelembagaan. Semua ini, meskipun penting dalam kerangka tata kelola peradilan modern, seringkali justru menggerus esensi profesi hakim itu sendiri.
Dalam dinamika dunia peradilan saat ini, pengembangan kompetensi inti hakim tampaknya mulai terpinggirkan. Di tengah sistem karier yang semakin kompleks dan birokratis, keberhasilan seorang hakim sering kali lebih ditentukan oleh kecakapan administratif ketimbang kapasitas intelektual dan teknis yudisial.
Tak mengherankan jika sebagian hakim merasa berada di persimpangan dilema: menjadi profesional hukum sejati atau sekadar manajer dalam sistem birokrasi peradilan. Padahal, di tengah percepatan perubahan zaman, hakim dituntut untuk terus beradaptasi dan meningkatkan kapasitas intelektual, agar tidak tertinggal dalam menjawab tantangan hukum yang kian kompleks.
Memang, hukum bisa saja tertinggal dalam mengejar perkembangan zaman. Namun, hakim tidak boleh tertinggal. Karena dengan kecakapan keilmuan yang mumpuni, seorang hakim tetap mampu memberikan tafsir progresif dan kontekstual terhadap hukum yang dianggap usang, sehingga hukum tetap relevan dan adil sesuai kebutuhan masyarakat modern.
Oleh karena itu, investasi dalam peningkatan kompetensi yudisial hakim menjadi urgensi yang tak bisa ditunda. Profesionalisme, integritas, dan kapasitas keilmuan harus terus ditumbuhkan agar lembaga peradilan tetap menjadi pilar utama keadilan dan penegakan hukum di Indonesia.
Oleh sebab itu, diperlukan keberanian institusional untuk menata ulang pembagian tugas dan tanggung jawab di lingkungan peradilan: yudisial dan nonyudisial. Hakim harus kembali diberi kesempatan yang cukup untuk menjadi pembaca dan pemikir. Jadwal kerja mereka harus tetap membuka kesempatan seluas-luasnya untuk membaca buku-buku hukum, berdiskusi dalam forum ilmiah, atau menulis karya hukum yang bermutu.
Mengapa? Sebab, keadilan tidak hanya ditegakkan oleh pasal-pasal, tetapi juga oleh keluasan ilmu dan ketajaman nurani. Dua hal ini (keluasan ilmu dan ketajaman nurani) akan membawa hukum selalu up to date, sekaligus mencapai keadilan substansial dari sekedar keadilan prosedural.
Dengan kata lain, kita membutuhkan hakim-hakim yang tidak hanya patuh pada prosedur, tetapi juga mendalam dalam substantif. Mereka yang membaca bukan sekadar berita WhatsApp grup, tetapi juga membaca buku-buku filsafat hukum dan jurnal ilmiah. Mereka yang menulis bukan hanya laporan hasil pengawasan, tetapi juga opini dan analisis hukum yang memperkaya diskursus keadilan.
Visi peradilan yang agung, hanya akan lahir dari hakim yang terus belajar dan berlatih. Dan untuk itu, mereka membutuhkan waktu. Bukan waktu untuk rapat tanpa akhir, tetapi waktu untuk menyendiri bersama buku, berdiskusi dengan sesama, dan menulis dengan hati.