Di tengah kehidupan masyarakat pascapandemi, penggunaan masker menjadi bagian dari kebiasaan baru yang telah melewati sekadar protokol kesehatan dan pilihan pribadi yang sah, untuk menjaga kesehatan diri maupun orang lain. Namun, masih muncul pertanyaan, apakah penggunaan masker oleh hakim saat memimpin persidangan dapat dianggap melanggar hukum, kode etik atau pedoman perilaku hakim?
Pertanyaan ini penting dijawab secara jernih, agar tidak muncul persepsi yang keliru dan menyesatkan. Apalagi belakangan berkembang pandangan ganjil, bahwa hakim yang menggunakan masker saat memimpin sidang seolah-olah sedang menutupi persidangan atau menyalahi prinsip keterbukaan. Pandangan seperti ini perlu diluruskan, agar tidak menjadikan simbol kesehatan sebagai sumber stigma, khususnya terhadap profesi yang menjaga integritas dan martabatnya.
Tidak Ada Larangan Hukum atas Penggunaan Masker oleh Hakim
Secara normatif, tidak terdapat satu pun aturan hukum yang melarang hakim menggunakan masker saat bersidang. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, termasuk peraturan pelaksana seperti PERMA dan SEMA maupun peraturan peradilan lainnya, tidak mengatur soal atribut personal seperti masker. Selama tidak mengganggu ketertiban dan kelancaran jalannya sidang, maka penggunaannya tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum.
Bahkan, jika dilihat dari perspektif kehati-hatian, masker adalah bentuk tanggung jawab personal terhadap kesehatan diri sendiri, para pihak, dan pengunjung sidang. Maka, alih-alih dipersoalkan, penggunaan masker hakim justru patut dipahami sebagai upaya menjaga keberlangsungan sidang secara aman dan berkelanjutan.
Tidak Bertentangan dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim
Kode Etika Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) sebagaimana diatur dalam SKB Ketua MA dan Ketua KY Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009 menekankan sepuluh prinsip etik seperti (1) Berperilaku Adil, (2) Berperilaku Jujur, (3) Berperilaku Arif dan Bijaksana, (4) Bersikap Mandiri, (5) Berintegritas Tinggi, (6) Bertanggung Jawab, (7) Menjunjung Tinggi Harga Diri, (8) Berdisiplin Tinggi, (9) Berperilaku Rendah Hati, (10) Bersikap Profesional. Tidak ada satu pun prinsip tersebut yang dilanggar hanya karena hakim memilih memakai masker.
Selama komunikasi tetap berjalan efektif, hakim bersikap terbuka dan adil kepada para pihak, serta menjaga kesopanan dalam tutur kata maupun gestur, maka masker tidak serta merta menutup nilai-nilai etik yang dijunjung tinggi. Masker bukan penghalang keadilan, dan tidak otomatis menjadi simbol ketertutupan.
Sidang Terbuka untuk Umum Bukan Berarti Hakim Harus Membuka Wajah
Persepsi yang menyatakan penggunaan masker mengaburkan prinsip sidang terbuka untuk umum, juga merupakan bentuk miskonsepsi. Pasal 13 ayat (1) UU 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain.
Keterbukaan yang dimaksud adalah akses publik terhadap proses peradilan, bukan soal penampilan atau ekspresi wajah hakim. Jika demikian logikanya, maka apakah saksi, jaksa, pengacara, bahkan pengunjung yang memakai masker juga dianggap menutupi sidang? Tentu tidak. Jadi seharusnya standar itu tidak dipaksakan hanya kepada hakim.
Menjaga Independensi Hakim dalam Hal-Hal Personal
Independensi hakim tidak hanya meliputi kebebasan dalam membuat putusan, tetapi juga mencakup ruang otonomi dalam menjalankan persidangan tanpa tekanan, termasuk dalam hal pilihan personal seperti memakai masker. Campur tangan atau tekanan agar seorang hakim melepaskan maskernya tanpa dasar hukum atau alasan substansial, bentuk intervensi terhadap kenyamanan dan independensi hakim.
Jika independensi ini terusik, maka bukan hanya pribadi hakim yang terganggu, tetapi juga potensi objektivitas dan ketenangan dalam memutus perkara yang dapat ikut terpengaruh.
Penutup: Jangan Baper karena Masker
Menghubungkan penggunaan masker dengan pelanggaran hukum, pelanggaran etik, atau tuduhan menutupi sidang adalah bentuk pembacaan yang keliru, dangkal, dan bisa mencederai marwah profesi hakim. Justru, hakim yang tetap menjalankan tugas dengan profesional meski menggunakan masker sedang menunjukkan bahwa ia mampu menegakkan keadilan tanpa mengabaikan tanggung jawab terhadap kesehatan dan keselamatan.
Jangan biarkan penilaian terhadap hakim, menjadi bias hanya karena selembar kain di wajah. Karena sejatinya, keadilan tidak ditentukan oleh terbukanya wajah, melainkan terbukanya nurani, logika hukum, dan keberanian untuk bersikap adil.