Dalam Islam, seorang hakim atau qadhi adalah manusia biasa, bukan wakil Tuhan. Konsep ini sangat fundamental dan selaras dengan ajaran tauhid dalam Islam, sebagaimana ditegaskan dalam surah Al-Ikhlas yang menyatakan keesaan Allah SWT.
Seringkali ada persepsi keliru yang menempatkan hakim pada posisi yang hampir sakral, seolah-olah keputusan mereka adalah titah ilahi. Namun, dalam kacamata Islam, seorang hakim (qadhi) adalah individu yang diamanahi tugas mulia untuk menegakkan syariat Allah SWT dan keadilan di muka bumi. Mereka dipilih berdasarkan kualifikasi ilmu, integritas, dan kebijaksanaannya, bukan karena memiliki kekuatan supranatural atau status ketuhanan.
Prinsip Tauhid dan Kedudukan Hakim
Inti ajaran Islam adalah tauhid, keyakinan akan keesaan Allah SWT. Surah Al-Ikhlas dengan jelas menyatakan:
"Katakanlah (Muhammad), 'Dialah Allah, Yang Maha Esa. Allah tempat bergantung segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada sesuatu pun yang setara dengan Dia.'"
Ayat tersebut menegaskan, tidak ada makhluk yang menyerupai atau setara dengan Tuhan. Oleh karena itu, menempatkan seorang hakim sebagai "wakil Tuhan" adalah pemahaman yang bertentangan dengan prinsip tauhid ini.
Sebagaimana dalam Al Qur'an surah Al Anbiya Ayat 78-79
"Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, ketika keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan Kami menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu.", "Maka Kami memberikan pengertian kepada Sulaiman (tentang hukum yang lebih tepat); dan kepada masing-masing Kami berikan hikmah dan ilmu, dan Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan Kamilah yang melakukannya."
Kisah di atas, mengajarkan kita bahwa meskipun seorang hakim (bahkan seorang nabi sekalipun) telah berijtihad dan mengerahkan segala kemampuannya, tetap ada kemungkinan kekeliruan atau adanya solusi yang lebih baik.
Putusan Nabi Daud tidak dicela oleh Allah, namun putusan Nabi Sulaiman diakui sebagai yang "lebih tepat" (فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ - "maka Kami memberikan pengertian kepadanya Sulaiman").
Hal itu menegaskan, pengetahuan manusia terbatas, dan hanya Allah SWT yang memiliki pengetahuan mutlak dan sempurna. Oleh karena itu, penting bagi setiap hakim atau pembuat keputusan untuk senantiasa memohon petunjuk dan pertolongan dari Allah dalam setiap langkahnya.
Hakim bertugas menafsirkan dan menerapkan hukum negara dan konstitusi, hukum pidana, perdata, tata usaha negara dan militer serta hukum-hukum Agama Islam berdasarkan Al-Qur'an, sunah, ijma' (konsensus ulama), dan qiyas. Mereka berijtihad, mengerahkan segenap kemampuan intelektual dan spiritualnya untuk mencapai kebenaran dan keadilan. Namun, setiap keputusan yang mereka ambil adalah hasil dari penalaran manusiawi, yang tidak luput dari potensi kekeliruan atau keterbatasan.
Mengingat bahwa hakim adalah manusia biasa, mereka juga tidak luput dari potensi kesalahan dan kekeliruan. Pemahaman manusia terbatas, data yang diperoleh mungkin tidak sempurna, dan bias pribadi bisa saja memengaruhi putusan. Oleh karena itu, sebelum memberikan keputusan, seorang hakim seyogianya selalu memohon petunjuk dari Allah SWT. Ini bukan berarti hakim bersikap pasif, melainkan sebuah bentuk penyerahan diri dan pengakuan bahwa upaya manusia adalah terbatas.
Langkah-langkah yang diambil oleh hakim, mulai dari proses pemeriksaan bukti, mendengarkan saksi, hingga menimbang argumen, adalah sebuah ikhtiar atau upaya maksimal untuk mencapai keadilan. Namun, hasil akhir dari upaya tersebut, dan pengetahuan yang paling sempurna tentang kebenaran, hanyalah milik Allah SWT. Dialah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu, bahkan apa yang tersembunyi dari pandangan dan pemahaman manusia.
Dengan memohon petunjuk, seorang hakim menunjukkan kerendahan hati dan kesadaran bahwa keadilan sejati bersumber dari Sang Maha Adil. Oleh karenanya dalam banyak kesultanan dan kekhalifahan Islam sejak zaman Khulafaur Rasyidin diperkenankan konsep seperti judicial review dan pemeriksaan ulang yang mirip dengan konsep upaya hukum yang dianut peradilan modern.
Akuntabilitas di Hadapan Allah SWT
Penting untuk diingat bahwa setiap manusia, termasuk para hakim, akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT pada Hari Perhitungan. Segala perbuatan, baik dan buruk, akan ditimbang. Ini berarti bahwa seorang hakim tidak hanya bertanggung jawab kepada masyarakat atau negara, tetapi yang lebih utama adalah kepada Sang Pencipta.
Kesadaran ini semestinya menjadi landasan moral yang kuat bagi setiap hakim untuk senantiasa berlaku adil, jujur, dan tidak menyalahgunakan wewenangnya. Mereka akan ditanya tentang bagaimana mereka menunaikan amanah peradilan yang diberikan kepada mereka.
Dengan demikian, pengakuan bahwa hakim adalah manusia biasa justru menegaskan kemuliaan dan beratnya amanah yang mereka emban. Mereka adalah pelayan keadilan, bukan penguasa mutlak.