Menjawab Kritik Anarkisme tentang Otoritas Hierarkisme

Kepatuhan manusia pada birokrasi, entah yang sifatnya monarkis atau demokratis, hanya dimungkinkan oleh keberadaan otoritas tekstual-ideologis.
Ilustrasi filsafat hukum. Foto : Freepik.com
Ilustrasi filsafat hukum. Foto : Freepik.com

“From citizens paying taxes to employees following their bosses’ orders and kids obeying parents, we take it for granted that a whole range of authorities have the power to impose duties on others.” – Fabian Wendt (Authority, Key Concepts in Political Theory).

Pada masa Revolusi Spanyol tahun 1936 hingga 1939, komunitas “anarkis” di provinsi Aragón dan Catalunya bekerja dalam kolektif (kelompok) yang bersifat egaliter. 

Di kota Fraga, Aragón, dengan penduduk sekitar 8.000 orang dan lahan seluas 48.000 hektar, terdapat ratusan kolektif yang menyelenggarakan fasilitas publik. Tidak ada otoritas membawahi kolektif tersebut. Semua bekerja dengan pemahaman tacit (implisit) atas dasar kebebasan dan kesetaraan manusia. 

Karena sifatnya empatetik (berdasarkan empati), kolektif tersebut bekerja secara selaras menyediakan tenaga kesehatan, pendidikan, dan seterusnya. 

Eksperimen selama kurang lebih tiga tahun ini menunjukkan bahwa dalam kondisi tertentu, anarkisme masih dapat bekerja. Namun demikian, saat dihadapkan pada pertanyaan tentang otoritas militer, tesis anarkisme gugur seketika (Leval, 2018).

Eksperimen lainnya adalah hierarki Auroville, yang terletak di India, tepatnya di Propinsi Matrimandir. Di “kota” ini hidup 3.000 orang lebih dan bertahan sejak tahun 1966. Di sini konsep “uang” tidak dipergunakan. 

Warga yang satu dengan warga yang lain berusaha untuk saling membantu dan mendukung kehidupan bersama, sesuai dengan keahlian dan kemampuannya masing-masing. Di sini relasinya bukan hierarkis murni, tetapi heterarkis. Tidak ada otoritas vertikal yang membawahi warga Auroville. 

Dengan demikian, kota ini telah bertahan lebih dari setengah abad. Namun demikian, di tahun 2024, Auroville tetap harus berhadapan dengan otoritas hierarkis karena dua masalah besar: pembangunan infrastruktur dan gelombang nasionalisme religius (Le Monde, 25 April 2024, Sophie Landrin). 

Sederhananya, dua eksperimen di dua negara dalam dua waktu yang berbeda menunjukkan betapa problematisnya situasi tanpa hierarki atau anarkisme.

Hierarkisme dan Otoritas

Bila hierarkisme bertahan ribuan tahun sejak masa bercocok tanam dimulai 12.000 tahun yang lalu, jelas bukan tanpa alasan historis yang kuat. 

Hierarkisme memungkinkan satu pihak mengendalikan pihak lain atas dasar tertentu, bisa penaklukkan atau kesepakatan. 

Gebrakan filosofis abad ke-21 tentang mengapa manusia bekerja sama satu dengan yang lain paling kuat digagas oleh Yuval Noah Harari, salah satu filsuf yang paling berpengaruh abad ini. 

Harari menjelaskan dalam Nexus (2024) bahwa kemampuan manusia untuk mengadakan teks yang tanpa cacat (infalibel) adalah alasan utama mengapa ratusan juta hingga milyaran manusia rela terikat dan bekerja sama dalam institusi sosial, tidak terkecuali negara-bangsa (nation-state). 

Intinya, hierarkisme hanya dimungkinkan oleh interaksi dua sisi: manusia dan birokrasi. Kepatuhan manusia pada birokrasi, entah yang sifatnya monarkis atau demokratis, hanya dimungkinkan oleh keberadaan otoritas tekstual-ideologis. 

Hukum termasuk instrumen sosial yang bergantung pada keberadaan otoritatif semacam ini. Hukum bahkan memberikan legitimasi positivistik pada keberadaan otoritas tersebut.

Filsafat hukum pada dasarnya mencoba untuk mengelaborasi dasar konseptual dan argumentatif dari teks otoritatif tersebut. 

Dalam monarki religius, teks ini mewujud dalam kitab suci. Dalam monarki non-religius, yang menjadi teks adalah ideologi yang dikukuhkan oleh tradisi. 

Dalam demokrasi, otoritas tekstual dapat ditemukan dalam bentuk undang-undang atau piagam (charta/charter). 

Masalahnya, sekalipun sudah berjalan belasan ribu tahun, hierarki memiliki satu ekses yang sulit disangkal: pemaksaan. 

Bagi pakar ideologi Paul McLaughlin, titik inilah yang ditentang oleh anarkisme. Keberadaan otoritas secara historis selalu mengundang tindakan opresif dan represif. Poin ini dipersoalkan oleh pemikir anarkis: mengapa manusia harus menaati otoritas yang tidak pernah meminta persetujuannya (non-konsensual) (McLaughlin, 2007). 

Sederhananya, hanya jika seseorang memberikan pengakuan tanpa paksaan untuk menaati atau mengikuti atau berkorban untuk sesuatu tindakan tersebut masih dalam koridor etika. 

Negara mengikat seseorang sejak lahir, dan dalam kondisi tersebut warga negara tidak dalam kapasitas untuk memberikan ijinnya. Dengan kata lain, dengan memaksakan wewenangnya, negara telah bertindak tidak etis.

Kritik Anarkisme tentang Otoritas Negara

Pengkaji teori politik Fabian Wendt (2018) mengatakan bahwa otoritas adalah posisi superior yang memberikan kebebasan bagi institusi atau seseorang untuk memberikan justifikasi pada ideologi atau tindakan tertentu. 

Bagi Wendt, otoritas dapat dilihat dari sisi sumbernya: apakah didasarkan atas kepakaran (reasons for belief) atau wewenang (reasons for action). Dokter atau ilmuwan memiliki otoritas karena ahli di bidangnya, sementara petugas keamanan atau atasan memiliki wewenang, apapun kompetensinya. 

Otoritas juga dapat dilihat dari siapa yang memberikannya, apakah pendakuan (de facto), atau pengakuan terlegitimasi (de jure) (Wendt, 2018:2&4). 

Seorang pendengung (influencer) dapat saja mengklaim memiliki massa yang memang pengikut netizennya, sementara seorang hakim memiliki pengakuan resmi dari negara. 

Wendt kemudian menyoroti poin wewenang dan menariknya lebih jauh untuk menjustifikasi otoritas negara, yang disebutnya sebagai otoritas politik.

Negara, menurut Wendt, unik karena tiga karakteristik otoritasnya. Pertama, negara berwenang untuk menciptakan hukum: “states claim to have the right to make laws”. 

Kedua, negara memiliki wewenang untuk menegakkan hukum ini secara koersif: “states claim to have the right to coercively enforce these laws”. Ketiga, negara berhak memopoli kekuatan koersif sebuah negara: “States […] claim a monopoly on the use of force” (Wendt, 2018:6-7). 

Tiga poin besar inilah yang menjadi keberatan dari anarkisme. Kaum anarkis melihat bahwa kewenangan ini akan menghasilkan pemaksaan opresif dan represif, dan setiap warga negara berhak untuk menolaknya atas nama kebebasan dan kesetaraan. 

Hierarkisme otoritatif vertikal negara dituding sebagai akar dari penderitaan manusia di bawah institusi sosial tersebut. 

Filsuf hukum Joseph Raz dengan menolak tuduhan aspek patologis dari kewenangan pemerintah dengan menegaskan bahwa justru penyelenggaraan negara untuk tujuan menyejahterakan rakyatnya hanya dimungkinkan oleh keberadaan otoritas (Raz, 1979[2009]).

Masih sejalan dengan Raz, pemikir di bidang politik Margaret Gilbert mencoba menunjukkan bahwa bila keberadaan individu sebagai subjek dalam negara berbeda dengan individu sebagai subjek pribadi. 

Gilbert menyebutnya “subjek jamak” (plural subject). Rakyat di sebuah negara tidak bersifat tunggal. Menurut Gilbert, sebagai subjek jamak masing-masing orang dalam bernegara terikat komitmen bersama (joint commitment). Gilbert mengatakan: “To enter a joint commitment, the parties must express their readiness to be jointly committed with certain others” (Untuk memasuki sebuah komitmen bersama, para pihak harus menyatakan kesiapan mereka untuk terikat bersama dengan pihak-pihak tertentu lainnya) (Gilbert, 168). 

Intensi untuk bergabung dengan institusi sosial seperti negara klaim Gilbert tidak melulu bersifat deliberatif. Saat seseorang sudah menggabungkan diri dengan negara, ia harus paham konsekuensinya untuk terikat dengan kebijakan yang diambil rakyatnya sebagai subjek plural. 

Pemikiran Gilbert ini menjawab masalah kesepakatan konsensual yang dituding oleh pihak anarkis. Menyepakati secara personal sebagai subjek tunggal berbeda dengan subjek jamak. 

Otoritas negara justru sejalan dengan gerak subjek jamak dari warga negara. Dalam Sumpah Pemuda, misalnya, kata-kata “Kami bangsa Indonesia” adalah bentuk plural subject yang dimaksud oleh Gilbert.

Hierarki Natural dan Hierarki Sosial    

Pemikiran Charles Darwin dalam the Origin of Species (1859[1985]) dapat dibaca ke berbagai arah. Salah satunya adalah bahwa tidak ada spesies manapun yang tidak terlibat dengan yang lain, dan bahwa keterlibatan itu sifatnya hierarkis. 

Ada kesalahpahaman mendasar tentang pemikiran Darwin sebagai “survival of the strongest,” atau “yang kuat yang menang”. Darwin sebenarnya mengatakan bahwa “yang selaras yang menang” (“survival of the fittest”). 

Selaras di sini adalah tempat dalam ekosistem dan hubungan antara satu dengan lainnya. Secara alamiah, manusia adalah bagian dari hierarki semesta. 

Naturalisme dalam filsafat hukum masih cukup kuat, dan merefleksikan kenyataan ini. Namun demikian, positivisme legal dan utilitarianisme juga membentuk cabang lainnya. 

Ide dasarnya adalah hierarki tersebut dibuat oleh manusia melalui proses politik. Inilah hierarki sosial. Singkatnya, apapun mazhab filsafat hukumnya, tidak ada tempat untuk anarkisme.

Memang kita tidak dapat menutup mata bahwa hierarki sosial masih menyisakan persoalan. 

Kasus Cooper v. Aaron (1958), 358 U.S. 1 (U.S. Supreme Court) memperlihatkan benturan antar jejaring hierarki sosial. Dalam perkara ini, beberapa negara bagian di Amerika Serikat (AS), terutama di Arkansas, tahun 1958 Gubernur Orval Faubus menghalangi siswa berkulit hitam untuk sekolah di Little Rock Central High School (Sekolah Menengah Atas). 

Keputusan Faubus ini bertentangan dengan jurisprudensi Brown v. Board of Education (1954) yang melarang diskriminasi ras. Mahkamah Agung Amerika Serikat kemudian memutuskan secara mufakat (unanimous per curiam opinion) yang tidak dapat dinulifikasi oleh negara bagian manapun di AS untuk mengakhiri upaya segregasi rasial dalam bentuk apapun di pendidikan. Hierarki sosial yang satu berbenturan dengan yang lain, untuk mencapai tujuan bersama.

Dalam konteks sejarah dan pemikiran hukum, dapat disimpulkan bahwa otoritas, baik dalam bentuk hierarkis maupun heterarkis, adalah produk dari interaksi kompleks antara kebutuhan kolektif, konstruksi ideologis, dan dinamika kekuasaan. 

Meskipun anarkisme menawarkan kritik yang tajam terhadap relasi dominasi dan pemaksaan yang inheren dalam struktur hierarkis, realitas sosial menunjukkan bahwa absennya otoritas tidak serta-merta menjamin harmoni atau keberlanjutan. 

Justru sebaliknya, tantangan kolektif seperti infrastruktur, keamanan, dan keadilan sosial menuntut adanya pengorganisasian kekuasaan secara sah dan terlegitimasi. 

Di titik inilah filsafat hukum menjadi penting: ia tidak sekadar mengulas apakah otoritas perlu ada, tetapi juga bagaimana otoritas itu harus dibentuk, dijalankan, dan dipertanggungjawabkan. 

Dalam dunia yang semakin kompleks dan terhubung, otoritas yang etis dan inklusif bukan hanya sebuah kemungkinan, tetapi juga sebuah keharusan normatif.

Penulis: Muhammad Afif
Editor: Tim MariNews