Pendahuluan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur tiga jenis putusan hakim, yakni putusan pemidanaan, putusan bebas (vrijspraak), dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging).
Dalam hukum acara pidana, putusan bebas dijatuhkan apabila hakim berpendapat bahwa, berdasarkan hasil pembuktian, perbuatan terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Sementara itu, putusan lepas diberikan jika perbuatan terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.
Permasalahan yang sering muncul di praktik peradilan pidana adalah ketika Majelis Hakim meyakini, terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana sesuai dakwaan, namun dari sisi kemanusiaan dan kemanfaatan, pemberian pidana jangka pendek justru menimbulkan ketidakadilan dan tidak memberikan manfaat bagi korban, masyarakat, maupun terdakwa itu sendiri.
Dalam kondisi seperti ini, hakim sebenarnya tidak memiliki banyak pilihan karena bentuk putusan yang tersedia hanya tiga, yaitu bebas, lepas, dan pemidanaan.
Melalui KUHP Nasional, kini telah diakomodir bentuk putusan baru, yaitu putusan pemaafan hakim (rechterlijk pardon atau judicial pardon), yang memungkinkan hakim menyatakan terdakwa bersalah namun membebaskannya dari pidana demi rasa keadilan dan kemanfaatan.
Selayang Pandang Lembaga Pemaafan di Dunia
Secara historik hubungan antara pidana dengan pemaafan (pardon) telah termaktub sejak adanya Code of Hammurabi. Namun Code of Hammurabi hanya memuat norma mengenai adanya keseimbangan antara legalitas dengan keadilan di masyarakat. [1] Lembaga “pemaafan” secara praktik terdapat di masa kekaisaran Romawi dan kekaisaran Tiongkok di Asia, pada dekade kepemimpinan Dinasti Han. [2] Pada masa kekaisaran dahulu lembaga “pemaafan” kerap digunakan oleh raja untuk diberikan kepada pasukannya karena dianggap berjasa pada masa perang sehingga tentara diberikan imunitas namun tidak disediakan aturan main yang jelas.
Beberapa dekade berlalu, lembaga pemaafan berkembang di negara Eropa Barat khususnya di Inggris pada masa King Charles II pemberian “maaf” diberikan kepada Danby yang kala itu berstatus sebagai Perdana Menteri Inggris, kasus bermula ketika Danby hendak di impeach oleh House of Commons dan House of Lords karena terbukti melakukan tindak pidana. [3] Kejadian tersebut sangat dipertanyakan mengingat secara kenegaraan, raja sebagai kepala negara tidak pernah menolak suatu impeachment yang dilakukan oleh parlemen terhadap perdana menteri yang telah terbukti melanggar konstitusi. Selain itu, King Charles II juga pernah menjual lembaga pemaafan kepada siapapun asalkan dapat membayar seharga dua shilling [4], perlakuan King Charles II tersebut tidaklah wajar karena memperlakukan lembaga pemaafan sebagai suatu komoditas. [5]
Setelah berlalu dan berbagai macam pro kontra di kalangan reformis hukum, lembaga pemaafan kembali dihidupkan di Prancis, namun dengan memadukan pendekatan trias politica, sehingga memberikan lembaga pemaafan tersebut ke ranah yudisial. Perumusan tersebut muncul dari rekomendasi Komisi Para Menteri Dewan Eropa [6], di mana rekomendasi tersebut mengamanatkan agar lembaga pemaafan diberikan kepada hakim karena hakim merupakan lambang demokrasi yudisial yang dapat menentukan salah atau tidaknya perbuatan pelanggaran hukum.
Perombakan terjadi dan ketentuan lembaga pemaafan beralih menjadi “pemaafan hakim” dan norma tersebut diadopsi di beberapa negara common law system seperti Belanda yang diatur didalam Pasal 9a KUHP Belanda, kemudian Portugal dengan konsep “dispensa de pena”, Yunani hingga negara di Asia seperti Uzbekistan. [7]
Gagasan dan Tantangan Keberlakuan di Indonesia
Indonesia baru mengadopsi norma pemaafan hakim melalui Pasal 54 ayat (2) KUHP Nasional (“KUHP”) yang berbunyi “Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pelaku, atau keadaan pada waktu dilakukan Tindak Pidana serta yang terjadi kemudian dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau tidak mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan”. Adapun dilihat dari unsur-unsur dalam rumusan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ringannya Perbuatan
Dalam KUHP, ketentuan pemaafan hakim tidak menjelaskan secara eksplisit maksud dari “ringannya perbuatan”. Menurut Barda Nawawi Arief, ketidakpastian tersebut merupakan bentuk kelemahan dari norma pemaafan hakim, [8] namun hal tersebut juga dapat menjadi dogma yang bertujuan agar tidak melimitasi kewenangan hakim dalam menjatuhkan putusan pemaafan hanya untuk delik-delik tertentu saja.
Namun demikian, apabila “ringannya perbuatan” hanya terkhusus pada kualifikasi delik dengan bobot ancaman pidana di bawah 5 (lima) tahun sebagaimana diatur dalam Pasal 71 KUHP Nasional. Apakah unsur “perbuatan ringan” tersebut harus dimaknai dan dikorelasikan sama dengan ketentuan dalam Pasal 71 KUHP dimana hakim dapat untuk tidak menjatuhkan pidana penjara? Tentu hal ini menjadi pertanyaan mengingat tidak ada ketentuan baku yang menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dari ringannya perbuatan dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP. Hal mana apabila ditinjau dari KUHAP yang menjadi kendaraan KUHP nantinya, aturan main mengenai penerapan putusan pemaafan hakim juga belum diatur secara jelas. [9]
2. Keadaan Pribadi Pelaku
KUHP tidak juga memberikan definisi mengenai “keadaan pribadi pelaku” seperti halnya mengenai “ringannya perbuatan”. Namun demikian ketentuan mengenai “keadaan pribadi” sempat disebutkan dalam Penjelasan Pasal 22 KUHP yang berbunyi “Yang dimaksud dengan "keadaan pribadi" adalah keadaan di mana pelaku atau pembantu berumur lebih tua atau muda, memiliki jabatan tertentu, menjalani profesi tertentu, atau mengalami gangguan mental”. Dari penjelasan ini, terlihat bahwa yang dimaksud dalam “keadaan pribadi” yang dimaksud dalam Pasal 22 KUHP merujuk pada umur, jabatan tertentu, profesi atau gangguan mental. [10]
Pertanyaan selanjutnya yang timbul berkaitan keadaan pribadi pelaku yang dimaksud dalam Pasal 22 KUHP apakah sama dengan ketentuan dalam Pasal 54 ayat (2) KUHP? Apabila dicermati Pasal 22 konteksnya merujuk pada penyertaan dan pembantuan dengan memisahkan kedudukan antara penyertaan dengan pembantu dimana pertanggungjawaban pidana antara keduanya berbeda sehingga berbeda konteks pertanggungjawaban pidana yang terkandung dalam putusan pemaafan hakim dengan pembantuan dan penyertaan. Apabila unsur “keadaan pribadi pelaku” tidak dijelaskan secara lebih rinci dapat menyebabkan multitafsir bagi tataran praktik di pengadilan.
Pertanyaan selanjutnya yang muncul pada pelaksanaannya apakah diperlukan suatu asesmen dari seorang psikolog yang dapat mengidentifikasi kepribadian pelaku secara utuh baik dari segi mental dan karakter dari seorang pelaku tindak kejahatan sehingga hakim tidak semata-mata hanya didasarkan pada asesmen pribadi karena sejatinya hakim adalah ahli hukum dan bukan ahli psikologi.
Keadaan pada waktu dilakukan tindak pidana serta yang terjadi kemudian KUHP juga tidak memberikan maksud yang jelas mengenai syarat ketiga ini, demikian pula dengan penjelasan Pasal 56 ayat (2) KUHP yang tidak memberikan ketegasan norma mengenai apa yang dimaksud dengan “keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian”.
Sebaiknya dalam KUHP perlu memuat ketegasan mengenai maksud dari “keadaan pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian”. Hal ini bertujuan agar terciptanya kepastian hukum dalam pelaksanaan lembaga pemaafan hakim. Selain itu, dapat menghindarkan bias pada norma “keadaan pada waktu dilakukan perbuatan” dengan ketentuan dalam keadaan darurat (noodtoestand).
Dilihat dari sudut pandang formalistik, banyak sekali pandangan yang mempertanyakan aturan main mengenai pengenaan putusan pemaafan hakim ini, seperti halnya dalam hal upaya hukum yang dapat diajukan oleh penuntut umum apabila berkeberatan dengan putusan pemaafan hakim, karena putusan ini berbeda dengan putusan bebas dan putusan lepas yang hanya dapat diajukan upaya hukum kasasi. Atau memang putusan pemaafan hakim itu sendiri sudah bersifat final and binding sehingga tidak dapat diajukan upaya hukum.
Lembaga pemaafan hakim dalam tataran praktik dapat dijawab melalui hukum pidana formil, namun demikian sepanjang penelitian penulis berdasarkan Draft RUU KUHAP tanggal 20 Maret 2025 yang dirilis oleh Institute Criminal Justice Reform (ICJR) belum mengakomodir permasalahan yang diuraikan tersebut.
Kesimpulan
Rechterlijk Pardon atau biasa yang disebut pemaafan hakim merupakan suatu ide luhur yang berupaya untuk menyeimbangkan keadilan formal dengan material, karena pada kasus tertentu perbuatan terdakwa telah secara nyata telah terbukti dan dipandang tercela menurut masyarakat, namun demikian ketika dihadapkan dengan rasa kemanfaatan dan kemanusiaan pemberian pidana jangka pendek hanya menimbulkan permasalahan baik dari segi sarana lembaga pemasyarakatan yang over capacity dan berdampak besar bagi ketersediaan anggaran negara.
Oleh karenanya, gagasan pemaafan sejatinya sudah selaras dengan nilai pembaharuan hukum pidana yang dinafaskan dalam KUHP. Namun demikian diperlukan suatu “aturan main” yang terarah, terukur, dan seirama demi menjaga keluhuran mahkota lembaga kehakiman melalui putusan pemaafan hakim yang ideal.
Referensi:
[1] David Trait, Pardons in Perspective: The Role of Forgivness in Criminal Justice, dimuat dalam Federal Reporter, 2000, hlm. 6.
[2] McKnight, The Quality of Mercy Strained: Wrestling the Pardoning Power From the King, Honolulu: University Press of Hawai, 1981, hlm. 238.
[3] McKnight, Ibid, hlm, 21.
[4] Shilling adalah mata uang negara Britania Raya pada tahun 1966 sebelum beralih dengan mata uang Poundsterling.
[5] Hewitt, The Queen’s Pardon, LondonL Casell, 1978, hlm. 174.
[6] Pasal 3 huruf a Resolusi No. 10 Tahun 1976 tentang Alternative Penal Measures to Imprisonment.
[7] Muhammad Iftar Aryaputra, Pemaafan Hakim Dalam Pembaruan Hukum Pidana Indonesia, Tesis Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok, 2013, hlm. 158.
[8] Barda Nawawi Arief, Tujuan dan Pedoman dalam Konsep RUU KUHP, dalam Mardjono Reksodiputro, Pengabdian Seorang Guru Besar Bidana, Depok: Badan Penerbit FH UI, 2007, hlm. 64.
[9] Lihat Draf RUU KUHAP tanggal 20 Maret 2025, https://icjr.or.id/wp-content/uploads/2025/03/RUU-KUHAP-20-Maret-2025.pdf.
[10] Penjelasan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.