Jika Hukum Itu Manusia, Bagaimana Menjadi Bijak?

Jika hukum adalah manusia, maka ia tidak akan menjadi hakim yang keras kepala, tetapi guru yang penuh welas asih. Ia tahu bahwa hidup tidak hitam-putih, dan setiap orang berhak diberi kesempatan untuk berubah, tumbuh, dan belajar dari kesalahan.
Ilustrasi keadilan hukum. Foto depositphotos.com/
Ilustrasi keadilan hukum. Foto depositphotos.com/

Bayangkan sebuah wajah. Wajah yang tak pernah tidur, duduk di tengah-tengah manusia, menyimak konflik, mencatat kebenaran, dan memutuskan nasib. Jika hukum itu adalah manusia, maka pertanyaan yang pantas diajukan bukan sekadar apakah ia tegas? Melainkan apakah ia bijak?

Kebijaksanaan bukan hanya kemampuan memahami aturan, tetapi kemampuan menafsirkan aturan dalam terang keadilan dan kasih sayang. Maka jika hukum adalah manusia, ia tidak hanya duduk dengan kitab dan pasal, tetapi juga dengan hati yang mau mendengar dan jiwa yang tak angkuh.

Seperti seorang guru tua yang sabar mendengarkan semua cerita muridnya sebelum mengucap nasihat, hukum yang bijak akan memberi ruang untuk semua suara, bahkan suara yang pelan, lirih, dan nyaris hilang. Di sanalah kearifan hukum diuji.

Hukum yang hanya kuat dalam logika, namun lemah dalam empati, akan menjadi hukum yang dingin. Ia bisa benar dalam teks, tetapi melukai dalam praktik. Seorang anak miskin yang mencuri roti karena lapar bisa divonis bersalah. Dan itu bisa jadi benar secara hukum. Tetapi, apakah itu mencerminkan kebijaksanaan?

Bijak berarti mampu menempatkan sesuatu secara proporsional. Yang perlu dipertimbangkan bukan perbuatan, tetapi juga niat, keadaan, dan dampaknya. Itu semua dapat dijadikan fakta hukum. Bijak bukan berarti kompromi terhadap kebenaran, tapi tentang menegakkan kebenaran yang manusiawi dan penuh kasih.

Jika hukum adalah manusia, maka ia harus menjadi manusia yang berdoa sebelum memutus. Bukan karena ragu, tetapi karena sadar bahwa setiap putusan menyentuh hidup manusia lain. Setiap tanda tangan pada lembar putusan menjadi takdir yang dituliskan.
Kebijaksanaan selalu lebih tinggi daripada sekadar pengetahuan. Maka hukum yang bijak akan bersedia belajar dari kesalahan, tidak sombong atas kemenangan, dan rendah hati di hadapan kebenaran yang lebih luas.

Hukum tidak hidup dalam ruang vakum. Ia hidup dalam realitas sosial yang kompleks, penuh luka, harapan, dan perjuangan. Hukum yang bijak menyadari bahwa tidak semua keadilan bisa dibaca dari pasal, tetapi harus dirasakan dari denyut kehidupan.

Di masyarakat yang plural, hukum yang bijak tidak memaksakan keseragaman, tetapi memelihara kedamaian. Ia tahu kapan harus berbicara, dan kapan harus mendengar. Ia tidak selalu menekan, tetapi mampu merangkul dan menuntun.

Jika hukum adalah manusia, maka ia tidak akan menjadi hakim yang keras kepala, tetapi guru yang penuh welas asih. Ia tahu bahwa hidup tidak hitam-putih, dan setiap orang berhak diberi kesempatan untuk berubah, tumbuh, dan belajar dari kesalahan.

Kebijaksanaan dalam hukum adalah puncak dari proses panjang kontemplasi, ilmu, dan pengalaman. Ia lahir dari pergumulan batin dan semangat untuk tidak hanya menegakkan aturan, tetapi menegakkan kebaikan yang hakiki.

Maka hukum tidak cukup hanya adil. Ia harus bijak. Karena keadilan tanpa kebijaksanaan bisa menjadi pedang yang tajam, tapi membabi buta. Sedangkan kebijaksanaan membawa keadilan yang menyembuhkan, bukan sekadar menghukum.

Dalam sebuah perkara, masyarakat tidak hanya menanti vonis, tetapi juga menanti kelegaan. Dan kelegaan itu datang dari hukum yang tidak hanya memahami, tetapi juga memaafkan, mengarahkan, dan mencintai.

Jika hukum itu manusia, maka biarlah ia menjadi manusia yang mencerminkan cahaya dalam putusannya, dan kelembutan dalam pelaksanaannya. Sebab hanya dengan kebijaksanaan, hukum menjadi wajah keadilan yang sesungguhnya.

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews