Hukum sebagai Teks: Pendekatan Postmodern Filsafat Hukum

Dalam pendekatan postmodern, kebenaran hukum tidak lagi diletakkan pada teks semata, tetapi proses dialogis antara teks dan realitas.
Ilustrasi filsafat hukum. Foto pixabay.com
Ilustrasi filsafat hukum. Foto pixabay.com

Hukum sering dipahami sebagai kepastian dan tidak membuka ruang tafsir. Namun di tengah dunia penuh keragaman makna, pemahaman tersebut justru mempersempit dan menyesatkan. Pendekatan postmodern mengajukan satu kritik tajam, yakni apakah hukum bukan sekadar aturan yang harus ditaati? atau hukum merupakan teks yang terus dibaca, ditafsirkan, dan dimaknai secara berbeda oleh setiap generasi?

Sebagai teks, hukum tidak tunggal. Wujudnya lahir dari konstruksi bahasa, kekuasaan, dan sejarah. Teks hukum tidak berdiri sendiri, bentuknya terikat konteks sosial dan budaya yang melahirkannya. Maka, setiap pembacaan hukum membawa interpretasi yang tidak terhindarkan. Hukum tidak pernah benar-benar netral.

Pendekatan ini, mengingatkan di balik setiap kalimat  undang-undang, tersembunyi ideologi tertentu. Tidak semua legal adalah adil, dan adil belum tentu tertulis dalam hukum. Teks hukum, bisa digunakan melindungi yang lemah, tetapi juga dapat dipakai memperkuat dominasi yang kuat. Tafsir menjadi kunci pembeda.

Dalam pendekatan postmodern, kebenaran hukum tidak lagi diletakkan pada teks semata, tetapi proses dialogis antara teks dan realitas. Maka, hakim, akademisi, dan masyarakat memiliki peran penting sebagai penafsir aktif dan tidak hanya menyalin hukum, tetapi membentuk kembali maknanya sesuai nilai, pengalaman, dan nurani.Dalam dunia yang kompleks, pendekatan tunggal atas hukum tidak lagi memadai.

Postmodernisme mendorong pluralitas perspektif dan mengakui keberagaman suara, dalam membaca hukum. Suara para pihak, minoritas, dan dan kelompok yang terpinggirkan, wajib mendapat ruang penafsiran hukum, agar keadilan tidak jadi monopoli satu sudut pandang 

Pada tradisi agama, wahyu ditafsirkan beragam oleh ulama lintas mazhab. Maka, memerlukan ijtihad, apalagi hukum buatan manusia. Dengan pendekatan bijak dan inklusif, penafsiran hukum, dapat jadi jalan menuju kedalaman nilai, bukan sekadar prosedur formal belaka.

Pendekatan postmodern juga menyoroti hubungan antara bahasa dan kekuasaan. Bahasa hukum tidak netral. Wujudnya menyusun kenyataan sosial. Saat hukum menyebut perempuan dalam posisi pasif, maka realitasnya cenderung menempatkan perempuan dalam posisi lemah. Maka perubahan bahasa dalam teks hukum, adalah bagian dari perubahan struktur sosial.

Hukum sebagai teks membuka kesadaran, bahwa hukum tidak sakral secara absolut. Hukum dapat dikritik, diperbaiki, dan direkonstruksi. Kritik bukan bentuk pemberontakan, melainkan cinta terhadap keadilan. Sebab keadilan tidak cukup ditulis, wujudnya harus dirasakan dan diperjuangkan melalui makna.

Teks hukum wajib dibaca dengan mata hati yang jernih. Tafsir terbuka tidak berarti liar. Tafsir tetap membutuhkan kedalaman nalar, ketajaman moral, dan ketulusan spiritual. Dalam membaca hukum sebagai teks, diperlukan hati terdidik dan pikiran tercerahkan.

Kritik postmodern bukan untuk merobohkan bangunan hukum, tetapi mengguncang kemapanan semu yang menutup ruang tafsir. Di situlah hukum bersifat dinamis, yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, tanpa kehilangan akarnya pada nilai kemanusiaan.

Saat hukum dipahami sebagai teks, maka proses pendidikan hukum melampaui hafalan pasal. Mahasiswa hukum perlu diajak berdialog dengan teks, mempertanyakan makna, membandingkan konteks, dan menyelami nilai-nilai di balik setiap pasal perundang-undangan. Pendidikan hukum jadi ruang pembentukan kesadaran, bukan terbatas kepatuhan.

Contoh kecil dapat dilihat cara masyarakat menafsirkan aturan lalu lintas. Sebagian hanya mematuhinya, karena takut denda, bukan kesadaran moral. Pendekatan postmodern mengajak gali makna terdalam dari setiap aturan, agar kepatuhan lahir dari hati, bukan sekadar paksaan.

Teks hukum seharusnya jalan menuju kebaikan. Hukum yang hidup, bukan dingin dan mekanis, tetapi mampu mendekap yang terluka dan menghidupkan harapan manusia. Ketika hukum dibaca sebagai teks terbuka bagi nilai-nilai Ilahi, maka keadilan menjadi cahaya yang menuntun, bukan sekadar kata-kata hampa.

Dengan demikian, kesadaran hukum sebagai teks bukan ancaman, tetapi peluang. Peluang membumikan keadilan, guna hidupkan nilai, dan merangkul keragaman tafsir, sebagai kekayaan peradaban. Dalam teks hukum yang dibaca dengan iman dan akal sehat, terdapat janji peradaban yang lebih adil dan bermartabat.
 

Penulis: M. Khusnul Khuluq
Editor: Tim MariNews