Menyembunyikan Kebenaran: Kajian Teologis Berdasarkan Hadis dan Implikasinya terhadap Etika Peradilan

Setiap putusan yang dijatuhkan tidak hanya berdampak pada para pihak yang berperkara, tetapi juga mencerminkan wibawa hukum.
Ilustrasi hakim. Foto : Freepik
Ilustrasi hakim. Foto : Freepik

Jabatan hakim memiliki posisi yang sangat mulia, sekaligus berat dalam sistem peradilan, karena melalui keputusannya, hakim menjadi penentu akhir dari nasib seseorang dan pencari keadilan. 

Setiap putusan yang dijatuhkan tidak hanya berdampak pada para pihak yang berperkara, tetapi juga mencerminkan wibawa hukum, tegaknya keadilan, dan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. 

Dalam Islam, profesi hakim dipandang sebagai amanah besar yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan ketakwaan kepada Allah Swt.

Keadilan merupakan nilai utama yang menjadi landasan bagi setiap proses peradilan, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an, yakni “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu untuk berlaku adil dan berbuat ihsan” (Q.S. an-Nahl [16]: 90).

Hadis Nabi Muhammad Saw. secara tegas memperingatkan tentang ancaman bagi hakim yang tidak memutuskan perkara dengan benar.

Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis pertanggungjawaban moral dan teologis hakim yang menyembunyikan kebenaran berdasarkan hadis Nabi, serta menggali relevansinya terhadap etika profesi dalam konteks peradilan modern di Indonesia. 

Dengan demikian, diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap penguatan nilai-nilai etis, spiritual, dan profesionalisme dalam dunia peradilan.

Pandangan Hadis tentang Hakim dan Keadilan

Dalam hadis Nabi Saw. disebutkan yakni “Hakim ada tiga golongan: satu di surga dan dua di neraka. Hakim yang mengetahui kebenaran lalu memutuskan dengan kebenaran, maka ia di surga. Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi tidak memutuskan dengannya, maka ia di neraka. Dan hakim yang memutuskan tanpa pengetahuan, juga di neraka.” (H.R. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Hadis ini, menegaskan tanggung jawab hakim tidak hanya bersifat duniawi, tetapi juga ukhrawi. Hakim yang menyembunyikan kebenaran telah mengkhianati amanah keadilan dan menjerumuskan dirinya dalam ancaman azab Allah SWT.

Makna Teologis Menyembunyikan Kebenaran

Menyembunyikan kebenaran (kitmān al-ḥaqq) merupakan bentuk pelanggaran spiritual yang dikecam dalam al-Qur’an, yakni “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah diturunkan berupa keterangan-keterangan yang jelas dan petunjuk, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh semua makhluk yang dapat melaknat.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 159).

Dalam konteks peradilan modern, menyembunyikan kebenaran berarti mengabaikan fakta hukum, menerima suap, atau berpihak pada kepentingan tertentu. 

Etika Kehakiman dalam Perspektif Islam

Al-Ghazali dalam Ihya Ulum al-Din menegaskan seorang hakim wajib menjaga kemurnian niat dan menjauh dari kepentingan duniawi. 

Prinsip ini, sejalan dengan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang menekankan integritas, independensi, dan kejujuran. Dengan demikian, nilai-nilai etik modern sejatinya bersumber dari ajaran Islam yang mengakar dalam konsep ‘adl, amanah, dan sidq.

Pertanggungjawaban Teologis Hakim

Rasulullah saw bersabda yakni “tidaklah seorang pemimpin yang memimpin sepuluh orang manusia lalu mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga baginya.” (H.R. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini, menunjukkan seorang hakim termasuk dalam kategori pemimpin yang dimintai pertanggungjawaban atas setiap keputusannya. Ia bertanggung jawab secara teologis (kepada Allah), moral (kepada nuraninya), dan sosial (kepada masyarakat). 

Maka, seorang hakim dituntut agar memiliki integritas moral yang tinggi, kecakapan hukum yang mendalam, serta kebijaksanaan dalam menegakkan hukum dengan hati nurani yang bersih dan bebas dari segala bentuk pengaruh maupun tekanan dari pihak mana pun.

Relevansi terhadap Etika Peradilan Modern

Nilai-nilai hadis Nabi Muhammad, memiliki relevansi tinggi dengan sistem peradilan Indonesia. Prinsip kejujuran, tanggung jawab, dan keadilan yang terkandung dalam hadis harus diintegrasikan dalam praktik peradilan.

Hakim yang beriman tidak hanya takut pada sanksi hukum, tetapi juga pada hisab Allah di akhirat kelak. Pembinaan spiritual dalam lembaga peradilan menjadi penting untuk membentuk hakim yang tidak hanya profesional, tetapi juga berakhlak dan berintegritas.

Kesimpulan

Hadis Nabi Muhammad, memberikan peringatan tegas seorang hakim yang menyembunyikan kebenaran termasuk dalam golongan yang diancam neraka. 

Menyembunyikan kebenaran berarti mengkhianati amanah dan menodai nilai keadilan.

Pertanggungjawaban hakim harus bersifat multidimensi  meliputi aspek hukum, moral, dan teologis. Nilai-nilai tersebut sangat relevan untuk memperkuat Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. 

Hakim yang adil, bukan hanya menjalankan tugas hukum, tetapi juga melaksanakan ibadah dan amanah keilahian.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an al-Karim.
Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, hadis no. 3573.
Al-Tirmidzi, Sunan al-Tirmidzi, Bab al-Ahkam.
Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, Beirut: Dar al-Fikr.

Penulis: Al Fitri
Editor: Tim MariNews