Dalam konsep klasik sistem peradilan, hakim sering dipandang sebagai pelaksana hukum yang hanya menafsirkan dan menerapkan ketentuan undang-undang secara tekstual.
Pandangan tersebut sejalan dengan doktrin trias politica Montesquieu yang menuntut peradilan bersifat pasif dan tidak mencampuri ranah kebijakan publik.
Namun, perkembangan hukum modern menggeser paradigma ini. Hakim tidak lagi hanya menjalankan fungsi yudisial semata melalui pemeriksaan dan pemutusan perkara, tetapi juga memiliki peran sebagai social engineer atau rekayasa sosial (law as a tool of social engineering), sebagaimana dikemukakan Roscoe Pound yang menegaskan bahwa hukum harus mampu menjadi sarana untuk mencapai tujuan sosial, menyelaraskan kepentingan masyarakat, dan mendorong perubahan sosial positif.
Dengan demikian, putusan hakim bukan hanya produk legalistik, melainkan instrumen kebijakan sosial yang mencerminkan nilai keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum serta perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Landasan Normatif Peran Hakim sebagai Social Engineer
Di Indonesia, peran hakim sebagai social engineer tidak hanya bersifat teoritis, tetapi memperoleh pijakan normatif yang kuat melalui berbagai peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
Pertama, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum secara eksplisit memberikan arah kepada hakim untuk mengedepankan perspektif keadilan substantif dan perlindungan kelompok rentan.
Pasal 2 Perma Nomor 3 Tahun 2017 menegaskan bahwa hakim dalam memutus perkara harus berdasarkan asas penghargaan atas harkat martabat manusia, non-diskriminasi, kesetaraan gender, keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa hakim tidak sekadar mengutip norma, tetapi memiliki kewajiban moral dan yuridis untuk mempertimbangkan realitas sosial dan dampak putusan terhadap masyarakat.
Kedua, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif memperkuat mandat sosial hakim. Pasal 6 Perma 1 Tahun 2024 mengatur bahwa pendekatan keadilan restoratif dapat diterapkan pada perkara pidana ringan, delik aduan, serta perkara dengan ancaman maksimal lima tahun penjara sepanjang terdapat persetujuan korban dan pelaku.
Pengaturan ini menegaskan orientasi pemulihan hubungan sosial, perlindungan korban, serta menghindari pemidanaan yang tidak proporsional.
Peradilan tidak lagi semata berorientasi pada pembalasan, tetapi pada pemulihan keseimbangan dalam masyarakat.
Dengan demikian, regulasi Mahkamah Agung ini membuktikan bahwa peran hakim sebagai social engineer merupakan mandat institusional, bukan preferensi individual hakim.
Hakim diharapkan tidak berhenti pada penerapan law in books, tetapi menghidupkannya menjadi law in action yang memberikan keadilan bagi masyarakat.
Implikasi Praktis dalam Putusan Pengadilan
Konsekuensi dari paradigma ini terlihat dalam praktik peradilan melalui berbagai putusan progresif, terutama dalam perkara, perlindungan perempuan dan anak, kekerasan dalam rumah tangga, tindak pidana ringan dan keadilan restoratif, pelanggaran lingkungan hidup, dan perlindungan konsumen serta pekerja rentan.
Dalam kasus-kasus tersebut, hakim tidak hanya memutus berdasarkan teks undang-undang, tetapi juga menilai dampak sosial, moral, dan kemanusiaan dari putusan.
Putusan pengadilan menjadi sarana edukasi publik, pembentukan karakter hukum masyarakat, sekaligus instrumen penguatan rule of law dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Etika Judicial dan Kompetensi Sosial
Menjadi social engineer tentu memerlukan kapabilitas yang lebih kompleks. Hakim dituntut untuk, memiliki integritas tinggi, menguasai metode penafsiran hukum, memiliki kepekaan sosial dan perspektif HAM, memahami perkembangan digital dan dinamika budaya hukum yang hidup dalam masyarakat.
Peran aktif ini tetap berada dalam bingkai asas peradilan yang independen dan imparsial.
Hakim tidak boleh menjadi pembuat kebijakan politik, tetapi sebagai pengawal nilai konstitusi dan keadilan substantif melalui argumentasi yuridis yang bertanggung jawab.
Penutup
Dengan berbagai instrumen peradilan progresif dan arah pembaruan hukum nasional, hakim jelas diposisikan sebagai aktor sentral dalam pembentukan tatanan sosial yang berkeadilan.
Melalui putusan-putusannya, hakim bukan hanya menyelesaikan sengketa hukum, tetapi turut membentuk struktur sosial, memperkuat kesadaran hukum publik, dan memastikan hukum berfungsi sebagai pilar peradaban dan sosial.
Dalam kerangka tersebut, peradilan tidak hanya menjadi tempat mencari kepastian hukum, tetapi juga menjadi laboratorium nilai keadilan.
Maka, hakim bukan lagi sekadar menjadi corong undang-undang (la bouche de la loi), melainkan arsitek moral bangsa yang membangun peradaban melalui putusan-putusan yang hidup dalam masyarakat, berorientasi pada nilai kemanusiaan, dan menguatkan martabat manusia.


