MARINews, Jakarta-Implementasi restorative justice (keadilan restoratif) masih menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan di berbagai kalangan, termasuk para akademisi dan praktisi hukum. Berkaitan dengan hal tersebut, Hakim Yustisial Mahkamah Agung, Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H., menjadi salah satu narasumber dalam Sesi Kupas Data dan Fakta Hukum (SEKATA) #4 pada Rabu (23/7).
Sesi dialog edukatif yang digelar oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum itu, turut menghadirkan dua narasumber lainnya, yakni Tim Ahli KUHP Nasional, Dr. Albert Aries, S.H., M.H., dan Penyuluh Hukum Ahli Utama, Sofyan, S.Sos., S.H., M.H..
Acara ini diselenggarakan sebagai bagian upaya peningkatan kapasitas dan penemuan hukum bagi penyuluh hukum, organisasi pemberi bantuan hukum, paralegal, kepala desa atau lurah serta alumni peacemaker justice award.
Host pada acara tersebut, yaitu Penyuluh Hukum Ahli Madya Heri Setiawan, menjabarkan data jumlah perkara Mahkamah Agung di lingkungan empat peradilan di seluruh Indonesia (2024). Pada tingkat peradilan pertama, terdapat 2.927.815 perkara, di tingkat banding sebanyak 30.217 perkara. Sedangkan jumlah perkara di tingkat Mahkamah Agung sebanyak 30.991 perkara.
Kemudian Heri Setiawan menambahkan, data jumlah penanganan keadilan restoratif yang dikutip dari Kapuspenkum Kejaksaan Agung menyebutkan, pada periode Januari-Desember 2024 sebanyak 1.985 perkara. Berkaitan dengan implementasi keadilan restoratif tersebut, penulis akan menjabarkan beberapa poin penting dari dialog edukatif, sebagai berikut.
Mediasi dalam Perkara Perdata dan Pidana di Pengadilan
Dalam menjawab pertanyaan mengenai perkembangan implementasi mediasi di pengadilan sebagai jalur utama penyelesaian perkara perdata dan pidana, Dr. Riki Perdana Raya Waruwu, S.H., M.H., melihat dua pola yang beriringan, yaitu pertama, mediasi dalam perkara perdata.
Ia menjelaskan, mediasi dalam perkara perdata telah lama dilakukan sebagaimana telah diamanatkan dalam 130 HIR dan ditindaklanjuti dengan sejumlah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA).
Dalam perkara perdata, Riki Perdana melanjutkan, penyelesaian sengketa dalam kurun waktu 2019-2024 mengalami peningkatan yang signifikan dari segi data kuantitatifnya. Lebih dari ¼ perkara perdata telah berhasil diselesaikan melalui mediasi. Artinya, penyelesaian perkara perdata tersebut tidak selalu bermuara pada hakim.
Kedua, mediasi dalam perkara pidana. Hakim Yustisial tersebut menjabarkan, Mahkamah Agung telah melahirkan PERMA Nomor 1 Tahun 2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. Adanya PERMA tersebut, mendorong hakim di pengadilan untuk berperan aktif menyampaikan kepada korban dan terdakwa agar dapat menyelesaikan secara musyawarah mufakat dengan berbagai instrumen yang ditentukan.
“Dengan adanya, PERMA maka hakim punya kewajiban untuk menawarkan, menanyakan kesediaan korban untuk berdamai, menawarkan kepada pelaku untuk membayar ganti rugi dan lain-lain,” jelasnya.
Selanjutnya, Riki Perdana menegaskan hal yang menjadi signifikannya penerapan mediasi dalam perkara pidana adalah, adanya perubahan pola pandangan dalam hukum acara pidana guna menemukan titik perdamaian antara pelaku dengan korban.
“Pada akhirnya, bisa memberikan hukuman yang jauh lebih ringan kepada pelaku dan korban juga mendapatkan kepuasan karena keadilan itu dirasakan secara nyata dan langsung di proses persidangan,” ujar Riki Perdana.
Hakim Tak Dapat Menghentikan Perkara
Berkaitan dengan pertanyaan apakah mediasi dalam perkara pidana dapat menghentikan proses hukum secara formal, Riki Perdana menuturkan, masing-masing institusi penegak hukum telah membuat kriteria jenis perkara tertentu yang dapat dilakukan penyelesaian melalui keadilan restoratif.
Hal ini berdasarkan peraturan masing-masing institusi penegak hukum seperti Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021, Peraturan Kejaksaan Nomor 15 Tahun 2020 dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024.
Berdasarkan aturan Perpol dan Perjak tersebut, Riki Perdana menjelaskan, apabila terpenuhi jenis syarat tindak pidananya untuk dapat dilakukan penyelesaian dengan keadilan restoratif, disertai dengan adanya permaafan dari korban, pemberian ganti kerugian, maka penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas perkara tersebut dapat dilakukan di tingkat kepolisian/kejaksaan.
Selanjutnya, Hakim Yustisial Mahkamah Agung itu, menegaskan situasinya berbeda apabila berkas perkara sudah dilimpahkan ke pengadilan. Dalam konteks KUHAP yang berlaku saat ini, hakim tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan proses persidangan, kecuali dalam perkara anak yang dilakukan melalui mekanisme diversi.
Dengan demikian, hakim hanya memiliki tiga pilihan dalam menyelesaikan perkara, sebagaimana diatur dalam Pasal 191 ayat (1) dan (2) serta Pasal 193 ayat (1) KUHAP yakni:
1. Membebaskan terdakwa, jika perbuatan yang didakwakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan;
2. Melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum, apabila perbuatan yang dilakukan terbukti, tetapi bukan merupakan tindak pidana;
3. Menjatuhkan pidana, jika perbuatan yang didakwakan terbukti sebagai tindak pidana dan terdakwa dinyatakan bersalah.
Oleh karenanya, hakim tidak memiliki pilihan untuk menghentikan perkara, sebab tidak ada aturan yang mengatur demikian dalam KUHAP. Dalam hal ini, hakim hanya memiliki peranan ketika terjadi perdamaian di antara korban dan terdakwa, sehingga hakim berwenang untuk menjatuhkan hukuman yang lebih ringan dari ancaman pidana atau tuntutannya.
“Misalnya, ancaman pidananya adalah lima tahun, maka hakim bisa memutus satu tahun atau kecenderungan saat ini, hakim bisa memutus dengan hukuman percobaan,” ungkap Riki Perdana.
Dengan putusan hukuman percobaan, artinya terdakwa tidak perlu menjalani pidana di lembaga pemasyarakatan sepanjang dalam masa waktu tertentu terdakwa tidak melakukan tindak pidana lagi. Namun, untuk status terdakwa sebagai pelaku tindak pidana masih melekat pada dirinya.
Urgensi Penyeragaman Kualifikasi Pidana yang Diselesaikan Melalui Keadilan Restoratif
Dialog tersebut turut membahas gagasan untuk membangun paradigma yang sama di antara masyarakat dengan penegak hukum agar masyarakat tidak lagi beranggapan bahwa penyelesaian sengketa itu harus diselesaikan dengan putusan hakim.
Riki Perdana juga memberi masukan dalam forum tersebut, dengan mengusulkan penyeragaman kualifikasi pidana yang dapat diselesaikan melalui pendekatan keadilan restoratif. Selain itu, di dalam rancangan KUHAP dapat ditambahkan mekanisme penyelesaian melalui keadilan restoratif yang dapat melibatkan penyuluh hukum, paralegal, kepala desa, atau organisasi bantuan hukum yang sudah memiliki kualifikasi pendidikan dan pelatihan mediasi yang terstandar.
“Tujuannya, agar otorisasi di masing-masing institusi tidak menjadi dominan. Terbukti, keberhasilan mediasi di pengadilan, salah satunya disebabkan karena banyaknya mediator nonhakim yang dilibatkan di dalam setiap proses penyelesaian sengketa,” paparnya.
Hal tersebut menjadi penting, agar penyuluh hukum/kepala desa dapat memiliki pengaruh yang besar atas penyelesaian sengketa melalui mediasi. Dengan demikian, mediasi di kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tidak hanya dilakukan oleh polisi, jaksa atau hakim.
Dialog yang digelar selama dua jam itu berlangsung hangat dan interaktif, dengan banyaknya pertanyaan dari peserta yang diajukan kepada para narasumber. Dengan adanya pemahaman baik mengenai keadilan restoratif ini, diharapkan adanya pergeseran paradigma baik dari aparat penegak hukum maupun dari masyarakat untuk tidak lagi menempatkan hukum pidana sebagai sarana balas dendam.