Pengesahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Nasional (KUHP Nasional) melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023, menandai babak baru dalam sistem hukum pidana Indonesia.
Salah satu poin yang mendapat atensi, ialah pengaturan tindak pidana aborsi, yang secara substansial mengalami penyesuaian dari KUHP kolonial Belanda.
Perlu diketahui, permasalahan aborsi sejak lama menjadi medan tarik-menarik antara hak hidup janin dengan hak perempuan atas tubuhnya.
KUHP Nasional, berupaya menyeimbangkan dua nilai fundamental tersebut dengan tetap mempertahankan kriminalisasi aborsi. Namun, memberikan pengecualian dalam kondisi tertentu yang diatur secara lebih jelas dan sistematis.
Sebagaimana hal tersebut, tulisan ini menitikberatkan pada pengaturan aborsi dalam KUHP Nasional 2023, dengan menyoroti dasar normatif, rasionalisasi kebijakan pidana, dan implikasinya terhadap sistem perlindungan hukum bagi perempuan serta tenaga medis.
Kerangka Hukum Aborsi dalam KUHP Nasional
Ketentuan mengenai aborsi dalam KUHP Nasional diatur secara jelas dalam Pasal 463 hingga Pasal 465.
Pasal 463 ayat (1) menegaskan, larangan bagi setiap perempuan yang dengan sengaja menggugurkan atau mematikan janinnya, dengan ancaman pidana paling lama empat tahun.
Namun, pada ayat (2), undang-undang memberikan pengecualian terbatas terhadap larangan tersebut apabila tindakan aborsi dilakukan atas dasar indikasi kedaruratan medis atau dalam kasus kehamilan akibat tindak pidana kekerasan seksual.
Hal itu, dengan ketentuan usia kehamilan tidak melebihi empat belas minggu serta pelaksanaannya dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
Selanjutnya, Pasal 464 memperluas ruang lingkup pertanggungjawaban pidana dengan menetapkan ancaman hukuman bagi setiap pihak yang membantu atau melakukan tindakan aborsi terhadap perempuan lain.
Sedangkan Pasal 465, mengatur secara khusus mengenai pertanggungjawaban pidana tenaga kesehatan, termasuk kemungkinan pencabutan hak untuk menjalankan profesi apabila melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh hukum.
Perumusan pasal-pasal tersebut, menunjukkan adanya pergeseran paradigma kebijakan kriminal (criminal policy) dari KUHP warisan kolonial yang bercorak represif, menuju sistem hukum pidana nasional yang lebih adaptif terhadap konteks sosial, kesehatan, dan perlindungan terhadap korban.
Meski demikian, esensi norma tetap bersifat prohibitif dan berorientasi pada perlindungan janin sebagai subjek yang dianggap memiliki hak hidup, bukan pada pengakuan hak reproduksi perempuan secara komprehensif.
Dengan demikian, pengaturan ini masih menempatkan perempuan dalam posisi objek hukum, bukan subjek otonom yang memiliki hak penuh atas tubuh dan reproduksinya.
Antara Kriminalisasi Moral dan Perlindungan Kemanusiaan
Ketentuan aborsi dalam KUHP Nasional memang secara normatif dinilai memberikan kepastian hukum dengan batas-batas yang jelas dan konkret dalam peraturan perundang-undangan.
Namun, perdebatan antara kriminalisasi moral dengan perlindungan kemanusiaan dalam regulasi aborsi, tetap menyisakan persoalan terkait aspek keadilan dan kemanfaatan hukum.
Hal itu, sebagaimana dianalisis melalui teori tiga nilai dasar Gustav Radbruch yaitu keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
KUHP Nasional memberikan batasan yang jelas mengenai perbuatan aborsi, baik bagi perempuan maupun tenaga medis, dengan ancaman sanksi berbeda sesuai pada tindakan dan kondisi yang terjadi.
Pasal 463, 464, dan 465 KUHP Nasional, tidak hanya menetapkan sanksi pidana, tetapi juga ketentuan pengecualian bagi korban kekerasan seksual dan indikasi kedaruratan medis.
Dengan demikian, peraturan ini memenuhi tuntutan kepastian hukum secara konkret karena ada kejelasan rumusan dan norma hukum yang dapat diterapkan dengan pasti.
Dari sisi keadilan dan kemanfaatan, penghukuman terhadap perempuan yang melakukan aborsi akibat kekerasan seksual atau demi menyelamatkan nyawa seringkali masih memunculkan problematika normatif dan etik.
Dalam pandangan Radbruch, jika terjadi pertentangan antara keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum, maka penegak hukum harus mendahulukan prinsip keadilan sebagai prioritas utama sebelum kemanfaatan dan kepastian hukum.
Hal ini, menjadi hal yang patut diatensi ketika norma hukum yang konkret kadang berpotensi menyebabkan ketidakadilan, seperti pada korban kekerasan seksual, dimana penghukuman bisa dianggap mengabaikan aspek kemanusiaan dan rasa keadilan substantif.
Tantangan Implementasi dan Kebijakan Kriminal ke Depan
Secara teoritis, pengaturan aborsi dalam KUHP Nasional dapat dipandang sebagai bentuk reorientasi kebijakan menuju sistem hukum pidana nasional yang lebih kontekstual dan responsif terhadap nilai sosial-budaya Indonesia.
Namun dalam praktik, tantangan utamanya terletak pada implementasi kedepannya yang mana beberapa kendala yang dapat diidentifikasi antara lain:
- Belum adanya peraturan pelaksana teknis yang secara rinci mengatur prosedur, standar medis, dan mekanisme persetujuan dalam pelaksanaan aborsi legal;
- Stigma sosial dan resistensi moral yang tinggi di masyarakat, sehingga perempuan korban kekerasan seksual kerap kesulitan mengakses layanan kesehatan reproduksi;
- Kurangnya pelatihan bagi aparat penegak hukum dan tenaga medis dalam memahami pendekatan berbasis hak korban (victim-oriented approach).
Dengan implikasi, penerapan ketentuan Pasal 463–465 KUHP Nasional harus diikuti dengan penguatan kerangka kebijakan non-penal, seperti edukasi kesehatan reproduksi, pendampingan psikologis, dan sinergi antara lembaga hukum, kesehatan, dan sosial.
Penutup
Secara substansi, pengaturan aborsi dalam KUHP Nasional merupakan langkah kompromistis yang menegaskan larangan dan sanksi pidana terhadap aborsi.
Tetapi, sekaligus memberikan pengecualian terbatas dengan syarat ketat demi melindungi perempuan korban kekerasan seksual dan keadaan darurat medis.
Sehingga, masalah moral, perlindungan janin, dan hak asasi perempuan diupayakan seimbang meski dalam implementasinya tantangan regulasi teknis, stigmatisasi, serta perlindungan hak korban tetap memerlukan perhatian dan perbaikan berkelanjutan.
Referensi
Hiariej, E. O. S., & Santoso, T. (2025). Anotasi KUHP Nasional. Jakarta: Rajawali Press.
Hendriana, Rani. (2025). Tindak Pidana Terhadap Nyawa, Janin, Tubuh Manusia: Dalam KUHP Nasional 2023. Tasikmalaya: Elvaretta Buana.
Jurnal Cahaya Mandalika. (2023). Aborsi tanpa indikasi medis dalam sudut pandang UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU No 1 Tahun 2023. Jurnal Cahaya Mandalika. https://ojs.cahayamandalika.com/index.php/jcm/article/view/2640
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. (2023). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).



