Nani Indrawati: Menjadi Hakim Itu Sangat Menarik

Kisah Dr. Nani Indrawati, S.H., M.Hum., Hakim Agung Kamar Perdata Mahkamah Agung
Nani Indrawati, Hakim Agung Kamar Perdata MA selaku Ketua BPHPI.  Foto : Dok. Humas MA
Nani Indrawati, Hakim Agung Kamar Perdata MA selaku Ketua BPHPI. Foto : Dok. Humas MA

MARINews, Jakarta - Orang-orang memanggilnya Bu Nani, namun sebagian lagi memanggilnya Justice Nani, yang sebagian tersebut adalah orang-orang yang ditemuinya di luar Indonesia dalam forum-forum internasional baik ia sebagai peserta maupun narasumber.

Orang-orang tersebut termasuk yang sebagian tadi, mengenal Nani sebagai hakim yang tegas, pintar, detail, berprinsip, dan mengayomi.

Namun, siapa sangka perjalanan Nani menjadi hakim diawali dari dua persimpangan yang sempat membuatnya galau. Menjadi dosen di Fakultas Hukum UGM atau hakim, kebetulan pada saat bersamaan dia diterima pada dua posisi yang dua-duanya ia sukai.

Di ruang kerjanya, ditemani teh hangat yang harumnya menguar di udara, dengan suaranya yang renyah dan semangatnya yang menular, Nani bercerita selama satu setengah jam kepada Nur Azizah dan Nadia Yurisa Adila dari MARINews tentang betapa di balik segala kesulitan yang ada, menjadi hakim itu sangat menyenangkan.

“Menjadi hakim itu menarik banget,” ucap Nani dengan mata berbinar.

Nani mengucapkan kalimat itu dengan kesadaran penuh. Hasil dari pengalaman puluhan tahun, belasan kota, dan perasaaan yang timbul tenggelam dalam menjalankan tugasnya sebagai pengadil.

“Menarik”, katanya, karena menurutnya, tidak pernah ada perkara yang benar-benar sama. Orangnya berbeda. Modusnya berbeda. Latar belakangnya berbeda. Bahkan ketika pasal yang digunakan identik, kisah manusia di baliknya selalu lain.

“Kita dituntut untuk selalu belajar, belajar apapun, termasuk pada hal-hal baru, saya suka itu,” ujarnya.

Dari sanalah kecintaannya pada profesi hakim berangkat.

“Di balik segala kesulitan yang saya alami, pada  dasarnya, saya cinta sekali dengan profesi ini, penuh tantangan,” ujarnya.

Kegalauan antara Dosen atau Hakim

Keinginan menjadi hakim ia akui memang tidak hadir sejak masa kanak-kanak. Tidak ada mimpi kecil menjadi pengadil.

Dorongan menjadi hakim justru muncul ketika ia sudah kuliah di Fakultas Hukum. Nani remaja menempuh S1 dan S2 di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 

Seperti mahasiswa hukum lainnya, Nani wajib mengambil mata kuliah hukum acara perdata dan pidana. Tugasnya kala itu bukan sekadar membaca kitab undang-undang, melainkan mengikuti langsung persidangan di pengadilan.

Saat itu, mahasiswa dibagi ke beberapa kelompok. Ada yang ditempatkan di Semarang, Sleman, ada yang di Yogyakarta. Nani dan kelompoknya kebagian di Pengadilan Negeri Yogyakarta. 

Di sana ia harus mengikuti jalannya sidang perkara perdata dan pidana selama kurang lebih dua minggu. Ia menyaksikan seluruh proses seperti pembukaan sidang, pemeriksaan saksi, hingga pembacaan putusan.

Di salah satu sidang, ia menemukan ketua majelis yang sangat mengesankan dirinya.

“Saat itu ada Ketua Majelis yang tegas, berwibawa, dan cerdas. Tidak bertele-tele. Tetapi jelas. Ia memberi ruang kepada kedua belah pihak untuk bicara secara adil,” cerita Nani akan sosok yang menginspirasinya tersebut.

Melalui sosok itu, Nani melihat bahwa wibawa hakim tidak lahir dari suara keras, melainkan dari penguasaan perkara dan ketenangan sikap.

“Kelihatan sekali wibawanya,” kenangnya.

“Tegas, tapi fair,” tambahnya.

Dari sosok tersebutlah, Nani mulai tertarik kepada profesi hakim.

Untuk itu, setelah sidang ditutup, Ketika para mahasiswa diberi kesempatan bertanya. Nani mengangkat tangan. Ia banyak bertanya, salah satu pertanyaannya adalah: bagaimana caranya menjadi hakim?

Jawaban yang ia terima khas zamannya di era 1980-an. Bahwa jika ada rekrutmen hakim, akan ada pengumuman yang ditempel di papan Pengadilan Tinggi Yogyakarta.

“Semua masih manual. Tidak ada internet. Tidak ada pengumuman digital. Semua harus dicari dengan ketekunan,” ungkapnya

Namun jalan menuju profesi hakim tidak langsung mulus. Menjelang lulus kuliah, ia justru melewatkan satu kesempatan karena persoalan administratif. Ia mengira harus menunggu ijazah, padahal sebenarnya bisa menggunakan surat keterangan lulus. Atas arahan orang tua, lalu ia melanjutkan pendidikan notariat.

Setahun kemudian, seleksi calon hakim kembali dibuka. Ia mendaftar. Lulus. Pada waktu yang hampir bersamaan, ia juga diterima sebagai calon dosen Fakultas Hukum UGM. Dua pilihan besar hadir bersamaan, akademisi atau peradilan.

Profesi Hakim Memang Tidak Mudah, Tetapi Selalu Bermakna

Keputusan itu tidak diambil dengan mudah. Ia sadar betul konsekuensinya: penempatan, mutasi, dan kemungkinan jauh dari keluarga. Bahkan ia mengaku tidak pernah membayangkan akan benar-benar meninggalkan Yogyakarta dalam waktu lama. 

Namun ada satu hal yang membuatnya mantap: ketertarikan intelektual dan kemanusiaan pada profesi hakim.

Namun kecintaan pada profesi itu datang bersama sesuatu yang tidak ringan. Pada masa awal penugasan, gajinya bahkan habis untuk biaya pulang-pergi demi tetap bisa bertemu keluarga. Secara materi, ia mengakui, tidak ada keuntungan sisa gaji. “Gaji sudah habis,” katanya lugas. Tapi ia tetap bertahan.

Ada masa-masa ketika ia hampir menyerah. Ketika beban kerja terasa tidak masuk akal dan kewajiban rumah bertabrakan dengan tugas negara. Namun setiap kali itu pula, ia kembali pada satu keyakinan bahwa profesi hakim memang tidak mudah, tetapi selalu bermakna.

“Kasusnya tidak pernah identik,” katanya. Dalam perkara pidana, meski pasalnya sama, terdakwanya berbeda, saksi berbeda, dan cara peristiwanya terjadi pun tidak sama. 

Dalam perkara perdata, konflik yang tampak serupa selalu memiliki latar belakang yang unik. Bagi Nani, di sanalah pekerjaan hakim menjadi ruang belajar yang tidak pernah selesai.

Ia mengaku cinta sekali dengan profesi ini. Cinta yang menuntut disiplin dan tanggung jawab tinggi. Ada masa-masa ketika ia harus menyelesaikan putusan hingga larut malam, bahkan nyaris tanpa tidur. Bukan karena ambisi pribadi, melainkan karena ada pihak yang menunggu kepastian.

“Saya tidak pernah menunda sidang karena putusan belum selesai,” ujarnya. Menunda berarti memperpanjang kegelisahan orang lain.

Bagi Nani, menjadi hakim bukan sekadar pekerjaan. Ini adalah perjumpaan terus-menerus dengan manusia di titik paling genting hidupnya. 

Di ruang sidang, orang menunggu nasibnya diputus. Dan di situlah, ia memilih untuk tetap hadir, dengan cinta, dengan tanggung jawab, dan dengan kesadaran penuh akan konsekuensinya.

Baca juga : Nani Indrawati, Hakim Agung Yang Pernah Bicara di Forum PBB

Baca juga : Nani Indrawati: “Hai Hakim Perempuan, Kamu Tidak Sendiri!”