Dunia usaha modern menghadirkan wajah ganda. Korporasi di satu sisi berperan sebagai penggerak utama perekonomian, membuka lapangan kerja, dan menopang pembangunan.
Namun di sisi lain, korporasi juga dapat menjadi sumber masalah serius ketika terlibat dalam tindak pidana yang dampaknya jauh melampaui perbuatan individu.
Realitas ini semakin menegaskan bahwa hukum pidana Indonesia tidak bisa lagi berpegang pada pandangan lama yang menempatkan manusia sebagai satu-satunya subjek pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana lama masih menganut adagium societas delinquere non potest, bahwa korporasi tidak dapat dipidana.
Akan tetapi, perkembangan hukum telah menunjukkan kebutuhan untuk meninggalkan cara pandang tersebut.
Sejumlah undang-undang khusus memang mulai mengakui korporasi sebagai subjek hukum pidana, tetapi praktik peradilan memperlihatkan adanya ketidakkonsistenan yang besar. Hakim kerap berbeda pandangan dalam menjatuhkan putusan, sebagian menjerat korporasi secara langsung, sementara sebagian lain hanya menghukum pengurusnya.
Ketidakhadiran pedoman pemidanaan yang jelas memperburuk keadaan. Pasal 56 UU No. 1 Tahun 2023 memang telah memuat sepuluh parameter pemidanaan, tetapi redaksinya bersifat terlalu umum dan membuka ruang tafsir yang luas.
Dalam praktiknya, hal ini melahirkan disparitas yang tidak beralasan. Satu pengadilan bisa menjatuhkan pidana yang berat terhadap korporasi, sementara pengadilan lain dalam kasus serupa memilih untuk sekadar menghukum pengurusnya.
Disparitas ini bukan hanya soal teknis, tetapi menyentuh inti keadilan, menggerus legitimasi peradilan, dan menciptakan ketidakpastian bagi dunia usaha.
Kasus-Kasus sebagai Cermin
Beberapa putusan pengadilan di Indonesia memperlihatkan dengan gamblang permasalahan ini. Dalam perkara PT Kalista Alam, misalnya, perusahaan perkebunan sawit dipidana karena terbukti melakukan pembakaran lahan gambut.
Putusan tersebut menjadi tonggak penting, sebab untuk pertama kalinya tanggung jawab pidana langsung dijatuhkan kepada korporasi, bukan hanya pengurusnya.
Lain halnya dengan perkara Asian Agri, di mana pengadilan harus bergulat dengan kasus penghindaran pajak yang nilainya triliunan rupiah. Setelah perdebatan panjang, akhirnya perusahaan dinyatakan bersalah, menandai langkah besar dalam penegakan hukum pajak terhadap badan usaha.
Sementara itu, dalam kasus PT Giri Jaladhi Wana dan PT Cakrawala Nusamedia, perusahaan-perusahaan ini terlibat dalam tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan pengelolaan dana publik.
Perkara-perkara tersebut memperlihatkan bagaimana korporasi dapat menjadi instrumen sekaligus aktor langsung dalam kejahatan yang merugikan masyarakat luas.
Namun ironisnya, di berbagai perkara lain, masih terdapat kecenderungan hakim hanya menjerat individu pengurus tanpa menyentuh badan hukumnya.
Kontradiksi inilah yang menegaskan pentingnya pedoman pemidanaan yang seragam, agar putusan tidak bergantung pada tafsir subjektif semata, melainkan berlandaskan standar yang jelas dan konsisten.
Belajar dari Dunia Internasional
Jika menoleh ke praktik internasional, terlihat betapa jauhnya langkah Indonesia tertinggal. Amerika Serikat, misalnya, memiliki Federal Sentencing Guidelines for Organizations yang memberikan ukuran rinci, mulai dari tingkat kesalahan, keterlibatan manajemen, hingga upaya perbaikan yang dilakukan korporasi.
Australia mengembangkan konsep corporate culture liability, yang menilai budaya perusahaan sebagai faktor utama pertanggungjawaban.
Inggris bahkan memiliki Corporate Manslaughter and Corporate Homicide Act 2007, sebuah instrumen khusus untuk menghukum korporasi atas kematian akibat kelalaian sistemik.
Di Eropa daratan, Jerman dan Belanda lebih menekankan penggunaan sanksi administratif dan pidana denda secara proporsional, namun tetap memberi ruang bagi pemidanaan korporasi yang efektif.
Dari praktik-praktik itu, terlihat bahwa konsistensi dan kejelasan pedoman merupakan kunci.
Indonesia, dengan UU No. 1 Tahun 2023 yang sudah mengakui korporasi sebagai subjek pidana, sebenarnya telah berada di jalur yang tepat. Namun tanpa pedoman yang rinci dan aplikatif, pengakuan itu berisiko menjadi sekadar formalitas yang tidak mampu menghapus disparitas dalam praktik peradilan.
Analisis dan Kritik
Meskipun keberadaan pedoman dalam UU No. 1 Tahun 2023 merupakan langkah maju, kelemahan masih nyata. Parameter yang tersedia belum sepenuhnya memperhitungkan kondisi riil korporasi, seperti kemampuan finansial, skala usaha, dan potensi keberlangsungan operasional setelah dijatuhi hukuman.
Selain itu, pedoman belum sepenuhnya menggambarkan kompleksitas delik korporasi, yang sering melibatkan jaringan pengurus, manajemen, dan budaya perusahaan.
Tantangan lain yang harus diantisipasi adalah bahaya pedoman yang terlalu kaku. Jika pedoman hanya meniru pola luar negeri tanpa disesuaikan dengan konteks Indonesia, ia bisa mengekang independensi hakim. Padahal, kebebasan hakim merupakan prinsip fundamental sebagaimana diatur dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Oleh karena itu, pedoman ideal harus bersifat mengarahkan tanpa membelenggu, memberi kerangka seragam tanpa meniadakan ruang diskresi hakim.
Formulasi Pedoman yang Ditawarkan
Disertasi ini kemudian menawarkan formulasi pedoman pemidanaan yang lebih konkret. Pedoman tersebut didesain untuk menyeimbangkan kepastian hukum dengan ruang diskresi hakim.
Indikator objektif harus dijadikan dasar utama, mencakup tingkat kesalahan, besarnya kerugian yang ditimbulkan, frekuensi pelanggaran, dan dampak sosial dari tindak pidana.
Indikator subjektif melengkapi penilaian, seperti sejauh mana korporasi bersikap kooperatif dalam proses hukum, apakah perusahaan melakukan upaya pemulihan kerugian, serta bagaimana rekam jejak kepatuhan sebelumnya.
Disertasi ini juga menekankan pentingnya prinsip pilihan tunggal dalam penjatuhan sanksi. Hakim sebaiknya menetapkan satu bentuk sanksi utama, apakah berupa pidana atau tindakan hukum, dan tidak menumpuk keduanya sekaligus.
Prinsip ini menghindarkan putusan dari kesan menghukum berlebihan, menjaga proporsionalitas, dan memastikan hukuman tetap memiliki fungsi edukatif bagi korporasi.
Selain itu, hakim dalam menjatuhkan pidana terhadap korporasi tidak hanya terbatas pada pidana pokok berupa denda, tetapi juga dapat menjatuhkan pidana tambahan.
Jenis pidana tambahan yang dimaksud antara lain: pembayaran ganti rugi, perbaikan akibat tindak pidana, pelaksanaan kewajiban yang telah dilalaikan, pemenuhan kewajiban adat, pembiayaan pelatihan kerja, perampasan barang atau keuntungan hasil kejahatan, pengumuman putusan pengadilan, pencabutan izin tertentu, pelarangan permanen melakukan perbuatan tertentu, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha/kegiatan, pembekuan kegiatan usaha, hingga pembubaran korporasi.
Hakim bahkan dapat menjatuhkan lebih dari satu pidana tambahan, baik secara alternatif maupun kumulatif; dan apabila tidak menjatuhkan pidana tambahan, hakim wajib mencantumkan alasannya secara tegas dalam pertimbangan putusan.
Dengan cara demikian, pedoman pemidanaan bukan hanya menjadi instrumen administratif, tetapi juga berfungsi sebagai kompas moral dan hukum yang menuntun hakim dalam menjaga konsistensi sekaligus menegakkan keadilan substantif.
Kesimpulan dan Saran
Disertasi ini menyampaikan pesan tegas bahwa korporasi tidak boleh lagi bersembunyi di balik pengurusnya. Hukum pidana modern harus berani memperlakukan korporasi sejajar dengan individu, sebab kerugian yang ditimbulkan kerap jauh lebih besar dan berdampak luas pada masyarakat.
Selama pedoman yang ada masih multitafsir, disparitas akan terus terjadi, melemahkan rasa keadilan publik, menciptakan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha, serta menggerus wibawa peradilan.
Oleh karena itu, kehadiran pedoman yang rinci, terukur, dan aplikatif adalah kebutuhan mendesak. Indonesia bisa belajar dari praktik internasional, tetapi formulasi yang dihasilkan harus berpijak pada realitas hukum, sosial, dan ekonomi nasional.
Regulasi turunan yang lebih spesifik perlu segera disusun, baik dalam bentuk Peraturan Mahkamah Agung maupun peraturan pemerintah, untuk memastikan pedoman dapat diterapkan secara konsisten.
Pedoman tersebut harus mencakup kriteria komprehensif yang mempertimbangkan ukuran perusahaan, tingkat kerugian, frekuensi pelanggaran, hingga rekam jejak kepatuhan.
Implementasi pedoman juga harus didukung dengan peningkatan kapasitas hakim melalui pelatihan berkelanjutan agar putusan yang dihasilkan seragam sekaligus adil.
Pada saat yang sama, perlu ada mekanisme evaluasi berkala agar pedoman dapat terus diperbaiki sesuai perkembangan zaman dan dinamika kejahatan korporasi.
Dengan demikian, disertasi ini bukan hanya pencapaian akademik untuk meraih gelar doktor, tetapi juga sumbangan pemikiran strategis bagi pembangunan hukum pidana Indonesia. Ia menghadirkan sebuah tawaran visioner: hukum yang lebih adil, seragam, dan mampu menjawab tantangan kejahatan korporasi di era modern.