Dalam praktik persidangan perkara perlindungan anak, momen yang terkadang terjadi adalah ketika orang tua anak korban memberikan maaf kepada Terdakwa secara langsung di hadapan majelis hakim, misalnya dalam perkara pencabulan terhadap anak, kekerasan terhadap anak, dan lain sebagainya yang dilakukan oleh pelaku dewasa.
Fenomena ini umumnya muncul pada perkara-perkara yang melibatkan hubungan kekerabatan, kedekatan sosial, atau interaksi sehari-hari antara pelaku dan keluarga korban.
Di sisi lain anak yang menjadi korban terkadang diam dan mengikuti apa kata orang tua. Namun persoalan penting yang perlu dikaji adalah: apakah maaf yang diucapkan orang tua di ruang sidang dapat dianggap sebagai maaf dari anak korban?
Artikel ini menganalisis posisi yuridis pemberian maaf tersebut dari perspektif hakim dengan menggunakan pendekatan normatif dan filosofis.
Kedudukan Maaf Orang Tua dalam Perkara Perlindungan Anak
Dalam perkara pidana yang melibatkan anak sebagai korban, pemberian maaf terkadang muncul pada saat orang tua anak korban menjadi saksi di persidangan.
Namun demikian, maaf dari orang tua tidak dapat dipandang serta merta sebagai representasi dari kehendak anak korban, karena berdasarkan sistem peradilan anak bahwa anak adalah subjek hukum yang memiliki hak dan kepentingan mandiri, sebagaimana dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak secara keseluruhan menempatkan orang tua anak sebagai pendamping sedangkan keputusan terhadap diri anak korban tetap ada pada diri anak korban, apakah anak korban mau berdamai, memaafkan dan sebagainya.
Begitupun dalam Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa Anak berhak untuk menyatakan dan didengar pendapatnya sesuai dengan usianya.
Secara teoretis, korban langsung kejahatan adalah anak bukan orang tuanya. Trauma, ketakutan, maupun dampak psikologis yang muncul merupakan pengalaman personal anak yang tidak dapat dialihkan kepada pihak lain, termasuk orang tua.
Oleh sebab itu, maaf dari orang tua tidak langsung memiliki kedudukan untuk menggantikan kehendak anak apabila anak telah mampu menyatakan sikap dan pendapatnya.
Meskipun demikian, dalam situasi tertentu pemberian maaf orang tua bisa dianggap sebagai representasi kepentingan anak korban, yaitu apabila anak korban belum memiliki kemampuan untuk menyampaikan pendapatnya secara bermakna, misalnya anak usia balita atau anak dengan keterbatasan kognitif.
Namun dalam konteks ini, hakim tetap memiliki kewenangan penuh untuk menilai apakah maaf tersebut benar-benar mencerminkan kepentingan terbaik anak dan bukan didorong oleh kepentingan orang tua yang bersifat personal atau bahkan tekanan sosial.
Dengan demikian kedudukan pemberian maaf yang diberikan orang tua korban anak terhadap Terdakwa tidak serta merta merupakan representasi dari anak, namun Hakim harus menilai apakah pemberian maaf tersebut benar-benar mencerminkan kepentingan terbaik anak.
Pertimbangan Hakim terhadap Validitas Maaf Orang Tua dalam Proses Peradilan
Sebagai pihak yang bertanggung jawab mempertimbangkan suatu perkara, hakim memiliki peran strategis dalam menentukan bobot hukum dari maaf yang diberikan orang tua terhadap Terdakwa dalam perkara anak, setidaknya terdapat 3 parameter pokok yang menjadi dasar pertimbangan.
Pertama, kemampuan anak untuk menyatakan kehendaknya. Jika anak telah berusia cukup dan mampu memahami peristiwa yang menimpanya, maka pendapat anak harus menjadi fokus utama.
Dalam praktik, hakim dapat menggalinya melalui pemeriksaan langsung, laporan sosial, laporan psikolog maupun asesmen Pembimbing Kemasyarakatan.
Apabila dari pemeriksaan secara langsung maupun berdasarkan dokumen-dokumen tersebut terlihat bahwa anak belum memaafkan perbuatan Terdakwa, maka maaf orang tua tidak dapat mengikat hakim dan tidak dapat dijadikan dasar pemulihan.
Kedua, kondisi psikologis dan tingkat pemulihan korban. Hakim tidak hanya menilai formalitas ucapan maaf, tetapi juga melihat apakah anak korban benar-benar telah pulih atau masih mengalami ketakutan, kecemasan, atau gangguan emosional.
Dalam banyak kasus, anak korban cenderung mengikuti sikap orang tua meskipun dalam hati masih menyimpan trauma. Oleh sebab itu, hakim harus memastikan bahwa maaf tidak diberikan dalam konteks tekanan keluarga, ketidaksetaraan relasi sosial, atau motif transaksional.
Ketiga, konteks perbuatan dan tingkat keseriusannya. Untuk tindak pidana ringan atau kesalahan yang terjadi dalam hubungan sosial yang dekat, pemberian maaf dari orang tua dapat serta merta diterima oleh Hakim dan menjadi alasan meringankan hukuman Terdakwa.
Namun untuk tindak pidana yang berdampak signifikan pada tubuh, moral, atau psikologis anak, maaf dari orang tua tidak dapat serta-merta mengurangi bobot pertanggungjawaban pelaku secara signifikan, namun harus dilihat kembali akibat yang ditimbulkan serta kemungkinan pengulangan yang dilakukan Terdakwa di kemudian hari.
Hakim juga harus menilai apakah pemberian maaf tersebut sejalan dengan tujuan sistem peradilan anak, yakni pemulihan dan perlindungan, bukan semata-mata mempercepat penyelesaian perkara.
Oleh karena itu meskipun maaf orang tua memiliki nilai moral, namun hukum dari pemberian maaf tersebut tetap tergantung pada kehendak anak, dampak psikologis yang dialami korban, serta asas kepentingan terbaik bagi anak (best interests of the child).
Kesimpulan
Pemberian maaf dari Orang Tua anak korban kepada Terdakwa pada saat pemeriksaan perkara di persidangan setidaknya memiliki nilai moral bahwa orang tua anak korban telah memaafkan Terdakwa, tetapi tidak dapat serta-merta dianggap sebagai maaf anak korban.
Perkara perlindungan anak menempatkan anak sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban yang harus dilindungi.
Oleh karena itu, hakim wajib menilai maaf tersebut secara hati-hati dengan memperhatikan kondisi psikologis anak, kemampuan anak menyatakan kehendak, serta sifat dan dampak perbuatan yang terjadi, serta Hakim harus pula memperhatikan asas kepentingan terbaik bagi anak (best interests of the child).





