Perkembangan teknologi informasi telah menjadikan media sosial sebagai sarana komunikasi yang sangat populer di Indonesia, digunakan mulai dari anak-anak hingga orang dewasa.
Namun demikian, media sosial juga menghadirkan ancaman serius, seperti pencemaran nama baik, perjudian daring, pornografi, hingga penyebaran berita palsu. Hal ini, menimbulkan urgensi perlindungan hukum, terutama terhadap anak sebagai kelompok yang paling rentan.
Data Badan Pusat Statistik tahun 2021 menunjukkan bahwa 88,99% persen pengguna internet di Indonesia yang mengakses media sosial berasal dari kelompok usia lima tahun ke atas.
Fakta ini menegaskan bahwa persoalan perlindungan data pribadi anak merupakan isu krusial yang membutuhkan perhatian serius negara.
Namun, regulasi nasional terkait pembatasan usia penggunaan media sosial belum sepenuhnya efektif memberikan perlindungan hukum. Meski beberapa platform global telah menetapkan syarat usia minimal 13 tahun, lemahnya pengawasan orang tua dan tingginya rasa ingin mengetahui menyebabkan aturan ini mudah dilanggar.
Bilamana dibandingkan Eropa dan Amerika Serikat, pengaturan di Indonesia masih jauh tertinggal.
Di Eropa, General Data Protection Regulation (GDPR) Pasal 6 dan Pasal 8 secara tegas mengatur anak di bawah 16 tahun hanya dapat mengakses layanan daring dengan persetujuan orang tua atau wali, serta sistem platform diwajibkan menolak otomatis pendaftaran akun yang tidak sesuai.
Sementara di Amerika Serikat, Children’s Online Privacy Protection Act (COPPA) yang direvisi Federal Trade Commission pada 2019, menetapkan bahwa anak di bawah usia 13 tahun dilarang membuat akun media sosial tanpa izin orang tua, sekaligus mewajibkan penyedia platform untuk menjalankan kewajiban pemberitahuan, verifikasi, hingga mekanisme pertanggungjawaban melalui doktrin safe harbor.
Di Indonesia, ketentuan mengenai perlindungan data pribadi anak diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik.
Regulasi ini menekankan kewajiban pemerintah, penyelenggara sistem elektronik, serta orang tua untuk menjaga kerahasiaan dan iktikad baik dalam pengelolaan data pribadi anak.
Namun, aturan tersebut belum memiliki daya ikat yang kuat, terutama karena tidak diikuti mekanisme verifikasi usia yang efektif maupun sanksi pidana bagi pelanggaran, sebagaimana yang diterapkan di Eropa dan Amerika Serikat.
Selain itu, Mahkamah Agung melalui beberapa kebijakan juga menegaskan pentingnya perlindungan anak di ruang publik, termasuk dunia digital.
Misalnya, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak menekankan perlindungan hak anak dalam proses hukum, sedangkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, Dan Pecandu Narkotika Ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis Dan Rehabilitasi Sosial, menegaskan larangan menyebut identitas anak dalam putusan pengadilan untuk melindungi hak privasi mereka.
Prinsip yang sama dapat ditarik relevansinya dalam konteks penggunaan media sosial, yakni negara dan aparat peradilan wajib memastikan kerahasiaan serta perlindungan data pribadi anak, termasuk dalam perkara yang melibatkan anak di ruang digital.
Dengan demikian, dari perspektif hukum, terdapat urgensi bagi Indonesia untuk memperkuat regulasi pembatasan usia dalam penggunaan media sosial anak.
Penguatan ini, dapat dilakukan melalui sinkronisasi antara Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik beserta perubahannya, serta regulasi teknis yang secara tegas mengatur kewajiban platform media sosial terkait verifikasi usia pengguna, peran aktif orang tua, dan pemberian sanksi yang jelas bagi pelanggaran.
Pendekatan tersebut, sejalan prinsip the best interests of the child sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, serta dikuatkan kebijakan Mahkamah Agung yang menekankan perlindungan hak anak di setiap aspek hukum.
Tanpa langkah konkret dimaksud, perlindungan anak di ruang digital hanya akan bersifat normatif tanpa kepastian hukum yang memadai.
Maka, pembatasan usia penggunaan media sosial anak harus segera diwujudkan melalui regulasi yang jelas, tegas, dan terintegrasi agar perlindungan anak di ruang digital tidak berhenti pada tataran normatif, melainkan benar-benar memberikan kepastian hukum serta menjamin tumbuh kembang anak secara utuh.





