Pemidanaan Perbuatan Korupsi Bukanlah Ultimum Remidium (Best Practice, Philippines Judicial Academy #3)

Dalam perspektif hukum pidana Spanyol, larangan, pencegahan, dan hukuman terhadap perbuatan korupsi didasarkan atas dua sistem, yaitu hukum administratif dan hukum pidana.
Logo Philipine Justice Academy. Foto : Dokumentasi Pribadi
Logo Philipine Justice Academy. Foto : Dokumentasi Pribadi

Pengembangan hukum pidana di Filipina sangat berorientasi pada permasalahan kemasyarakatan yang semakin mendesak, khususnya dalam memberantas perbuatan korupsi yang telah mengakar dalam sistem birokrasi. 

Sebelum membandingkan dengan Indonesia, penting untuk mengkaji riwayat hukum Spanyol yang memberikan pengaruh signifikan terhadap pembentukan sistem hukum Filipina.

Dalam perspektif hukum pidana Spanyol, larangan, pencegahan, dan hukuman terhadap perbuatan korupsi didasarkan atas dua sistem, yaitu hukum administratif dan hukum pidana. 

Dua ruang tersebut memungkinkan hakim untuk memilih dua pandangan: menempatkan pemidanaan terhadap pelaku perbuatan korupsi sebagai upaya hukum terakhir (ultimum remidium), atau menempatkan tersangka pegawai negeri sipil ke dalam koridor hukum administrasi mengingat cepatnya dan efektifnya pemeriksaan perkara administratif.

Pada hukum Filipina, penanganan hukum atas perbuatan korupsi ditangani atas dasar asas tiga kali lipat pertanggunggugatan (Cabotaje-Tang:2023). Asas tiga kali lipat pertanggunggugatan (threefold liability principle) ini menempatkan pegawai negeri sipil sebagai pelaku perbuatan korupsi bertanggung jawab baik secara perdata, pidana, maupun administratif.

Maka dari itu, ketika terjadi pelanggaran atau perbuatan melanggar hukum yang berdampak pada timbulnya kerugian, pegawai negeri sipil tersebut bertanggunggugat untuk memulihkan kerugian keuangan negara. 

Jika perbuatan tersebut melanggar ketentuan pidana, maka aparatur dikenakan pemidanaan. Kemudian, pelanggaran itu dapat berakibat pada skorsing, pencopotan jabatan, atau sanksi administratif lain terhadap pegawai negeri sipil selaku pelaku.

Asas tiga kali lipat pertanggunggugatan ini menegaskan bahwa penuntutan atas pertanggungjawaban perbuatan pidana, baik dalam konteks perdata, pidana, maupun administratif, dapat berdiri sendiri bahkan berjalan secara bersamaan. 

Menariknya, Pasal 3 Undang-Undang Filipina Anti-Gratifikasi dan Praktik Korupsi Nomor 3019 mengatur bahwa perbuatan korupsi tidak harus selalu mengandung unsur kerugian ekonomis, melainkan mempertimbangkan niat jahat dari perbuatan itu sendiri (mala in se) serta perbuatan yang dilarang karena diatur dalam Undang-Undang (malum prohibitum).

Jika dibandingkan dengan Indonesia, terdapat kemungkinan pengajuan gugatan perdata ganti kerugian terhadap kerugian yang timbul atas perbuatan korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 32 ayat (1), Pasal 33, Pasal 34, dan Pasal 38C Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Artinya, penegasan lingkup batas pengajuan tindakan hukum terhadap perbuatan korupsi, baik dalam koridor perdata, pidana, maupun administratif, dapat mulai ditegaskan. 

Hal ini penting khususnya mengenai apakah gugatan perdata, dakwaan pidana, hingga gugatan administratif dapat dilakukan bersamaan secara mandiri, ataukah harus menunggu selesainya perkara tersebut.

Pengalaman Filipina menunjukkan bahwa pemidanaan bukanlah satu-satunya solusi dalam memberantas korupsi. Pendekatan holistik yang mengintegrasikan sanksi administratif, perdata, dan pidana secara bersamaan terbukti lebih efektif.

Indonesia dapat mempertimbangkan adopsi sistem serupa untuk memperkuat arsitektur anti-korupsi nasional, dengan menegaskan bahwa pemidanaan adalah salah satu instrumen dalam spektrum penegakan hukum yang lebih luas, bukan sebagai ultimum remidium yang menunggu kegagalan instrumen lainnya.