“Memes are the building blocks of the cultural software that forms our apparatus of understanding. Through observation and social learning, people internalize and assimilate skills, beliefs, attitudes, and values, and these become part of their cultural software.” – Jack M. Balkin (Cultural Software: A Theory of Ideology).
Dalam dunia manajerial dan psikologi dikenal satu istilah yang menggambarkan upaya kolektif dalam menggagalkan satu sama lain: crab mentality atau mentalitas kepiting.
Bila kita kumpulkan kepiting bakau (Scylla serrata) dalam satu ember penuh, hewan krustasean ini tidak akan lari ke manapun, karena setiap kali ada seekor yang berhasil ke atas, yang lain menariknya ke bawah (Effectivitiology, Itamar Shatz, 2025).
Korupsi pada hakikatnya adalah bagian dari mentalitas kepiting semacam ini. Sisi destruktif perilaku koruptif bukan terletak pada nilai nominalnya, tetapi pada dampak regresifnya terhadap pembangunan dan kesempatan untuk maju bagi yang lain.
Dari catatan Perserikatan Bangsa-Bangsa, setiap tahunnya satu triliun dolar uang suap beredar di seluruh dunia, dan 2,6 triliun dolar dicuri lewat tindak korupsi (World Bank, 4 Februari 2021). Angka sebesar ini bila diterjemahkan dalam program sosial dapat dipergunakan untuk membiayai jaminan kesehatan dan pendidikan delapan miliar penduduk bumi selama 15 tahun berturut-turut.
Satu sisi perilaku koruptif yang jarang diungkap adalah tentang sikap mental pelaku dalam kaitannya dengan budaya dan sejarah.
Pembahasan semacam ini bukanlah sebuah upaya apologetik untuk mengelak untuk tidak melakukan pemberantasan tindak pidana ini, karena walau bagaimanapun korupsi tidak dapat dibenarkan.
Namun demikian, korupsi dapat dilihat dari perspektif psikologi sebagai dampak dari pola conditioning (pembiasaan) yang terjadi di zaman kolonial. Pewacanaan dari dimensi ini menjadi relevan terutama karena mekanisme reward and punishment (Skinner, 1953) yang terjadi di zaman penjajahan dapat berperan sebagai operant conditioning: pemberian jabatan, penguasaan tanah, dan berbagai privilese lainnya adalah upah kesetiaan terhadap Belanda.
Dengan kata lain, proses pembiasaan gratifikasi selama ratusan tahun di masa kolonial menghasilkan sebuah sikap mental yang ditransmisikan secara kultural dari generasi ke generasi.
Sikap Mental dan Transmisi Kultural
Dalam Psychology and Law, A Critical Introduction, penstudi ilmu hukum Andreas Kapardis menyatakan bahwa disposisi fundamental dalam disiplin psikolegal: psikologi dalam hukum (psychology in law), psikologi dan hukum (psychology and law), dan psikologi hukum (psychology of law) (Kapardis, 2010).
Yang pertama berbicara tentang sejauh mana instrumen di pengadilan (seperti bukti dan saksi) dapat diterima dalam ranah keilmuan, yang kedua membahas tentang kondisi psikologis mereka yang terlibat dalam persidangan, sedangkan yang terakhir mengkaji misalnya alasan-alasan psikologis dari sikap taat hukum atau kesadaran akan hukum dalam masyarakat.
Poin ketiga yang diangkat oleh Kapardis dapat membantu kita melihat alasan di balik tebalnya tembok ekses kolonialisme terhadap perilaku koruptif.
Pakar hukum dari Universitas Yale, Jack M. Balkin, mengajukan sebuah irisan yang bernas antara hukum, biologi, dan budaya.
Pemikiran Balkin dapat dikatakan berangkat dari gagasan biolog Richard Dawkins (1989) tentang budaya sebagai sebuah entitas material yang ditransmisikan dari satu generasi ke generasi lain, persis seperti transmisi antara satu organisasi selular ke yang lain dengan menggunakan DNA dan RNA.
Sebuah ide atau konsep bagi Balkin dapat memiliki siklus hidup sebagai kerangka kerja untuk aktivitas sosial atau ideologi.
Balkin, dengan demikian, mencoba menawarkan sebuah teori tentang ide sebagai bentuk simbolik piranti lunak (software), dan masyarakat sebagai piranti kerasnya (hardware). Balkin mengatakan: “Symbolic forms play a key role in cultural evolution because they carry units of cultural transmission” (Bentuk-bentuk simbolik memainkan peran penting dalam evolusi kebudayaan karena mengandung satuan-satuan transmisi kultural) (Balkin, 2003:102).
Istilah yang dipergunakan Dawkins, “meme”, kemudian diterjemahkan Balkin sebagai unit memetik kultural. Unit inilah yang diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang seperti evolusi mahluk hidup, mesti bersaing dengan gagasan-gagasan lainnya dalam bentuk kerjasama atau konflik.
Untuk memahami pemikiran Balkin, kita dapat melihat ilustrasi berikut ini. Konsep “kejujuran” adalah sebuah unit memetik kultural yang ditransmisikan dari generasi ke generasi.
Di masyarakat Jepang, jika sebuah kamera tertinggal di fasilitas transportasi publik seperti bus atau kereta, maka benda tersebut akan tetap berada di kendaraan hingga waktu pelayanan berakhir (SJMC Japan, Elian Reyes, 15 Juni 2024).
Peneliti hukum dan ekonomi Mark D. West menyimpulkan bahwa kultur mengembalikan barang hilang di Jepang yang memperkuat konsep kejujuran sudah dimulai sejak beberapa abad yang lalu, tepatnya di tahun 1742 sejak dikeluarkannya peraturan Osadamegaki. Peraturan ini mewajibkan siapapun yang menemukan barang hilang untuk mengembalikannya (West, 2002:21).
Dalam istilah Balkin, Osadamegaki menjadi elemen yang memperkuat transmisi nilai kejujuran dalam masyarakat Jepang.
Unit Memetik Kultural Perilaku Koruptif sebagai Operant Conditioning
Kolonialisme tidak muncul begitu saja. Pemikir Tithankar Roy mengajukan gagasan bahwa mengolonialisasi sebuah wilayah bukan pekerjaan mudah.
Kolonialisasi India, menurut Roy, hanya mungkin ketika Kerajaan-kerajaan di India yang sebelumnya selama berabad-abad memegang tampuk kendali melemah karena bencana alam, yang disebabkan oleh faktor geografis.
Singkatnya, Roy menampik klaim bahwa kolonialisasi Barat dimungkinkan oleh superioritasnya (Roy, 2025).
Gagasan Roy dapat dibaca dua arah seturut garis pemikiran Balkin: pertama, bahwa ada disrupsi yang sedemikian hebat yang terjadi pada saat bencana alam terjadi. Kedua, bahwa disrupsi tersebut memengaruhi arah transmisi unit memetik kultural.
Untuk memberikan gambaran, konsep kesetiaan terhadap negara akan luntur saat bencana kelaparan terjadi, atau ada tawaran untuk memperkaya diri. Ini berarti disrupsi radikal dapat mengubah konsep “kesetiaan” menjadi “ketidaksetiaan”.
Bila alur berpikir ini kita terapkan pada pendekatan pembiasaan dari ranah psikologi perilaku yang dijangkarkan pada pemikiran B.F. Skinner, situasi disruptif seperti yang diajukan Roy dapat menjadi operant conditioning yang mengubah cara berpikir warga negara.
Penjajah dapat melakukan praktik berikut ini untuk membentuk perilaku: mengubah pola relasi sosial menjadi sangat transaksional, memberikan hadiah dan hukuman (reward and punishment) untuk kepatuhan atau ketidakpatuhan pada pemerintah kolonial.
Pola pembiasaan selama ratusan tahun ini akhirnya menjadi metode transmisi unit memetik kultural yang bersifat destruktif seperti korupsi.
Penstudi hukum Marianne O. Nielsen Linda M. Robyn menganggap tindakan mengolonialisasi adalah sebuah kejahatan. Lebih tepatnya keduanya mengatakan: “Colonialism is a classic state crime that relies on violence and the threat of violence to achieve political and economic ends” (Kolonialisme merupakan bentuk kejahatan negara klasik yang bergantung pada kekerasan serta ancaman kekerasan untuk mencapai tujuan-tujuan politik dan ekonomi) (Nielsen & Robyn, 2019:1).
Kritik Nielsen dan Robyn ini dapat kembali dibaca dengan pendekatan Balkin dan Skinner: kerusakan yang diakibatkan oleh neokolonialisme menyebabkan kerusakan pola transmisi unit memetik kultural melalui praktik pembiasaan yang merusak nilai dan pola relasi sosial.
Perilaku Koruptif Simbol Kelanjutan Neokolonialisme
Pendekatan Balkin dan Skinner yang telah dipaparkan di atas dapat ditafsirkan dengan cara yang berbeda. Kita dapat mengatakan bahwa bukti kehadiran kolonialisme baru (neokolonialisme) adalah praktif koruptif.
Dalam kasus People of the Philippines v. Joseph Estrada, et al., 26558 Sandiganbayan, bekas presiden Filipina Joseph Ejercito Estrada dijatuhi hukuman pada tanggal 12 September 2007 karena korupsi 80 miliar dolar yang dilakukannya selama menduduki kursi kepresidenan (The New York Times, Carlos H. Conde, 12 September 2007).
Hanya berselang beberapa minggu, pada 25 Desember 2007 Estrada mendapatkan amnesti dari presiden yang berkuasa pada saat itu, Gloria Macapagal Arroyo. Estrada bahkan bisa mencalonkan diri kembali dalam pemilihan presiden dan menutup kariernya sebagai walikota Manila di tahun 2013.
Pembacaan peristiwa ini dengan cara Balkin menunjukkan bahwa sebagai negara bekas kolonial, di Filipina unit memetik kultural “korupsi” telah mengalami distorsi makna.
Korupsi, dalam konteks sosial dan historis, bukan sekadar pelanggaran hukum atau moralitas individu, melainkan cerminan dari distorsi nilai budaya yang telah diwariskan lintas generasi.
Nilai yang seharusnya menumbuhkan kejujuran dan tanggung jawab publik berubah makna akibat warisan kolonialisme dan praktik kekuasaan yang eksploitatif, sehingga korupsi berfungsi sebagai mekanisme sosial yang menormalisasi ketidakjujuran sebagai kebiasaan kolektif.
Dalam kondisi demikian, pemberantasan korupsi tidak cukup dilakukan melalui reformasi kelembagaan atau penegakan hukum semata, melainkan menuntut rekonstruksi unit memetik kultural yang mengembalikan kejujuran, keadilan, dan solidaritas sebagai fondasi nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.