Kedudukan PPNS Perikanan Pascapengaturan Penyidik Utama dalam KUHAP Baru: Kajian Doktrinal dan Implikasi Praktis

PPNS Perikanan menjadi ujung tombak negara di laut, berada langsung di garis konfrontasi antara kepentingan kedaulatan sumber daya dan praktik penangkapan ikan ilegal
PSDKP KKP Kapal pengawas perikanan tengah mendekati kapal diduga pelaku illegal fishing di tengah laut  di atas gelombang yang tak bersahabat, negara hadir melalui PPNS Perikanan untuk menegakkan kedaulatan dan menjaga sumber daya ikan Indonesia. Foto: PS
PSDKP KKP Kapal pengawas perikanan tengah mendekati kapal diduga pelaku illegal fishing di tengah laut di atas gelombang yang tak bersahabat, negara hadir melalui PPNS Perikanan untuk menegakkan kedaulatan dan menjaga sumber daya ikan Indonesia. Foto: PS

Kedudukan PPNS Perikanan pascapengaturan Penyidik Utama dalam KUHAP baru, memunculkan pertanyaan serius tentang sejauh mana hukum acara pidana mampu merespons kekhususan rezim penegakan hukum di laut. 

Selama ini, operasi kapal pengawas Ditjen PSDKP KKP menunjukkan, mayoritas tindak pidana perikanan yang ditangani merupakan perkara tertangkap tangan, di mana kapal pelaku illegal fishing diamankan ketika sedang melakukan aktivitas penangkapan ikan secara ilegal di perairan Indonesia.

PPNS Perikanan menjadi ujung tombak negara di laut, berada langsung di garis konfrontasi antara kepentingan kedaulatan sumber daya dan praktik penangkapan ikan ilegal yang kerap terorganisasi dan melibatkan jejaring lintas batas. 

Dalam arsitektur baru tersebut, pengaturan mengenai Penyidik Utama dalam KUHAP  yang mensyaratkan penangkapan dan penahanan oleh PPNS hanya atas perintah Penyidik Utama jelas bukan semata-mata perubahan teknis, melainkan pergeseran struktur kewenangan yang berpotensi menggerus efektivitas penegakan hukum perikanan.

Secara dogmatis, posisi PPNS Perikanan dibangun oleh Undang-Undang Perikanan sebagai lex specialis. 

Undang-undang ini tidak hanya merumuskan perbuatan pidana seperti penangkapan ikan tanpa izin, penggunaan alat tangkap terlarang, atau manipulasi dokumen kapal, tetapi juga memberikan kewenangan prosedural kepada PPNS untuk melakukan inspeksi, penyidikan, penyitaan, dan tindakan lain yang diperlukan di laut. 

Asas lex specialis derogat legi generali menuntut agar pengaturan khusus ini tetap dihormati sepanjang tidak secara eksplisit dicabut. 

Berbagai kajian mengenai penanggulangan illegal fishing juga menunjukkan, efektivitas penegakan hukum sangat bergantung pada kemampuan aparat sektoral bertindak cepat dan tepat di lapangan, terutama di wilayah perbatasan dan perairan terpencil. 

Dalam situasi demikian, PPNS Perikanan bukan sekadar pelengkap, melainkan aktor utama yang menjembatani norma hukum dengan realitas operasional di laut.

Secara eksplisit, kedudukan itu ditegaskan dalam Pasal 73 Undang-Undang Perikanan. Ayat (1) menyatakan bahwa penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh PPNS Perikanan, perwira TNI AL, dan/atau penyidik Polri. 

Rumusan “dan/atau” ini lahir dari kompromi politik pembentuk undang-undang yang bermaksud menempatkan tiga instansi tersebut pada posisi sejajar dalam penyidikan tindak pidana perikanan, bukan dalam relasi atasan–bawahan. 

Bahkan, dalam penjelasan dan regulasi pelaksanaannya ditegaskan bahwa untuk tindak pidana perikanan yang terjadi di pelabuhan perikanan, penyidikan diutamakan dilakukan oleh PPNS Perikanan. 

Hal ini menunjukkan, pembentuk undang-undang secara sadar menempatkan PPNS Perikanan sebagai “trisula” utama bersama TNI AL dan Polri dalam penegakan hukum perikanan, dengan mandat khusus di ruang-ruang yang sangat teknis seperti pelabuhan dan aktivitas usaha perikanan.

Lebih jauh, Pasal 73 ayat (4) memberi paket kewenangan yang sangat lengkap kepada PPNS Perikanan: menerima laporan, memanggil dan memeriksa saksi maupun tersangka, menggeledah sarana-prasarana perikanan, menghentikan dan memeriksa kapal, serta menangkap, membawa, dan menahan kapal maupun orang yang disangka melakukan tindak pidana di bidang perikanan; memeriksa keabsahan dokumen, melakukan penyitaan, hingga menghentikan penyidikan dan melakukan tindakan lain yang dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum. 

Ayat (6) sampai (9) bahkan mengatur secara khusus batas waktu penahanan oleh penyidik perikanan, yakni 20 hari yang dapat diperpanjang 10 hari oleh penuntut umum dengan konsekuensi tersangka harus dilepaskan demi hukum bila batas waktu 30 hari terlampaui. 

Secara sistematik, rangkaian ketentuan ini menegaskan bahwa UU Perikanan telah membangun rezim penyidikan yang utuh dan mandiri bagi PPNS Perikanan, termasuk dalam hal penggunaan upaya paksa dan penahanan.

KUHAP baru sebagai lex generalis acara pidana kemudian memperkenalkan arsitektur baru yang menempatkan penyidik kepolisian sebagai Penyidik Utama dengan kewenangan menyidik semua tindak pidana, sementara PPNS diposisikan di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Utama, termasuk dalam penggunaan upaya paksa. 

Secara normatif, desain ini ingin mewujudkan konsolidasi dan standardisasi penyidikan. Namun pada saat yang sama, ia menimbulkan ketegangan dengan doktrin lex specialis yang baru saja diuraikan. 

Ketika semua tindakan kunci seperti penangkapan, penahanan, dan penghentian penyidikan dipagari syarat “perintah” atau “persetujuan” dari Penyidik Utama, PPNS Perikanan berisiko diposisikan sebagai penyidik kelas dua, meskipun merekalah yang secara faktual berhadapan langsung dengan pelaku di titik terjadinya tindak pidana. 

Kritik akademik dan praktisi juga menunjukkan bahwa konstruksi “penyidik utama–penyidik tidak utama” ini berpotensi melemahkan akuntabilitas, independensi, dan perlindungan HAM bagi pihak yang berperkara.

Jika ditinjau dari perspektif empiris, pengaturan yang mensyaratkan agar setiap tindakan penangkapan dan penahanan oleh PPNS terlebih dahulu memperoleh perintah Penyidik Utama menunjukkan derajat ketidakselarasan yang tinggi dengan karakteristik rezim tindak pidana di laut.  

Penindakan oleh kapal pengawas umumnya berlangsung dalam situasi flagrante delicto: kapal terlihat sedang menarik jaring, alat tangkap masih terpasang, ikan hasil tangkapan masih di palka, dan posisi kapal berada di wilayah perairan yang tidak semestinya. 

Jendela waktu untuk bertindak sangat sempit. Begitu kapal pengawas memberi isyarat berhenti, nakhoda kapal ilegal dapat melarikan diri, mematikan sistem identifikasi, membuang alat tangkap ke laut, atau menghilangkan bukti lain. 

Di tengah hamparan laut lepas, dengan ombak yang kerap tak bersahabat dan risiko kecelakaan laut yang setiap saat mengintai di perairan terpencil, komunikasi dengan darat jauh dari kata ideal. 

Dalam situasi seperti itu, menunggu “perintah formal” dari Penyidik Utama berisiko membuat kapal sudah menghilang sebelum hukum sempat bekerja. 

Alih-alih menjadi mekanisme pengawasan yang rasional, persyaratan administratif tersebut justru berpotensi menjelma menjadi jalur lolos bagi pelaku. 

Operasi di laut juga membawa dimensi risiko yang berbeda dibandingkan penindakan di darat. PPNS dan awak kapal pengawas kerap menghadapi perlawanan, baik berupa manuver kapal yang membahayakan, pengabaian instruksi radio, maupun resistensi fisik saat proses boarding dan pemeriksaan. 

Mereka harus mengambil keputusan cepat untuk mengamankan kapal, awak, dan barang bukti sekaligus menjaga keselamatan diri dan aset negara. 

Dalam situasi ini, kewenangan spontan untuk membatasi pergerakan awak, mengamankan nakhoda, atau menguasai kapal bukanlah pilihan tambahan, melainkan prasyarat minimal keselamatan dan efektivitas penegakan hukum. 

Jika setiap tindakan pengamanan terhadap orang dipahami secara sempit sebagai penangkapan yang hanya sah bila sudah mendapat perintah Penyidik Utama, maka norma perlindungan hak asasi manusia yang dimaksudkan KUHAP baru justru berbalik arah menjadi norma yang memfasilitasi impunitas.

Dari sudut pandang teori due process of law, pengaturan upaya paksa memang harus ketat untuk mencegah penyalahgunaan kewenangan. 

Namun perlindungan HAM dalam hukum acara pidana tidak dapat direduksi menjadi pembatasan gerak aparat semata; ia juga mengandung kewajiban positif negara untuk secara efektif mencegah dan menindak kejahatan yang merugikan masyarakat luas. Illegal fishing skala besar merusak stok sumber daya ikan, mengancam keberlanjutan nelayan tradisional, dan pada akhirnya menggerus hak atas penghidupan yang layak dan kedaulatan pangan. 

Dalam kerangka ini, membatasi kewenangan segera PPNS Perikanan melalui skema perintah Penyidik Utama yang kaku  tanpa pengecualian untuk keadaan flagrante delicto di laut  berarti membuka ruang pelanggaran HAM yang bersifat struktural terhadap komunitas pesisir dan merugikan kepentingan negara sendiri.

Dari sudut pandang normatif, yang perlu dilakukan bukanlah menghapus peran Penyidik Utama, melainkan merekonstruksi pemaknaan kewajiban “perintah” secara progresif dan kontekstual, terutama terhadap situasi penindakan tertangkap tangan di laut.

Dalam keadaan tertangkap tangan di laut yang mengandung urgensi nyata, PPNS Perikanan semestinya dipandang berwenang melakukan tindakan segera berupa penghentian kapal, pengamanan awak, dan penahanan awal, dengan kewajiban melaporkan serta menyerahkan kendali lebih lanjut kepada Penyidik Utama setelah situasi terkendali. 

Model pengawasan pasca tindakan seperti ini tetap menjaga prinsip akuntabilitas dan perlindungan HAM, sekaligus tidak mematikan efektivitas penegakan lex specialis UU Perikanan dan peran PPNS sebagai garda depan penegakan hukum di laut.

Penguatan kerangka hukum juga perlu diwujudkan melalui peraturan pelaksana atau standar operasional prosedur bersama antara Polri, Kejaksaan, dan KKP. 

Regulasi teknis tersebut dapat merinci kriteria keadaan mendesak di laut, tata cara dokumentasi tindakan segera PPNS, serta mekanisme pelaporan cepat yang dapat diaudit oleh Penyidik Utama maupun Penuntut Umum. 

Dengan demikian, kontrol substantif atas tindakan PPNS Perikanan tidak hanya bersifat vertikal ke arah Penyidik Utama, tetapi juga horizontal melalui koordinasi penuntutan dan kontrol yudisial, termasuk praperadilan. 

Pendekatan ini sejalan dengan prinsip integrated criminal justice system yang menempatkan jaksa sebagai penjaga gerbang perkara ke pengadilan sekaligus menjaga keseimbangan antar subsistem penegak hukum.

Pada akhirnya, peran hakim menjadi kunci untuk memastikan agar KUHAP baru tidak dibaca secara kaku dan ahistoris terhadap praktik penegakan hukum perikanan.

Melalui pertimbangan hukum yang cermat, hakim dapat mengakui kekhususan rezim penegakan hukum di laut, menilai kewajaran serta proporsionalitas tindakan PPNS Perikanan dalam kondisi mendesak di lapangan, sekaligus mengoreksi praktik yang menempatkan PPNS sebagai “penyidik kelas dua” yang sepenuhnya bergantung pada perintah institusi lain meskipun berada di garis depan penegakan hukum. 

Dengan cara demikian, pembaruan hukum acara pidana berpeluang nyata menjadi instrumen yang menyatukan perlindungan HAM, efektivitas penegakan hukum, dan kepentingan strategis pengelolaan sumber daya perikanan Indonesia, alih-alih melahirkan jurang baru antara teks hukum dan realitas di laut terbuka.

*) Artikel ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi MARINews. 

Penulis: Unggul Senoadji
Editor: Tim MariNews